Negara yang berdaulat merupakan anugerah terbesar bagi rakyatnya. Melepaskan diri dari kolonialisme dan imperialisme dan bisa mengatur negara sesuai kehendak warganya merupakan cita-cita semua bangsa. Oleh karena itu, hari kemerdekaan merupakan momen terpenting dalam sejarah bangsa dan negaranya.
Pembacaan teks proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 menjelaskan dan menegaskan bahwa bangsa Indonesia mulai saat itu terbebas dari penjajahan dan belenggu tirani bangsa lain. Hal ini juga bisa dikatakan bahwa bangsa Indonesia telah merdeka dan berhak mengatur nasib bangsa sendiri setelah sekian abad rakyat Indonesia diatur oleh orang asing dan tidak mempunyai kedaulatan.
Tak terhitung, jumlah nyawa melayang dalam pertempuran melawan kolonialisme di Tanah Air demi terwujudnya sebuah kemerdekaan. Baik mereka yang dari golongan orang biasa, cendekiawan, tokoh agama, bahkan para raja, turut mendorong agar terciptanya kehidupan bangsa yang tentram.
Namun sungguh sayang, beberapa dari kita masih menganggap dan menyerukan bahwa perayaan hari spesial itu sebagai suatu yang jahiliyah, dianggap tidak sesuai dengan tuntutan agama. Berawal dari sini, penulis ingin mendiskusikan bagaimana pandangan Islam terhadap perayaan kemerdekaan.
Beberapa orang yang melarang kita dalam memperingati hari kemerdekaan menggunakan hadis sebagai berikut.
إن لكل قوم عيدا ، وهذا عيدنا
Setiap kaum memiliki ‘Id sendiri dan ‘Idul Fitri ini adalah ‘Id kita (kaum muslimin)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Secara historis, hadis di atas muncul ketika Nabi Muhammad mengubah hari hari raya orang-orang pagan yang diselengggarakan di Mekkah menjadi hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Secara matan, hadis di atas hanya sebuah pernyataan bahwa Islam mempunyai dua hari raya festival, tidak ada kata yang menujukkan larangan terhadap festival lain.
Perlu diketahui bersama bahwa tidak ada ayat dan hadis satu pun yang secara jelas mengharamkan peringatan hari kemerdekaan. Justru sebaliknya, Nabi berulang-ulang menyatakan bahwa perbudakan dan sistemnya harus dihentikan. Perbudakan dan penjajahan merupakan hal yang sama.
Pembacaan proklamasi kemerdekaan adalah pintu emas untuk menuju peradaban yang bersih, bebas tanpa perbudakan dan penjajahan. Oleh karena itu, pelarangan terhadap peringatan kemerdekaan justru bertolakbelakang dengan spirit Islam yang sejak dari awal membela hak-hak kemanusiaan.
Tidak hanya menggunakan hadis di atas, mereka yang menganggap bahwa peringatan kemerdekaan sebagai perayaan yang dilarang oleh agama menyatakan bahwa merayakan kemerdekaan merupakan sebuah perbuatan syirik dan yang melakukannya jelas musyrik.
Mereka menggagap bahwa kegiatan seperti hormat kepada bendera atau simbol-simbol lain dalam perayaan kemerdekaan akan mempengaruhi kualitas iman, dan dikhawatirkan kecintaan kepada negara yang sifatnya duniawi akan melebihi cinta kita kepada Allah.
Logika seperti tidak bisa dijadikan landasan untuk mengharamkan perayaan tersebut karena terdapat banyak faktor. Antara lain:
Pertama, hormat kepada bendera bukan berarti menyembah benda tersebut dan tidak sama seperti para pagan yang menyembah berhala. Para ulama sepakat bahwa hormat kepada bendera diperbolehkan karena hal ini termasuk dalam kategori penghormatan terhadap negara atau pemimpin. Dan itu, sah-sah saja dalam Islam.
Kedua, perayaan kemerdekaan tidak melulu tentang seremoni duniawi. Penggalan dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan capaian yang harus disyukuri dan diperingati. Peringatan kemerdekaan juga banyak mengandung aspek ukhrawi yakni dengan mengucap syukur kepada Allah atas nikmat kemerdekaan seperti dalam penggalan tersebut.
Ketiga, perayaan kemederkaan adalah sebuah hari peringatan yang datangnya bukan dari ritual umat Kristiani, Buddha, Yahudi, maupun Islam sekalipun. Dalam satu sisi, perayaan ini sama halnya dengan perayaan lulusan, ulang tahun, dan lain sebagainya yang menandakan bahwa pada saat itu memang terjadi momen spesial dalam hidup.
Oleh karena itu, hari kemerdekaan merupakan festival non-keagamaan dan diperbolehkan dalam Islam karena memang tidak ada ayat Alquran atau hadis ataupun ijma ulama yang berkesimpulan haram akan hal itu.
Keempat, jika ditinjau dari aspek realita yang terjadi di seluruh pelosok negeri, perayaan kemerdekaan merupakan aspek positif yang bisa menyatukan persaudaraan sebagai sebuah bangsa (ukhuwah wathaniyyah) dan menguatkan semangat nasionalisme. Ukhuwah wathaniyyah merupakan bekal penting untuk menuju negara yang berdaulat dan adil dalam hukum.
Kelima, tidak hanya di Indonesia, para ulama di Arab Saudi juga telah melaksanaakan perayaan hari kebangsaan untuk mengenang peristiwa unifikasi Hijaz dan Najd pada tahun 1932. Begitu juga para ulama di Mesir melakukan perayaan kemerdekaan pada 23 Juli. Hal ini terjadi karena memang tidak ada konsesus para ulama yang melarang hari kebangsaan, seperti hari kemerdekaan.
Jika ditinjau dari beberapa aspek di atas, maka dapat disimpulkan bahwa memperingati kemerdekaan Negara Republik Indonesia diperbolehkan. Hal ini juga ditegaskan oleh mayoritas ulama bahwa peringatan kemerdekaan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.