Setiap kali menjelang bulan Ramadan tiba, hampir setiap orang dari seluruh lapisan masyarakat mengadakan penyambutan dengan pelbagai macam aktivitas. Bahkan, tidak sedikit yang mengadakan gotong royong untuk menyambut bulan yang sangat mulia ini. Membersihkan perabotan masjid, menyiapkan persediaan makanan selama bulan Ramadan, dan persiapan lainnya.
Tidak jarang juga banyak sekali flayer atau famplet elektronik atau banner bertuliskan “marhaban ya ramadan, marhaban ya syahra shiam”, memenuhi status media sosial (whatsup, instagram, facebook dan lain-lain) sampai memenuhi gang-gang perumahan dan masjid-masjid di seantero penjuru nusantara, pertanda kerinduan dan suka cita masyarakat menyambut bulan yang sangat mulia ini.
Antusiasme masyarakat akan datangnya bulan Ramadan memang baik dan harus terus dilestarikan.
Namun selaku manusia yang berakal, kita juga harus menyadari bahwa apa yang dilakukan selama ini hanya sebatas sambutan zahir atau yang terlihat saja tanpa disejajarkan dengan niat dan keadaan hati yang betul-betul gembira dengan datangnya bulan yang mulia ini.
Kembali membuka-buka buku lama, saya teringat dengan salah satu buku berjudul Merasa pintar, bodoh saja tak punya karya Almarhum Cak Rushdie Mathari, seorang wartawan senior Indonesia. Buku tersebut merupakan kompilasi atau kumpulan cerpen yang menempatkan Cak Dlahom, seorang sufi yang dianggap aneh dan nyeleneh sebagai lakon atau tokoh utama dalam buku tersebut.
Dalam salah satu cerpen yang di buku ini yang berjudul “benarkah kamu merindukan Ramadan?”, dikisahkan bahwa cak Dlahom, seorang sufi yang aneh itu berulah lagi setelah melihat spanduk yang dipasang di pagar masjid bertuliskan “selamat datang Ramadan kami rindu padamu.”
Seperti biasa, dengan kebiasaannya yang nyeleneh, Ia berteriak membaca berulang-ulang tulisan dalam spanduk tersebut. Tapi seolah sudah biasa dengan tingkahnya itu, masyarakat hanya membiarkannya dan banyak anak-anak menertawainya.
Namun berbeda bagi Mat Piti, seorang Cak Dlahom adalah orang yang sangat istimewa baginya. Sebab, bagi dia Cak Dlahom bukanlah orang sembarangan. Meskipun sering menunjukkan sikap yang aneh, namun dengan kebiasaan itulah justru Cak dlahom sedang memberkan suatu peajaran.
Dengan rasa penasaran, Mat Piti mendatanginya ingin tahu apa yang sedang dilakukannya. Maka terjadilah percakapan berikut :
“Belajar membaca, cak?”
“Siapa yang pasang spanduk itu, Mat?”
“Anak-anak masjid, Cak. Idenya dari saya.”
“Nanti menjelang lebaran spanduknya ganti lagi?”
“Ya diganti, Cak. Diganti ‘Ramadan kami masih merindukanmu tapi kau cepat berlalu’.”
“Apa benar kamu merindukan Ramadan, Mat?”
“Ya…benar, Cak.”
“Kamu senang berpuasa?”
“Senang, Cak”
“Benar, kamu senang puasa, Mat?”
“Maksudnya, Cak?”
“Menurutmu, kenapa orang Islam diwajibkan berpuasa?”
“Supaya bertakwa, Cak.”
“Itu tujuannya, Mat.”
“Jadi kenapa ada kewajiban, Cak?”
“Menurutmu kenapa ada hukum puasa? Kenapa kewajiban puasa diturunkan oleh Allah?”
“Lah saya kan yang bertanya, Cak?”
“Mat, sesuatu yang diwajibkan adalah sesuatu yang manusia tidak suka mengerjakannya. Kalau manusia suka melakukannya untuk apa diwajibkan?”
“Ya… Tapi kan tetap wajib berpuasa, Cak?”
“Tentu saja, Mat. Masalahnya: benar, kamu suka puasa?”
“Insya Alllah benar, Cak.”
“Kalau begitu, ayo kita usulkan kepada Allah agar puasa Ramadan tidak diwajibkan—apalagi hanya sebulan dalam setahun. Sebab manusia, termasuk kamu, sudah suka.”
“Ya ndak gitu juga kali, Cak?”
“Lah terus gimana? Kamu suka atau tidak suka puasa? Aslinya loh ya, Mat?”
“Sebetulnya sih agak ndak suka, Cak…”
“Terus salat, apa kamu juga suka salat? Lima kali sehari, suka? Nanti malam ada tarawih, benar kamu suka mengerjakannya?”
“Iya sih, agak ndak suka juga…”
“Agak tidak suka atau tidak suka, Mat?”
“Agak… Agak tidak… Tidak suka, Cak.”
“Lalu kenapa kamu berpura-pura merindukan Ramadan?”
“Ya gimana lagi, Cak, setiap tahunnya memang begitu.”
“Dan kamu ikut-ikutan, padahal kamu tidak suka puasa, tidak suka salat?”
“Siapa juga yang berani, Cak…”
Begitulah kurang lebih percakapan antara Cak Dlahom dan Mat Piti. Dalam percakapan tersebut, Cak Dlahom berkomentar tentang kebiasaan kita yang seolah-olah merindukan puasa dan ibadah lainnya di bulan Ramadan dengan menyambutnya dengan penuh suka cita. Padahal, sebetulnya sama sekali tidak menyukainya atau bahkan mengerjakannya dengan terpaksa.
Jika butuh konfirmasi soal bukti, kita bisa lihat kebiasaan banyak orang yang mempersiapkan banyak makanan dan minuman melebihi hari-hari di luar Ramadan, seakan-akan bahwa dengan menahan makan dan minum di siang hari, bisa digantikan dengan melampiaskannya pada waktu malam hari, bahkan dengan kadar makan lebih banyak di hari-hari biasa.
Belum lagi banyak jama’ah salat tarawih yang hanya mengerjakan salat tarawih di awal dan akhir bulan Ramadan saja. Bukankah dengan kebiasaan demikian kita tidak benar-benar merindukan Ramadan?
Tentu benar jika dikatakan bahwa kita perlu mempersiapkan segala hal untuk menghadapi bulan Ramadan ini. Akan tetapi, jika persiapan tersebut berlebihan, khususnya persiapan bahan baku makanan terbukti dengan melonjaknya kebutuhan pasar setiap kali memasuki bulan Ramadan, justru seakan-akan kita hanya menunda makan dan minum saja. Padahal, esensi dari puasa adalah menahan dan mengendalikan hawa nafsu.
Hal ini menjadi pelajaran bagi semua, bahwa dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan, kita perlu mempersiapkan pengetahuan soal ibadah puasa, memperbaiki niat, bertekad memperbaiki tingkah laku sehari-hari yang dulu tidak baik menuju kepada kebaikan, dan yang terpenting belajar mengendalikan hawa nafsu dengan makan makan minum sewajarnya sehingga kita benar-benar bisa maksimal dalam melaksanakan ibadah selama bulan Ramadan.
Dan yang klimaksnya, ketika Ramadan meninggalkan kita, kita akan benar-benar merindukannnya. Sebab, banyak hikmah dan pelajaran yang diambil selama bulan tersebut berlangsung.