Kontestasi wacana relasi Islam dan negara serta bagaimana cinta tanah air mesti dibangun dalam sejarah politik Indonesia mengalami gelombang yang tidak linier. Di tengah provokasi yang didorong oleh sekelompok gerakan Islam transnasional, seperti para aktivis HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), sebelum dibubarkan Pemerintah RI, peneguhan bahwa Islam tidak bertentangan dengan Pancasila, konsep kebangsaan, serta nasionalisme merupakan hal yang niscaya.
Untuk memberikan penjelasan konseptual dan komprehensif atas hal-hal di atas, pandangan Bakri Syahid tentang nasionalisme, bentuk negara, dan Pancasila serta relevansi dengan Islam laik dikemukakan dalam ruang politik Indonesia era milenial.
Kesimpulan
Tafsir al-Qur’an merupakan salah satu bagian dari keilmuan Islam yang tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia dari masa ke masa. Di negara yang multi etnis dan multi agama ini, tafsir ditulis bukan sekadar sebagai upaya memahami pesan-pesan Tuhan yang terkandung dalam al- Qur’an, tetapi juga mendialektikakannya dengan realitas sosial, politik, dan kebangsaan. Metode semacam ini menjadikan al-Qur’an memiliki relevansi secara langsung dan terasa hidup nilai-nilai yang dikandungnya dengan kehidupan masyarakat.
Metode tafsir yang demikian itu, salah satunya kita temukan dalam tafsir Al-Huda karya Bakri Syahid; tafsir yang ditulis pada era 1970-an, ketika rezim Orde Baru berkuasa. Melalui tafsir AlHuda, Bakri Syahid menjadikan praktik tafsir sebagai arena untuk mendiseminasikan gagasan dan pandangan mengenai realitas sosial dan politik serta dikorelasikan dengan pesan-pesan utama al- Qur’an.
Salah satu isu yang didesiminasikan adalah tentang nasionalisme kebangsaan, bentuk dan dasar negara republik Indonesia. Di tangan Bakri, isu-isu ini diperbincangkan dan diteguhkan konsep dan idenya dengan baik di hadapan al-Qur’an. Nasionalisme, Pancasila dan negara kebangsaan, menurut Bakri tidak bertentangan dengan prinsip utama al-Qur’an dan bahkan nilai-nilai yang ada di dalamnya merupakan bagian dari pesan utama al-Qur’an.
Melalui tafsir Al-Huda, kita menemukan suatu tradisi baru dalam sejarah penafsiran al- Qur’an di Indonesia era 1970-an. Tradisi ini berkaitan dengan metode penafsiran al-Qur’an, yaitu tafsir bukan hanya suatu praktik memahami teks al-Qur’an, tetapi secara bersamaan juga membaca realitas ketika suatu tafsir ditulis serta mendialektikakan keduanya.
Konsep munasabah yang selama ini kita kenal dalam ilmu al-Qur’an, di tangan Bakri bukan hanya dalam pengertian relasi antar ayat atau antar surah, tetapi juga antara teks dan realitas kekinian. Langkah metodik yang dilakukan Bakri ini, tidak terlepas dari eksistensinya sebagai aktivis Muslim yang aktif di dalam struktur kekuasaan pada era rezim Orde Baru, kecintaannya terhadap negara dan bangsanya, serta pemahamannya kokoh terhadap pesan-pesan al-Qur’an.
Dari sisi metodetafsir, langkah Bakri tersebut merupakan salah satu kontribusi penting dalam sejarah tradisi penafsiran al-Qur’an di Indonesia. Ia telah menginisiasi suatu metode penafsiran kontekstual yang pada era itu belum banyak dilakukan oleh para penafsir lain di Indonesia.
Ia juga berkontribusi di dalam memberikan dasar-dasar dan penjelasan yang rasional dan islami berkaitan dengan program-program pemerintah Indonesia. Melalui tafsir al-Qur’an, ia mengitrodusir program- program pemerintah Indonesia dan menjadikan tafsir sebagai semacam cawan untuk memberikan penjelasan dan sekaligus peneguhan atas program-program tersebut. Dalam konteks yang terakhir, ia memainkan peran sebagai wakil pemerintah dan sekaligus meneguhkan program-programnya di dalam karya tafsir.
Hasil penelitian selengkapnya klik di sini
Gambar ilustrasi: