Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa Islam terbesar di dunia dalam perjalanannya telah berkontribusi menguatkan sendi-sendi kebangsaan Indonesia. NU sejak kemunculannya telah menjadi “soko guru” bagi perjalanan panjang bangsa Indonesia.

Sejak pasca kemerdekaan, NU selalu menjadi garda terdepan untuk melawan para “penyakit bangsa” yang biasanya berjubah politis atau ideologis, seperti PKI dan paham Khilafah, yang pernah dan bahkan hingga hari ini menjangkiti nalar masyarakat  Indonesia.

Pada tahun 2017, sebagian dari tokoh-tokoh NU juga mengambil peran dalam mendorong dibubarkannya HTI, sebagai ormas terlarang di Indonesia melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. NU secara kultural sangat kuat dan mengakar di mana-mana. Karena ormas ini lahir sebagai upaya merawat nilai-nilai agama dan budaya yang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat.

Kita perlu memahami NU secara proporsional. NU sendiri menurut Fathorrahman JM (2016), dikategorikan sebagai Jamaah dan Jam’iyyah. Jamaah NU adalah komunitas masyarakat yang memiliki karakteristik unik di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Sedangkan Jami’yyah merupakan wadah formal untuk jamaah yang dilengkapi dengan AD/ART yang bersifat formalistik.

Secara historis, NU telah berfungsi sebagai wadah bagi civil society dan telah menjadi bangunan besar yang mampu menampung segala puing-puing realitas kemanusiaan di dalamnya. NU pun secara langsung telah berkontribusi dalam penguatan identitas kebangsaan di samping peran ormas yang lainnya.

Dalam momentum bulan Agustus ini, selain kita memasang bendera merah putih di depan rumah, kita juga perlu untuk mengingat akan romantisme perjuangan di era kemerdekaan pada masa lalu. Kita perlu juga menilik peran-peran kultural NU di medan perjuangan.

Terlampir dalam sejarah perjuangan NU dalam laskar Hizbullah yang menjadi roda terdepan dalam pertempuran melawan Belanda pada 10 November 1945 di Surabaya. Mengingat sejarah tersebut, bisa menjadi bekal untuk menguatkan identitas kebangsaan kita.

Karena terma “Identitas” dewasa ini menjadi suatu media yang sangat penting bagi suatu bangsa. Nusantara dalam hal ini Negara Indonesia, merupakan suatu konsepsi yang menyatukan berbagai identitas kultural untuk dijadikan “identias bersama” yang kemudian bernama Indonesia.

Identitas kebangsaan adalah suatu konsepsi yang digali oleh Sukarno yang kemudian menjadi Pancasila. Pancasila sendiri merupakan nilai universal kemanusiaan yang menampung segala realitas kemanusiaan yang ada di Indonesia.

Dalam hal ini, NU juga berperan besar mengiringi perjalanan bangsa Indonesia dalam mengarungi gelombang besar, mulai dari politik, sosial keagamaan, pendidikan, ekonomi, budaya, dan kemanusiaan. NU dalam perjalanannya telah menjadi “pesantren besar” yang telah mencerdaskan generasi bangsa dan menjadi benteng utama dalam rangka menjaga tradisi bangsa sebagai “Idenititas” yang an sich.

Identitas bangsa Indonesia menurut Zulkifli Hasan (2018) adalah Pancasila. Kita harus tahu secara mendalam tentang identitas dan jati diri kita (dalam hal ini Pancasila). Karena cukup banyak paham yang masuk dan berupaya merusak sendi-sendi bangsa dan ini harus dilawan.

Saat ini, NU dan Pancasila menjadi dua entitas bangsa yang sangat berharga, karena keduanya kuat dalam membentengi pertahanan untuk membendung para perusak identitas bangsa.

Identitas kebangsaan sangatlah penting untuk dijaga. Karena pada dasarnya identitas kebangsaan Indonesia memiliki dasar kekuatan yang menopang mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dasar kekuatan itu adalah (PBNU), yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan UUD 1945. Mereafirmasi identitas kebangsaan merupakan suatu keniscayaan, di tengah gejolak pertarungan politik identitas.

NU sebagai Jamaah dan Jam’iyyah sekaligus, dalam perjalanannya akan selalu menjadi mediator untuk membendung berbagai gempuran ideologi yang berupaya merusak identitas kebangsaan di Indonesia. NU bukan hanya menjadi gerakan sosial keagamaan, pendidikan, ekonomi, politik dan sebagainya. Tetapi NU melampaui itu semua.

Dalam konteks ini, momentum bulan agustusan bisa menjadi media mereafirmasi identitas kebangsaan. Romantisme kebangsaan harus digalakkan kepada seluruh generasi penerus bangsa sebagai upaya mengingat sejarah. Karena dengan hal itu, kekuatan sebagai bangsa akan bisa terus bertahan.

Akhirnya, yang kita butuhkan ke depan itu adalah menguatkan identitas dalam balutan persatuan kebangsaan. Belajar dari negara maju dan besar di dunia, seperti Jerman, Inggris dan Belanda yang bisa demikian membangun negaranya. Karena di sana sangat menghargai sejarah peradaban bangsanya sendiri untuk dijadikan pijakan dalam bergerak ke masa depan.

Leave a Response