Nahdlatul Ulama (NU) yang kita kenal selama ini merupakan organisasi kemasyarakatan keagamaan terbesar di Indonesia. Bahkan, ada yang mengatakan organisasi terbesar di dunia. Menurut Greg Fealy (2003), hadirnya NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang mendorong lahirnya tatanan kehidupan bernegara yang berkeadaban.
Sejak zaman pra kemerdekaan, masa orde baru, hingga era reformasi, tidak terhitung lagi kiprah NU bagi bangsa Indonesia. Karena kontribusinya terhadap bangsa dalam mengawal Kemerdekaan Republik Indonesia dari penjajah dan kontribusinya dalam membangun cita-cita bangsa, maka ada yang mengatakan bahwa NU adalah pewaris bangsa.
Sudah jelas bahwa NU merupakan kekayaan bangsa yang tidak ternilai harganya. Pandangan keagamaannya menjadi pilar yang dapat mengukuhkan berdirinya bangsa ini. Dan tidak melebih-lebihkan pula, bila NU dalam sejarahnya yang panjang mampu berperan sebagai kekuatan sosial berbasis agama dengan visi kebangsaan yang kukuh.
Salah satu momentumnya adalah saat tahun 1984 NU menyatakan bahwa Negara Kemerdekaan Republik Indonesia (NKRI) adalah final, dan Pancasila adalah Dasar Negara Indonesia. Karena bagi NU, Republik Indonesia berdasarkan Pancasila merupakan bentuk final dari upaya membentuk negara oleh seluruh bangsa Indonesia.
Sekali lagi kita patut bersyukur atas ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila pada hakikatnya adalah kontrak sosial dan titik temu di antara para pendiri bangsa. Hal ini tercermin dari pidato Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Ia mengatakan bahwa:
“Kita bersama-sama mencari persatuan philoshophische grondslag, mencari satu weltanschauung yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Liem Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui.”
Oleh karena itu, jauh setelah penetapan Pancasila sebagai dasar negara tersebut, kita tahu bahwa banyak jalan terjal yang harus dilalui. Aneka riak ketidaksetujuan yang disebabkan kekurangdalaman memahami persoalan rupanya menyebabkan banyak gerakan berusaha merongrong Pancasila. Sebut saja misalnya gerakan seporadis Kartosoewirjo dengan Darul Islamnya, atau juga gerakan-gerakan organisasi massa (ormas) Islam yang mengajak untuk mendirikan sistem khilafah yang masih kita rasakan denyutnya, bahkan sampai hari ini, termasuk di dalamnya adalah Negara Islamdi Irak dan Suriah (NIIS).
Maka NU sebagai salah satu ormas di Indonesia, didasari pemahaman yang jernih dengan sangat lantang menyatakan bahwa NKRI adalah bentuk final dan Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam.
Dari kedua keputusan di atas, sesungguhnya tidak lepas dari alasan historis bahwa pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari adalah pencetus dan penggerak Resolusi Jihad. Di titik inilah sesungguhnya nasionalisme NU tidak bisa diragukan lagi. Bahkan pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di situbondo, Jawa Timur, secara tegas NU memutuskan bahwa NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 adalah bentuk final dari perjuangan umat Islam di Indonesia.
Lebih jauh, dalam menjaga nasionalisme tersebut, Kiai Ahmad Shiddiq (1926-1991) kemudian merumuskan tiga model ukhuwah yang sangat terkenal yaitu: Pertama, Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), Kedua, Ukhuwah Wathaniyyah (persaudaraan bangsa), Ketiga, Ukhuwah Basyariyyah (persaudaraan umat manusia).
Dari ketiga model ukhuwah yang diformulasikan Ulama Nusantara ini patut kita renungkan dan amalkan dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara. Agar kita senantiasa bisa selalu mengingat dan meneladani jasa-jasa para pahlawan kita.