Rumah tangga merupakan sebuah ikatan yang mengikat manusia dalam bingkai kehalalan. Manusia yang dibekali oleh Alllah dengan nafsu dan rasa ketertarikan pada lawan jenis harus diatur dalam sebuah ikatan yang halal, yakni perkawinan.
Menjalani rumah tangga bukanlah perkara mudah. Terbukti banyak orang yang menjalani rumah tangga berakhir dengan perpisahan. Dampaknya juga banyak, yang terbesar dampaknya adalah pada anak. Sebab perpisahan orang tua merupakan beban psikologis terbesar bagi anak.
Pada dasarnya meraih posisi sakinah dalam rumah tangga tidak muncul begitu saja. Butuh ilmu dan kesadaran tinggi dalam mengelolanya. Kesadaran tersebut juga harus diwujudkan oleh kedua pihak. Tidak cukup isteri yang berusaha mengalah dan mengerti, sementara suami berlaku seenaknya. Begitu juga sebaliknya.
Sebagai sebuah pedoman Al-Qur’an juga memperhatikan esensi berumah tangga. Ia mengarahkan manusia bahwa tujuan berumah tangga adalah mencapai ketenteraman, kedamaian, dan kebahagiaan. Istilah ini seringkali disebut dengan “sakinah”.
Dalam surat al-Rum ayat 21 secara tegas al-Qur’an mengatakan (yang terjemahnya kurang lebih):
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”.
Seorang mufasir besar, Fakhruddin al-Razi mengatakan dalam “Mafatih al-Ghaib”-nya bahwa tujuan berpasangan dalam bingkai perkawinan (azwajan) adalah meraih ketentraman dan kedamaian. Ketenteraman yang dimaksud adalah ketenteraman hati dan jasad, lahir, dan batin. Oleh sebab itu rumah tangga yang menenteramkan dan membahagiakan sering disebut rumah tangga sakinah.
Selanjutnya, dalam mencapai titik “sakinah”, ada perangkat, piranti, dan infrastruktur yang diperlukan. Perangkat ini juga secara alamiah dititipkan oleh Allah pada diri manusia.
Perangkat yang dimaksud adalah “mawaddah” dan “rahmah”. Al-Zuhaili dalam tafsir “Munir”-nya memaknai “mawaddah” sebagai “mahabbah”, yakni rasa cinta yang mendalam. Sedangkan “rahmah” dimaknai sebagai “syafaqah”, yakni rasa empati dan kasih sayang.
Kedua perangkat tersebut harus ada dalam masing-masing suami dan isteri. Apabila keduanya atau salah satu kedua perangkat tersebut tidak memilikinya maka rumah tangga yang sakinah dan bahagia akan sulit terwujud.
Kedua perangkat itu penting keberadaannya sebab keduanya akan melahirkan sikap saling dalam kebaikan di dalam rumah tangga. Suami dan isteri semula adalah individu yang merdeka, tidak terikat oleh ikatan apapun sebelum menikah. Pasca menikah keduanya tiba-tiba terikat dengan ikatan perkawinan yang membawa konsekuensi dalam kehidupan mereka.
Konsekuensi tersebut di antaranya adalah sikap “saling” untuk dan dari masing-masing suami dan isteri. Suami isteri harus saling mengerti, saling memahami, dan saling menghargai. Suami harus menghargai dan memuliakan isterinya, begitu juga sebaliknya, isteri harus memuliakan dan menghargai suaminya.
Konsekuensi saling ini sebetulnya sudah dijelaskan secar tegas dalam al-Qur’an. Dalam surat al-Nisa ayat 19 Allah berfirman “Wa’asyiruuhunna bi al-Ma’ruf” (pergaulilah isterimu dengan baik).
Ayat ini tidak hanya berbicara pada suami dengan memerintahkan berbuat baik pada isterinya. Akan tetapi secara implisit isteri juga mendapat perintah untuk berbuat baik pada suaminya. Inilah yang dimaksud dengan konsep “saling” dalam rumah tangga.
Konsep “saling” ini terletak pada makna yang tersimpan pada lafal “wa’asyiruhunna” yang mengandung faidah “musyarakah baina al-itsnain”. Dalam kitab al-Amtsilah al-Tasrifiyyah, kitab sorof legendaris yang dipelajari di mayoritas pesantren, faedah “musyarakah baina al-itsnain” bermakna persekutuan dua subyek.
Konsekuensinya baik subyek maupun obyek perbuatan dikenakan perbuatan yang sama secara timbal balik (saling). Dengan demikian rumah tangga harus diisi dengan sikap serba “saling” antara suami dan isteri. Saling menghormati, saling menghargai, saling menjaga, dan saling-saling lainnya. Tujuannya jelas, agar rumah tangga yang stabil dan tenteram dapat terwujud.
Sebaliknya apabila sikap saling tidak dapat terwujud, atau hanya salah satu pihak yang berbuat baik, maka ketenteraman dalam rumah tangga sulit tercapai. Suami yang bekerja mencari nafkah harus menghargai isterinya yang fokus mengurus rumah tangga.
Suami tidak boleh “merasa menang sendiri” dengan alasan ia adalah kepala keluarga. Sebab di balik itu semua terdapat peran isteri yang menjadi benteng pertahanan dan ketahanan rumah tangga. Di balik kesibukan suami di luar untuk mencari nafkah, terdapat peran isteri yang memastikan bahwa urusan domestik seperti pakaian, makanan, dan pendidikan anak dapat terkendali. Begitu juga sebaliknya.