Sudah sejak ribuan tahun yang lalu pintu masjid tertua di Kairo, Mesir, terbuka bagi umat Islam yang ingin melaksanakan ibadah salat dan iktikaf. Pintu masjid itu bahkan tidak ditutup meski pada abad ke 14, Wabah Hitam menyergap dan menghabiskan ¾ populasi dunia; diikuti oleh Kolera pada abad ke 19; dan Flu Spanyol di tengah-tengah suasana lindap musim dingin pada tahun 1918.

Hingga suatu saat, ketika Virus Korona muncul baru beberapa bulan lalu di Wuhan, Cina, dan menyeruak ke seluruh dunia hingga saat ini, pintu masjid itu pun ditutup untuk pertama kali. Ironisnya, keadaan ini terjadi ketika 1.8 Miliar umat Islam akan melaksakan ibadah puasa.

Sejak hari pertama karantina wilayah atau lockdown diberlakukan di Al-Azhar, Syaikh Muhamed Rashad Zaghlouol, bersedih. Air matanya mengucur deras. Zaghloul adalah salah satu muadzin di masjid itu. Tangisnya tumpah ketika mengucapkan lafadz adzan untuk pertama kalinya di dalam masjid yang tak berpenghuni.

“Sangat sulit bagi saya,” kata Zaghloul setelah melaksanakan salat dzhuhur, “ketika aku mengumandangkan adzan, tak ada seorang pun akan datang, laiknya Tuhan sedang menolak kita”.

Di Jordania, Mohammad Faoury, seorang laki-laki yang bekerja di balai organisasi pengungsian turut menyatakan bahwa ini adalah keadaan yang sulit. Bagi Faoury, bulan Ramadan adalah momen ketika ia bisa kembali ke rumah untuk menengok keluarganya untuk waktu yang lama, untuk memperkuat kembali ikatan kekeluargaan.

Pandemi bahkan telah merenggut suasana Ka’bah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid al-Aqsa di Palestina, yang selalu ramai dengan umat Islam yang melaksanakan ibadah dan mengucapkan tasbih dan tahmid kepada Allah Swt menjadi sepi tak berpenghuni. Pintu-pintunya ditutup, kecuali untuk kepentingan menata dan membersihkan masjid.

Dengannya, Syaikh Omar al-Kiswami, seorang imam dan pimpinan Masjid al-Aqsa bahkan turut merasakan kesedihan yang mendalam. Baginya, sepanjang sejarah Islam, momen Ramadan tahun ini adalah yang paling menyesakkan dada. Namun bagi Abu Ibrahim, pandemi ini tidak berarti apa-apa ketimbang kesulitan yang ia alami di tahun 2011, ketika Ramadan di Syiria disesaki dengan hujan rudal dan peluru.

Sehingga bagi Ibrahim, virus korona tidak berarti apa-apa ketimbang pengalaman pahit yang ia rasakan beberapa tahun lalu.

Beberapa kesaksian di atas mengajak kita sejenak untuk merenungkan lebih dalam bahwa, ibadah Ramadan di mata umat Islam pada umumnya tidak hanya soal menahan lapar-haus dan hal-hal lainnya yang membatalkan puasa, melainkan juga memiliki relasi yang kuat dengan masjid, kekeluargaan, dan kemanusiaan.

Di tengah pandemi saat ini, tanpa suasana masjid yang ramai dengan bacaan al-Quran dan zikir, Ramadan terasa berbeda dari biasanya. Asbab, di mata umat Islam, masjid tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat beribadah, melainkan juga sebuah institusi pendidikan dan sosial.

Dalam sejarah, ketika telah banyak yang dibangun, masjid menjadi tempat untuk menggembleng umat Islam agar dapat membaca dan menulis. Muhammad Taher di dalam karyanya The Book in The Islamic Civilization menulis, “perpustakaan pertama dalam peradaban Islam adalah masjid”.

Misalnya perpustakaan paling terkenal yang bertempat di Masjid Besar Cordoba, diikuti Masjid Qarawiyyin di Fez, Maroko, yang pada saat Ramadan ramai dikunjungi umat Islam untuk membaca dan menulis. Lebih dari itu, masjid juga merupakan institusi sosial yang dapat membangkitkan semangat komunal masyarakat.

Saat Ramadan, masjid akan sangat ramai karena menyelenggarakan pengajian, menyediakan iftar atau makanan buka puasa, bahkan sahur. Di pekarangan, masyarakat beramai-ramai membangun tenda sederhana dan membuka bazar untuk menjual pakaian dan makanan.

Namun ketika pandemi melanda, barangkali akan sulit melihat semua hal itu terjadi. Di Mesir dan Turki, selama Ramadan, pemerintah mulai memberlakukan kebijakan untuk membatalkan semua kegiatan yang mengundang kerumunan, termasuk kelompok-kelompok penyedia layanan buka puasa.

Sedangkan di Malaysia, Brunei dan Singapura, bazar-bazar yang menjual minuman, makanan dan berbagai pakaian juga telah ditiadakan. Dakwah-dakwah hingga pembacaan al-Quran bahkan mulai direncanakan secara daring. Melalui pembatasan aktifitas fisik (physical distancing) kita juga akan sulit menemukan aktifitas paling sederhana, seperti berpelukan dan jabat tangan, yang seringkali dipraktikkan oleh umat Islam.

