“Jika kita tak bisa mengakhiri perbedaan, setidaknya bersama kita bisa membuat dunia lebih aman untuk hidup dalam keberagaman dan perbedaan.” (John F. Kennedy).
Sebelum John F Kennedy menyampaikan kalimat di atas, para founding father bangsa ini sudah melakukannya. Mereka mencari formula paling tepat untuk membawa bangsa ini pada kehidupan damai dalam kebhinnekaan dan keragaman. Formula tersebut dibingkai dalam slogan Bhinneka Tunggal Ika.
Setiap tanggal 1 Juni kita akan mengenang sebuah peristiwa monumental Soekarno. Waktu itu Bung Karno di hadapan BPUPKI menyampaikan pidato “Kelahiran Pancasila” sebagai tonggak bersejarah perjalanan bangsa dalam menemukan titik temu kebhinnekaan bangsa Indonesia.
Sidang BPUPKI berlangsung pada 29 Mei sampai 1 Juni tahun 1945. Selain Seokarno, hadir pula Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Ki Bagoes Hadi Koesoema, AA Maramis, yang bersama-sama merumuskan kesepakatan bernegara sebagai jalan tengah untuk menjembatani perbedaan.
Pancasila kemudian lahir sebagai dasar negara dengan lima sila utama hasil dari kompromi keragaman yang mengakomodasi berbagai prinsip penting aneka paham dan ideologi. Tanpa menghilangkan perbedaan, Indonesia disatukan mulai dari Aceh hingga Papua dari ragam etnik, suku, agama dan bahasa dengan Pancasila sebagai simbol perekat. Inilah kontrak sosial yang disepakati berdasarkan prinsip kebhinnekaan dan kesatuan.
Pancasila merupakan gagasan nilai yang digali dari karakter dan jati diri bangsa. Pancasila diterjemahkan dari ajaran agama dengan menjadikan “ketuhanan” sebagai titik puncak dari segala tujuan kebaikan dan pengabdian.
Sutrisno memberi pandangan dan merumuskan Trilogi Pancasila, yakni tiga kesatuan fungsi pancasila, pandangan hidup, dasar negara dan ideologi nasional.
Sebagai pandangan hidup, Pancasila telah ada sebelum Indonesia lahir menjelma. Bung Karno dengan menyebut itu sebagai weltanschauung, yakni butir-butir kebijaksanaan yang ada di dalam masyarakat Nusantara. Pancasila menjadi kualitas ruhani dan pandangan hidup jauh sebelum Indonesia merdeka.
Pancasila sebagai dasar negara, nilai-nilai Pancasila menjadi landasan kultural, rohani dan pemikiran dari pembangunan kenegaraan Republik Indonesia. Segenap produk hukum dan kebijakan negara bersumber dan bermuara dari pandangan hidup. Pancasila menjadi dasar konstitusional bagi pembukaan UUD 1945 dan menjiwai batang tubuh UUD RI.
Pada level kebangsaan, Pancasila menjadi ideologi nasional, artinya seorang warga negara harus tunduk pada dasar negara yang telah menjadi ideologi nasional. Pancasila menjadi ideologi nasional sebab seseorang tidak akan tunduk pada pancasila sebagai dasar negara jika ideologi nasionalnya adalah komunisme. Atau seorang islamis tidak akan tunduk pada dasar negara jika ideologi politiknya merujuk pada Islamisme.
Kesatuan tiga fungsi Pancasila yakni pandangan hidup, dasar negara, dan ideologi nasional inilah yang selama ini menjadikan alasan mengapa Pancasila kokoh sebagai pemersatu bangsa, baik dalam ranah kebudayaan, kenegaraan, maupun kebangsaan.
Di tengah upaya menyelami kembali nilai-nilai Pancasila sebagai perekat kebhinnekaan, kini kita diperhadapkan dengan berbagai ujian. Ancaman kebhinnekaan terhampar di depan mata, mulai dari ancaman ideologi dan gerakan transnasional yang mencoba merubah ideologi negara sampai pada konflik suku rasa, agama dan keyakinan di antara anak bangsa.
Di samping itu sikap ekstremisme yang menguat memberi ancaman serius terhadap tatanan hidup bersama, baik secara individu ataupun kelompok, mereka memperlihatkan sikap anti pati terhadap keragaman dan tak bisa menerima kehidupan yang berbeda, tak bisa berjalan berdampingan dengan semangat kebersamaan.
Sikap ekstremis ini biasanya bermuara pada sebuah dogma keyakinan, menganggap diri paling benar dan yang lain salah, pada ideologi seperti ini terkadang sikap ekstremis dianggap sebagai sebuah prilaku kesalehan yang diajarkan dalam agama dan bernilai pahala tinggi di sisi Tuhan.
Ekstremisme juga kadang muncul dalam modus lain, baik secara individual maupun secara komunal, terkadang pula dikemas oleh sekolompok orang untuk menjadi tameng para politisi dalam memuluskan hasrat kekuasaannya, menyulut api rasisme, mengoyak tenun kebangsaan dengan mengorbangkan semangat kebinnekaan.
Ekstremisme adalah konsekuensi logis dari melelehnya rasa nasionalisme dan memudarnya nilai dan arti kebinnekaan dalam diri. Sikap ini terkadang mewarisi perilaku paling purba di semesta, yakni kekerasan atas nama agama dan keyakinan, sebuah sikap intoleran yang tercatat dalam sejarah telah merengguk banyak nyawa dan merusak peradaban.
Tidak hanya itu, ancaman terhadap nilai pancasila dalam lingkup birokrasi negara dapat kita lihat dengan masih tumbuh suburnya perilaku korupsi, ketidakadilan, serta pelanggaran terhadap hak konstitusional orang lain. Sikap ini merupakan bukti nyata betapa sebagian dari anak bangsa ini masih jauh dari nilai-nilai Pancasila sebagai karakter hidupnya.
Di masa pandemi ini kondisi bangsa yang sedang mengalami banyak tekanan dan krisis akibat wabah covid-19. Hal ini semestinya bisa mengambil hikmah dan menjadikan Pancasila sebagai titik pijak untuk memulai kembali satu semangat bersama dan semangat gotong royong. Selain itu juga untuk menumbuhkan kembali rasa nasionalisme dan kebhinnekaan yang sempat memudar dengan menggali kembali semangat nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai kulturual, ruhani dan religiutas masyarakat indonesia yang sudah menjadi karakter kuat adalah modal terbesar. Tujuannya untuk menumbuhkan kembali rasa persaudaraan, menumbuhkan solidaritas, gotong royong untuk berjalan bersama menyelesaikan berbagai persoalan yang sedang mengancam keutuhan NKRI.