Tak bisa dipungkiri, COVID-19 telah memukul telak kehidupan masyarakat dunia. Termasuk Indonesia. WHO sudah menyatakan COVID-19 tak bisa diredam dan akan terus ada sepanjang kehidupan manusia. Aktivitas masyarakat di berbagai sektor berhenti dan dibatasi. Ibadah haji ditiadakan, rumah-rumah ibadah ditutup, anak-anak berhenti sekolah, pasar dan fasilitas publik lainnya dijaga ketat.

Dampaknya, banyak industri kolaps, pengangguran merajalela, dan gejolak sosial hingga krisis ekonomi mulai terjadi. Lambat laun tatkala stok makanan mulai menipis akan timbul bencana baru. Di situlah manusia akan diuji oleh Tuhan.

Di tengah situasi pandemik yang seperti itu, rasa-rasanya bagi kebanyakan orang akan merasakan kecemasan hingga kegilaan. Pasalnya, sebagai makhluk sosial, manusia merasa terkekang, tidak ada produktivitas dan hanya menunggu ketidakpastian yang menjenuhkan tanpa tahu kapan berakhirnya.

Dari situ, pemerintah menggaungkan New Normal di mana masyarakat harus siap hidup berdamai di tengah pandemi COVID-19. Masyarakat—mau tak mau—harus mengubah cara hidup dan perilaku sehari-hari sesuai protokol kesehatan agar tak terkena COVID-19. Yakni mulai memakai masker, cuci tangan secara berkala, menjaga kebersihan badan dan menjaga kebugaran tubuh. Sehingga kehidupan berangsur-angsur dapat kembali berjalan normal.

New Normal—dalam sudut pandang tasawuf—memiliki makna memandang kehidupan dengan cara yang baru dan bersahaja. Dari melihat kefanaan dunia menuju kesempurnaan ilahiah. Pada tradisi sufistik, ada fase berekreasi yakni uzlah (mengasingkan diri) dan khalwat (menyendiri). Hal itu sudah dikenal sejak zaman Rasulullah, tatkala nabi beruzlah beberapa hari di Gua Hira, lalu bertemu Jibril dan menerima wahyu pertama, Iqra’, Laku inilah yang menjadi manisfestasi kehidupan sufi.

Antara uzlah dan khalwat memiliki kesatuan makna, yakni menjauhkan diri dari keramaian manusia serta mengasingkan diri dari kesibukan dunia. Dari tempat yang sepi, ia menyibukkan diri dengan berdzikir dan bertafakkur sehingga hatinya pelan-pelan terbuka dan merasakan kehadiran Tuhan. Di balik situasi fisik yang sepi itulah, sejatinya tersimpan situasi batin yang ramai mengagungkan nama-nama-Nya. Baik uzlah maupun khalwat itu seperti berdansa dalam batin, merayakan kejayaan cinta pada ilahi.

Para sufi modern—seperti dijabarkan Mohammed Shafii dalam Psikoanalisis & Sufism—menyandingkan laku uzlah dan khalwat dengan meditasi. Meditasi mengandung perenungan dan refleksi yang positif dalam tubuh manusia. Seorang sufi akan mengisi meditasinya dengan berdzikir atau bershalawat dalam keadaan suci. Meditasinya berujung pada kepasifan yang aktif dan diam yang kreatif hingga tertanam kuat rasa syukur pada Sang Kuasa.

Dari situ, para sufi akan menemukan jalan yang terbuka lebar melihat situasi apa yang dialaminya sebagai anugerah ilahi. Praktik meditasi demikian menumbuhkan positive thinking, melahirkan relaksasi yang menyegarkan tubuh, dan menumbuhkan kebahagiaan yang luar biasa.

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al-Hadid: 22)

Berpijak dari tadabur Al-Hadid:22, para mufasir memaknainya sebagai cara tepat melihat musibah sebagai takdir. Sayyid Quthb—dalam Fi Zhilali al-Qur’an— menjabarkan bahwa ayat musibah itu berkaitan dengan hakikat iman manusia. Apakah seorang berserah diri kepada Allah atas segala apa yang terjadi pada dirinya, baik berupa kebaikan maupun keburukan.

Begitu pun, Imam Baghawi dalam Ma’alim at-Tanzil menarik argumentasi bahwa setiap orang dalam kehidupannya pasti merasakan suka dan duka, bahagia, dan sedih. Maka, hendaklah ia maknai situasi senang dan bahagia itu sebagai wujud syukur kepada-Nya, sedangkan pada kondisi susah dan sedih ia maknai sebagai nikmat agung untuk bersabar.

Berkaitan dengan pemaknaan kondisi alam dan wujud syukur, Imam al-Ghazali memiliki pandangan yang menakjubkan seperti dikutip dalam Ihya Ulumiddin. Semesta alam—dengan segala dinamikanya—adalah karya Tuhan yang sempurna. Penciptaan alam dirancang menuruti kehendak Tuhan.

Dengan demikian keimanan tentang penciptaan tersebut—baik tatkala ada musibah, wabah, bencana alam dan kesusahan lainnya—merupakan prasyarat bagi manusia untuk mendaki tangga spiritual hingga mencapai puncak maqam tawakal.

Senada dengan pandangan Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang bergelar Sulthan al-Auliy. Ia memandang bencana bukanlah sebagai azab bagi orang-orang yang beriman. Tetapi bencana atau musibah menjadi sebuah ujian kesabaran dan ketakwaan.

Orang-orang yang beriman diuji dengan musibah dan bencana, untuk dilihat seberapa besar kadar keimanannya. Apakah ia semakin mendekat atau malah semakin menjauh dari Allah. Banyak orang merasa putus asa, frustasi hingga marah dan murtad saat ditimpa bencana, tetapi tak sedikit orang yang bahagia dan merasakan keindahan ujian dari-Nya.

Jalaluddin Rumi—sebagaimana dideskripsikan Haidar Bagir dalam Belajar Hidup dari Rumi—memiliki cara unik bagaimana manusia bisa melewati musibah dan cobaan dari Allah dengan hati yang riang. Baginya, musibah bukanlah kesulitan, tapi salah satu jalan bagi hamba menuju ketakwaan hakiki.

Dalam puisinya tertuang lirik indah dalam bait-baitnya: Wujud manusia adalah rumah penginapan #  Setiap pagi tamu baru # Kegembiraan, kesumpekan, kekejaman # Kadang kesadaran-kesadaran sesaat tiba sebagai tamu kejutan # Sambut dan jamu semua # Bahkan jika itu tumpukan kesedihan, # Yang ganas sapu semua perkakas rumahmu # Boleh jadi ia bersihkan dirimu demi pesona baru # Kesumpekan, rasa malu, kelicikan # Songsong di pintu dengan tawa # Ajak masuk # Syukuri apa saja yang datang # Karena semua diutus # Sebagai pandu dari sana.

Pada akhirnya, sekalipun seorang melihat bencana sebagai azab. Maka Muhyiddin Ibn Arabi punya tafsirnya yang indah. Dalam Futuhat al-Makkiyah, kata azab berasal dari term azubah yang bermakna laddzah (kelezatan). Azubah sendiri bermakna kelezatan dengan kelezatannya sendiri, atau merasakan lezat dengan kelezatannya, di mana kelezatan yang dirasakan bukan dari suatu dari luarnya semisal: kelezatan yang didapat saat makan atau minum.

Maka Ibn Arabi memaknai azab adalah bagian dari rahmat Allah, yang terlaksana agar si penerima azab menjalani peleburan dosa  dan penyucian diri. Wallau A’lam bis Shawab.

Leave a Response