Narasi sekaligus tampilan yang menunjukkan konservatisme dalam beragama semakin tegas muncul di publik. Cara beragama semodel ini menjadi problem agama-agama dan keyakinan di berbagai belahan dunia. Ia sering kali menyumbang berkembangnya cara pandang picik dan sempit yang berkontribusi pada menguatnya polarisasi di berbagai negeri.
Belum lama, kita menyaksikan pembelahan warga Amerika Serikat lantaran kontestasi politik yang mengerek agama ke medan kampanye politik guna menggiring simpati dan memenangkan politik elektoral. Pemilih Trump dan Biden berseteru sangat sengit kala menjagokan kandidat mereka masing-masing. Bahkan, Penasihat Spiritual Kepresidenan Amerika Serikat, Paula White-Cain, berteriak minta bantuan malaikat dari Afrika dan Amerika Selatan untuk memenangkan Trump, sebagaimana tersiar luas di berbagai media sosial.
Kita di Indonesia, telah jauh lebih awal mengalaminya. Asma Tuhan diteriakkan guna mengerek simpati pemilih; Tuhan “diminta” ikut campur untuk memenangkan persaingan; Dia diseret” ke ruang publik untuk menggugah suara pemilih. Nama-Nya dibawa lantas digaungkan ke medan-medan kampanye untuk meyakinkan calon pemilih untuk mencoblos calon yang seagama atau segolongan.
Peristiwa teranyar, pembunuhan seorang guru oleh pemuda Rusia asal Chechnya, dan penikaman oleh seorang pria asal Tunisia di basilika Notre-Dame, Nice, dianggap benar-benar di luar nalar. Citra Islam sebagai penganjur perdamaian dan persaudaraan runtuh seketika. Gambaran Islam sebagai agama yang menebar rahmat ke alam raya pun hancur berantakan.
Banyak kalangan Islam mengecam tindakan teror para islamis itu karena meresahkan, mengancam keharmonisan, dan persaudaraan antarumat bergama di Prancis. Tatapan sinis pun dikhawatirkan bakal lebih tajam usai peristiwa kelam itu.
Mirisnya, ada pula yang bersimpati, bahkan celakanya lagi, membenarkan tindakan kekerasan yang digunakan lantaran dianggap membela Nabi dan agama dari penghinaan.
Apa yang dilakukan para konstituen yang mempolitisasi agama dan menyeret Tuhan ke kontestasi politik menandakan konservatisme dalam beragama. Dalam aksi yang lebih ekstrem, teror yang dilakukan dua pemuda imigran di Prancis, termasuk para pembela tindakan keji itu, menunjukkan cara berpikir konservatif dalam beragama yang bertransformasi menjadi sikap fanatis. Konservatisme agama yang mengabaikan nalar serta kerap mempromosikan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan pendapat menjadi masalah besar masyarakat beragama saat ini.
Mengapa konservatisme agama menguat? Padahal di saat yang sama, sederet tokoh agama dan pemikir keagamaan menulis, berceramah, berkhotbah, dan terus-menerus mengajarkan nilai-nilai utama agama, menyampaikan narasi damai. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, konservatisme agama makin subur belakangan.
Para ahli menyebut, menguatnya konservatisme dalam Islam adalah akibat problem ekonomi dan krisis politik yang mendera negera-negara Muslim. Guru Besar Sejarah UIN Jakarta, Azyumardi Azra, menguraikan, perang yang berkecamuk selama puluhan tahun, disusul krisis politik, mengakibatkan lahirnya ketidakpercayaan terhadap agama dan menguatnya simpati terhadap konservatisme. Simpati itu makin tinggi lantaran krisis pemikiran keagamaan, ortodoksi, dan penafsiran sempit, yang menolak kemungkinan tafsir, apalagi pembaharuan dan modernisasi.
Kegalauan yang dirasakan memaksa seseorang mencari pegangan. Dan, ketika situasi banal itu semakin menjadi-jadi, polarisasi, pembelahan, keretakan sosial, dan provokasi begitu muda diterima tanpa berpikir panjang lagi soal dampak parahnya di masa depan.
Namun begitu, konservatisme bukanlah khas agama tertentu. Ia khas negara demokrasi yang lahir akibat perubahan yang begitu cepat disertai pembaharuan di berbagai sektor (modernisasi) sehingga menyisakan kegalauan dan keterasingan di level tinggi. Kata lainnya, konservatisme lahir akibat problem identitas. Karena itu, ia harus dihadapi dengan bijak dan elegan. Tak boleh grasa-grusu. Sebab, kekeliruan meresponsnya akan berakibat petaka sosial lebih besar lagi.
Tak perlu terpancing, apalagi mengikuti arus dan narasi yang dimainkan kaum konservatif, sebab memang itulah yang mereka harapkan (mengikuti arus permainan mereka). Cara elegan yang perlu dilakoni warga negara dan umat beragama ialah memberikan ruang bagi hukum untuk bekerja dan membiarkan wisdom masyarakat berlangsung, dengan begitu situasi sosial tidak semakin karut marut.
Respons yang berlebihan atas narasi dan tampilan konservatif yang mereka mainkan sesungguhnya hanya akan membesarkan dan menaikkan posisi mereka belaka. Kita perlu menganggapnya sebagai gejala sosiologis biasa akibat ketidaksanggupan menghadapi perubahan. Tak perlu menanggapinya secara berlebihan.
Di saat bersamaan, kalangan moderat perlu memperkuat benteng pertahanan umat. Menandinginya dengan menebarkan narasi damai, tidak pernah berhenti menghadirkan wajah agama moderat (dalam Islam, Islam Wasathiyah), terus mencerdaskan umat, menebarkan pentingnya nilai-nilai utama agama dalam bermasyarakat, dan meluaskan pandangan.
Nurcholish Madjid (1935-2005) punya pandangan soal bagaimana mengikis pandangan konservatif ini agar hilang dari diri manusia. Guna mencegah kemungkinan lahirnya konflik-konflik dan pertentangan yang menyeret agama ke dalam kubangan nista, kata Cak Nur— begitu ia biasa disapa—diperlukan suatu jenis penghayatan Islam yang terbuka dan inklusif. Ini sekaligus untuk menepis anggapan para kritikus agama yang menganggap “bahwa semakin taat seseorang kepada agamanya, semakin ia tidak toleran.” Pernyataan ini jelas berseberangan dengan penafsiran agama yang seharusnya bahwa “semakin dekat dengan Al-Quran, seseorang akan semakin toleran.”
Inilah tugas berat kaum moderat. Para tokoh berbagai agama wajib membekali pespektif yang simpatik bagi umat masing-masing. Selain itu juga jangan ragu-ragu untuk berbicara tentang pentingnya nilai agama di media sosial, tentang pentingnya keragaman, tentang pentingnya penghargaan terhadap kemanusiaan.
Inilah waktu kita untuk membuktikan sejauh mana kitab suci dan nilai-nilai agama yang disampaikan menjadi penerang hati dan pikiran yang kemudian melahirkan nalar moderat, pikiran yang seimbang, pandangan yang adil dan proporsional, bukan malah sebaliknya menganjurkan seseorang untuk bertindak anarkis, rasis, dan diskriminatif.
Nalar moderat ini perlu dipupuk terus-menerus di kalangan umat beragama, dikembangkan agar menjadi kebiasaan (habits) yang membudaya, digemakan terus-menerus untuk menekan laju konsevatisme agama. Sebab, konservatisme, cepat atau lambat, hanya akan melahirkan peradaban bengis dan membawa manusia kepada kehancuran.