Lebih dari itu, bagi umat Islam yang terinfeksi virus harus mempertimbangkan anjuran medis untuk memastikan apakah mereka  bisa berpuasa atau tidak sama sekali. Sebaliknya, bagi yang tidak terinfeksi, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa dan memperhatikan protokol kesehatan yang ada.

Di Indonesia, jauh sebelum PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) diberlakukan, beberapa masjid telah mengimbau untuk melaksanakan salat di rumah masing-masing. Alasannya untuk menekan laju penyebaran COVID-19 agar tidak terlalu cepat dan bisa dikontrol. Alhasil, masjid mulai sepi dari seluruh kegiatan dakwah, ibadah, dan sosial.

Satu-satunya yang tersisa adalah suara adzan yang dikumandangkan oleh muadzin. Meskipun demikian, ada masjid di tanah air yang tetap melaksanakan salat tarwih sebagaimana biasa, misalnya di daerah Sumatera Utara melalui keputusan MUI daerah setempat. Sandaran yang mereka pilih untuk menjadi dasar argumennya adalah keyakinan bahwa agama itu tidak ditujukan untuk pribadi seseorang, melainkan juga komunitas masyarakat yang lebih luas.

Dengan demikian, mengutip Khoirul Anam dalam tulisannya yang berjudul “Beragama di Tengah Bencana”, larangan untuk melakukan kegiatan yang melibatkan masa diartikan sebagai upaya untuk membunuh agama.

Apa yang bisa kita petik dari pengalaman ini, paling tidak menyiratkan satu hal bahwa respon umat Islam ketika pandemi itu menghasilkan tafsir yang berbeda-beda terhadap pelaksanaan ibadah. Ada yang sigap menanggapi wabah, tapi tak sedikit juga kelompok agama yang tetap menggelar banyak kegiatan keagamaan yang kontra-produktif dalam upaya melawan penyebaran virus.

Meski pada faktanya, mayoritas Muslim lebih memilih melaksanakan ibadah di rumah saja. Suara-suara yang timbul dari mulut Zaghlouol, Faoury dan al-Kiswami, Ibrahim hingga sebagian besar umat Islam di Indonesia membuktikan itu.

Di tahun-tahun sebelumnya, khususnya di Indonesia, seminggu sebelum Hari Raya Idul Fitri dilaksanakan umat Islam biasanya mudik. Mereka bahkan rela menabung di bulan-bulan sebelumnya untuk sekadar pulang menemui keluarga agar dapat menghabiskan waktu bersama. Namun setelah adanya pemberlakuan kebijakan karantina wilayah (lockdown), pemerintah mulai mengimbau agar setiap umat Islam untu mengurungkan niat mereka untuk mudik.

Aturan ini belakangan lalu diperkuat dengan putusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merekomendasikan umat Islam agar tetap bekerja dan berada di perantauan sampai ketika keadaan mulai kondusif.

Keputusan ini tidak sekadar dilakukan di Indonesia. Grand Mufti Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdullah Al-Syaikh, bahkan telah mengeluarkan fatwa bahwa jika pandemi ini tetap berlangsung, maka salat Idul Fitri bisa dilakukan di rumah saja.

Jauh sebelumnya, keputusan serupa juga sudah disampaikan oleh Imam Besar Al-Azhar, Syaik Ahmed Teyyeb, yang menekankan pentingnya mematuhi instruksi medis dan peratruan yang ditetapkan oleh lembaga resmi pemerintahan untuk menghadapi pandemi COVID-19 sebelum, selama Ramadan, hingga Hari Raya Idul Fitri nanti. Sehingga, mau tidak mau, Idul Fitri tahun ini akan berbeda dari sebelumnya: yang biasanya dirayakan bersama keluarga besar, menjadi perayaan kecil yang hanya diisi oleh anggota keluarga inti.

Bagi anak kecil, perayaan ini bisa jadi sangat berbeda dan kurang antusias. Namun mereka akan mengingat dan menceritakan kepada generasi selanjutnya bahwa di tahun ini, salah satu ibadah yang paling berarti di dalam Islam pernah dirayakan dengan cara yang berbeda.

Akan tetapi, dengan pengalaman Ramadan dan Idul Fitri yang cukup berbeda ini, umat Islam juga sedang diingatkan bahwa kesendirian dan kesulitan harusnya tidak menjadi penghalang. Sebaliknya, ini justru menantang mereka agar bisa lebih dekat dengan salah satu spirit dalam ibadah puasa yang menekankan empati pada mereka yang merasakan kesulitan.

Ambil contoh Muslim Rohingya di Bangladesh yang, dari tahun ke tahun merasakan Ramadan di tengah-tengah persekusi, amukan, bahkan pembataian namun tetap melaksanakan ibadah puasa tanpa komplain sama sekali. Di level paling dekat, hal semacam ini juga turut dirasakan oleh para tenaga kesehatan. Hampir keseluruhan dari mereka mungkin sudah memprediksi bahwa Ramadan dan Idul Fitri kali ini akan berbeda dari biasanya.

Kemungkinan mereka juga sudah memutuskan untuk tidak tinggal serumah lagi bersama keluarga dengan alasan untuk menghindari kemungkinan penyebaran virus.

Pandemi ini tentu saja akan mengubah cara dan sikap umat Islam dalam beribadah selama Ramadan. Tapi jangan sampai mengurangi esensi dalam beribadah. Sebagaimana telah dipraktikkan oleh orang-orang terdahulu, ibadah puasa jelas Qs. Al-Baqarah ayat 183, agar kita semua dianugerahi taqwa!

Leave a Response