Sebagaimana lazimnya dunia intelektual di Barat yang menyebut nama-nama intelektual Muslim dengan sebutan yang sangat khas.  Seperti Ibnu Sina (980-1037 M) dipanggil sebagai Avieccena, Ibnu Bajjah (1100-1138 M), sebagai Avempace, Ibnu Thufail (1138 M), sebagai Abubacer dan Ibnu Rusyd (1126 -1198 M), sebagai Averroce.

“algazal”, demikian para intelektual Barat juga menyebut nama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i al-Ghazali (1111 M). Nama al-Ghazali begitu terkenal diberbagai belahan dunia sebagai seorang ahli filsafat, teologi, ahli fiqh dan ahli tasawuf. al-Ghazali juga dianggap sebagai tokoh yang menyebabkan kemunduran filsafat dalam dunia Islam melalui kritik dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, walaupun anggapan ini tak dapat dibenarkan sepenuhnya.

Kendati demikian, nama al-Ghazali melalui magnum opus-nya Ihya’ ‘Ulumuddin (kebangkitan ilmu-ilmu agama), disebut-sebut sebagai tokoh yang paling berjasa dalam mengkompromikan dan mendamaikan kedua bidang keilmuan, antara syariat dan hakikat, antara teologi dan fiqh, menjadi keilmuan tasawuf yang lebih moderat. Meminjam istilah Annemarie Schimmel sebagai tawasuf personality bukan lagi tasawuf yang bercorak infinity.

Dalam catatan Nurcholish Madjid atau Cak Nur yang dimuat di Kaki Langit Peradaban Islam (1997),  pengaruh pemikiran al-Ghazali melalui Ihya’ ‘Ulumuddin, dianggap tak hanya pada umat Islam saja. Akan tetapi juga berpengaruh pada agama Yahudi melalui filsuf besar Yahudi, Musa Bin Maymun (Moses the Maimonises), dan juga pada mistisme ajaran agama Kristen Katolik beraliran Ordo Fransiscan. Bahkan Cak Nun berkeyakinan pemikiran al-Ghazali diadaptasi ke dalam sebuah novel Best Seller karya Umberto Esco berjudul “The Name of the Rose”.

Bisa jadi pendangan dan penilaian Cak Nur tersebut sebagian besar banyak benarnya. Mengingat moderasi pemikiran al-Ghazali melalui Ihya’ ‘Ulumuddin terbukti tak hanya dalam bidang keilmuan antara syariat dan hakikat, antara teologi dan fiqh. Melainkan juga pada hal-hal lain seperti musik religius.

Jauh-juah hari sebelum adanya thariqah Maulawiyah yang didirikan oleh sufi besar Maulana Jalaluddin ar-Rumi, al-Ghazali sudah terlebih dahulu dikenal sebagai pembela musik. Ia bahkan dianggap sebagai ulama yang paling moderat dan dapat dikatakan tak ada ulama yang lebih moderat dalam menyikapi dan memandang musik religius.

Kita tahu sebelumnya bahwa ada perdebatan pro dan kontra di kalangan dua kutub ulama  klasik. Pada satu sisi ada ulama sufi dan pada sisi yang lain ada ulama fikih. Hal ini terkait dengan penggunaan alat-alat musik untuk mencapai dzauq (perasaan hati yang paling terdalam) melalui dzikir kepada Allah yang digunakan kelompok sufi tertentu.

Menariknya, al-Ghazali dalam  Ihya’ ‘Ulumuddin justru sangat mendukung keberadaan musik religius. Ia memberikan batasan terkait isi, cara melantunkan, alat musik yang digunakan, serta orang yang dapat melantunkannya. Sepertinya batasan ini diberikan karena al-Ghazali ingin tetap mendamaikan antara pandangan ulama fikih dan ulama tasawuf yang dalam beberapa kasus masih bersitegang. Selain itu karena masih berpegang teguh pada Hadis Nabi yang mencela keberadaan musik.

