Membangun budaya damai adalah sebuah pendidikan fundamental dan berlangsung secara terus-menerus. Ia bukan hanya tugas  aktifis perdamaian, pemerintah, bahkan sekolah. Tidak juga pendidikan damai ini dimulai ketika anak duduk di tingkat SMP, apalagi kuliah. Sebab sikap fanatisme terhadap agama, intoleransi, juga bullying, sudah mekar sejak dini dan bisa hinggap pada anak kecil.

Tahun 2018 misalnya, kita sempat dihebohkan oleh berita anak TK melakukan pawai dengan menggunakan cadar sambil membawa replika senjata. Peristiwa itu terjadi di Probolinggo, Jawa Timur.  Di beberapa TK, GP Anshor pernah mendapatkan buku pegangan siswa yang mengandung bahasa mengarah pada radikalisme.

Penelitian yang dirilis oleh PPIM UIN juga menegaskan betapa generasi z (berusia antara 5 -20 tahun) juga telah berpikir dan berperilaku intoleran. Ironisnya, menurut penelitian ini, paham intoleransi itu mereka dapatkan dari guru di sekolah.

Fakta di atas mestinya membuat kita segera berbenah.

Pendidikan perdamaian harus dimulai dari rumah sedini mungkin oleh orangtua.  Akan menjadi apa dan bagaimana seorang anak ke depan, sangat  ditentukan dari bagaimana orangtua dan anggota keluarga lainnya mendidiknya sejak di rumah.

Terlebih di usia emas–usia 3-10 tahun–adalah masa penting perkembangan anak. Di usia ini, anak akan mudah menangkap, menginternalisasi, lalu mempraktikkan apa yang mereka lihat dan dengar, di lingkungan terdekatnya. Jika apa yang mereka lihat dan dengar adalah baik, maka anak pun cenderung berkembang menjadi pribadi yang baik. Begitu juga sebaliknya.

Rumah Sekolah Pertama

Rumah Sekolah Pertama” sebuah buku yang mengisahkan 43 cerita, yang mengandung nilai-nilai damai, seperti bersyukur, merasa bernilai, cinta, menghargai, adil, empati, teguh pendirian, tolong-menolong, hingga persatuan.  Semua nilai itu digambarkan dalam cerita sederhana, dengan mengambil contoh yang sangat dekat dengan kehidupan anak di rumah dan di lingkungan sekitarnya.

Buku ini sengaja saya tulis sebagai upaya dini untuk mengedukasi anak agar sejak kecil mereka mengenal dan terbiasa dengan nilai-nilai damai. Harapannya, ketika anak terbiasa mendengar dan melakukan sikap-sikap positif, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang bermindset dan berperilaku damai. Baik yang sifatnya intrinsik (ke dalam diri sendiri)  atau pun yang berhubungan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya (entrinsik).

Sekilas, buku ini hampir sama dengan buku cerita anak lainnya, yang berisi pesan-pesan karakter. Namun, yang agak berbeda adalah, metode penyampaian dalam buku ini lebih halus dan lebih dekat dengan orangtua dan anak. Sebab, buku ini mengisahkan pengalaman antara anak dan orangtuanya dalam berbagai kejadian sehari-hari. Karena itu, buku ini bersifat dwifungsi.

Bagi anak, buku ini dapat menjadi media untuk mengenal nilai-nilai damai. Sementara bagi orangtua,  buku ini dapat menjadi panduan praktis bagaimana mengenalkan dan mempraktikkan nilai-nilai damai pada anak di rumah.

Banyak hal sederhana yang bisa dilakukan oleh orangtua, dan anggota keluarga, dalam membangun budaya damai sejak dini di rumah. Beberapa di antaranya: Pertama, berusaha menjadi tauladan dengan berkata dan berperilaku yang baik, khususnya di hadapan anak. Sehingga anak memiliki role model (contoh nyata) yang baik di dalam rumahnya, yang disaksikannya sehari-hari. Sebab, di usia emas anak, mereka akan meniru apa yang dilihatnya, bukan apa yang didengarnya..

Kedua, membangun lingkungan yang kondusif di dalam rumah. Lingkungan ini sangat memengaruhi perkembangan anak. Hubungan yang harmonis antara ayah, ibu, saudara, dan keluarga lain yang tinggal di rumah, membuat anak akan senang dan nyaman di dalam rumah.

Lingkungan harmonis itu dengan sendirinya mendidik anak tentang pentingnya membangun lingkungan yang nyaman di mana pun dia berada: di dalam rumah, lingkungan teman sepermainan, sekolah, hingga negara.

Ketiga, membiasakan disiplin. Membangun budaya disiplin memang tidak mudah. Tapi harus dilakukan. Orangtua bisa mengajak anak untuk membangun kesepakatan-kesekapatan. Seperti kapan waktu belajar, makan, membantu orangtua membersihkan rumah, bermain, istirahat, serta  kapan dan berapa lama waktu menonton dan bermain game di handphone.

Keempat, membacakan buku-buku yang baik untuk anak. Dalam proses ini, anak akan belajar kosa kata yang baik serta mendengarkan orang lain yang sedang membacakannya, Ke depan, anak akan terbiasa berkata baik serta bersedia mendengarkan orang lain sebelum menuduh atau menolak orang yang dianggapnya berbeda.

Kelima, melakukan kunjungan edukatif seperti ke museum, taman mini Indonesia indah, atau mengunjungi keluarga atau tetangga yang sakit. Mengunjungi anakM-anak di kolong jembatan atau di panti asuhan juga bisa jadi kegiatan yang menyenangkan sekaligus pengalaman yang berharga bagi anak.

Menjadi orangtua adalah pekerjaan yang sangat menantang dan  tak tenilai harganya. Ia membutuhkan kemauan, kesungguhan, kesabaran dan kreatifititas yang tinggi. Karena itu, pekerjaan ini sangat mulia di sisi Tuhan.

Semoga kita terus mau belajar dan berlatih menjadi orangtua yang baik untuk anak-anak kita.

Leave a Response