Tentu ini suatu dilema. Pada satu sisi memang banyak hadis yang mencela keberadaan alat musik dan pada sisi yang lain musik mampu meningkatkan sufisme para sufi. Hal ini terbukti. Kaum sufi menyebut penghayatan spiritual melalui musik dengan sebutan sama’.

Al-Ghazali dapat dikatakan cukup berhasil mendamaikan antara keduanya dan secara tegas mengharamkan alat musik yang sudah tersurat dalam hadis hadis nabi. Di antaranya, seperti Mizmar (seruling), Autar (gitar), dan Kaubah (gendang). Sementara untuk alat musik yang tidak disebutkan secara jelas oleh Nabi, Imam al-Ghazali tidak mengharamkan dan juga tidak mengqiyaskan. Baginya tergantung pada pemakaian dan pengaruhnya.

Pandangan al-Ghazali ini merupakan moderasi atau jalan tengah yang bisa memberikan warna baru dari dua kecenderungan antara ulama fikih yang secara tegas menolak musik dan kubu sufi yang sangat longgar dalam penyikapi musik. Khususnya thariqah Maulawiyah yang menggunakan alat musik dalam menghayati spiritualitas.

Di mana pada awalnya, Maulana Jalaluddin ar-Rumi sendiri termasuk salah satu tokoh yang sangat ekstrem “mengharamkan” dalam menyikapi musik. Namun entah kenapa ar-Rumi menjadi ulama sufi sangat gemar mendengarkan dan mendendangkan syair-syair disertai alunan musik.

Selain itu, al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin menyebutkan beberapa punggawa sufi yang sudi mendengarkan nyanyian-nyanyian religius. Sebut saja misalnya seperti Sari as-Saqathi dan Dzun Nun al-Mishri, bahkan lebih jauh lagi ke zaman para sahabat, seperti Mughirah bin Syu’bah, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Abdullah bin Jakfar.

Dalam kajian filsafat Islam, ada filsuf muslim al-Farabi (870-1037 M) dan Avieccena atau Ibnu Sina (980-1037 M). Keduanya merupakan dua filsuf Muslim termasyhur yang suka mendengarkan musik. Bahkan dalam suatu riwayat ketika al-Farabi diundang khalifah pada waktu itu ke istananya, al-Farabi disuguhi permainan musik.

Namun setelah musiknya selesai beliau bisa menyalakan satu-persatu dan memainkannya dengan sangat bagus. Sehingga ketika dimainkan musik senang, pendengarnya menjadi merasa senang. Kemudian ketika memainkan musik sedih, semuanya manjadi sedih. Namun ketika al-Farabi memainkan musik tidur, semua pendengarnya menjadi tidur semua. Sementara Avieccena menyatakan bahwa mendengarkan musik bisa menjernihkan hati dan pikiran.

Jalan tengah dalam pemikiran al-Ghazali terkait musik religius di kemudian hari mendapat kritik tajam dari kalangan skriptualis salah murid Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Dalam karyanya Madarij as-Salikin misalnya, Ibnu Qayyim al-Jauzi menyatakan bahwa posisi wajd atau ekstase seorang sufi yang ditimbulkan karena lantunan musik bersifat Mahkum Alaih (obyek hukum), bukan hakim (penetap hukum). Baik dan buruknya perasaan wajd tak dapat diukur dengan perasaan, akan tetapi lebih pada syariat. Musik tak dapat dianggap baik hanya karena berpengaruh pada perasaan, sebab perasaan bukan sumber perasaan.

Terlepas dari kritik Ibnu Qayyim al-Jauziyah terhadap moderasi musik religius  al-Ghazali, pada akhirnya kita bisa memberi penilaian dan pilihan di antara menggunakan logika moderat ala al-Ghazali seperti dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, atau memilih logika kehati-hatian ala ulama fikih. Sebab setiap masing-masing ulama memiliki otoritas keilmuan yang tak mungkin mengesampingkan Syariat dan Maqashid al-Syariah. Gitu.

Leave a Response