Masjid tidak hanya dijadikan sebagai tempat ibadah, akan tetapi dewasa ini juga digunakan masyarakat untuk berbagai maslahat yang baik seperti sebagai pusat pendidikan, pusat pemberdayaan sosial, dan sebagainya. Sehingga masjid memerlukan upgrade untuk memberikan rasa aman baik dari segi kebersihan dan kenyamanan.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, serta Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2004 dimana secara keseluruhan menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam memakmurkan masjid.

Maka dalam hal ini, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat sebagai salah satu unit pada Kementrian Agama menyediakan buku pedoman bagi para pengelola masjid dalam rangka menciptakan masjid yang bersih, suci, dan sehat.

Pedoman masjid bersih, suci, dan sehat (MBSS) merujuk pada tiga konsep yang menjadi kunci utama, yakni bersih, suci, dan sehat. Konsep ini harus memenuhi indikator yang minimal dapat diukur dengan indrawi yang meliputi indra penglihatan, penciuman, dan indra perasa. Dalam pengelolaan MBSS juga ditentukan beberapa standar yang menjadi syarat sebagai masjid yang bersih, suci, dan sehat.

Pertama, standar penyiapan MBSS yang melingkupi kemauan pimpinan dan pengurus masjid untuk ikut andil dengan menetapkan penanggung jawab dan menyediakan anggaran MBSS, kebijakan yang berpihak yang terdiri dari kebijakan tertulis dan tidak tertulis, sumber daya manusia, dan pemangku kepentingan.

Kedua, standar pengelolaan MBSS yang melingkupi standar kebersihan masjid, standar kesucian masjid, standar pemberdayaan dan pendidikan masyarakat pengguna masjid, standar pelaksanaan kegiatan sosial kemasyarakatan, serta standar perawatan dalam kegiatan pengelolaan sarana prasarana.

Untuk menjalankan masjid bersih, suci, dan sehat dibagi menjadi dua tahap yakni tahap awal dan tahap pelaksanaan. Pada tahapan awal akan dilakukan pendataan situasi dan kondisi awal masjid dengan cara menganalisis situasi dan kebutuhan yang diperlukan masjid.

Selain itu juga dilakukan pembentukan kelompok kerja, penyusunan kebijakan, dan sosialisasi. Setelah itu, kemudian dilakukan peningkatan fasilitas sarana dan prasana masjid sebagai tahap pelaksanaan.

Dalam hal ini, ada lima komponen yang perlu diperhatikan, di antaranya adalah (1) identifikasi dan renovasi kebutuhan sarana prasarana dasar; (2) pembuatan dan penempatan rambu-rambu; (3) penyediaan sarana informasi dan kanal pengaduan (tempat informasi dan penyampaian aspirasi serta petugas informasi), (4) penyusunan instrumen monitoring dan evaluasi, dan (5) penegakan hukum dan sanksi.

Adapun tahap pelaksanaan lainnya yaitu melakukan peningkatan kapasitas pengelola masjid dimana hal ini terdapat penyeleksian pengelola yang terlibat MBSS dengan ketentuan minimal telah mengikuti pelatihan dasar seperti pelatihan manajemen MBSS, cleaning service untuk petugas kebersihan, pendampingan kesadaran jamaah untuk MBSS, P3K, serta pelatihan kesiapsiagaan bencana secara reguler.

Selain itu, pengelola MBSS juga perlu mengadakan peningkatan kesadaran pengguna masjid, karena bagaimanapun juga masjid merupakan tempat untuk masyarakat yang mana kebersihan pun sangat bergantung pada  kesadaran masyarakat itu sendiri.

Agar pengembangan masjid bersih, suci, dan sehat dapat berjalan lebih efisien dan maksimal, maka pengelola masjid dan penanggung jawab MBSS harus menerapkan strategi yang tepat. Adapun strategi yang dapat dilakukan di antaranya strategi manajemen, kultural yang meliputi nilai kearifan dan tradisi lokal, finansial (kontribusi jamaah, kekuatan donator, bisnis dan badan usaha berbasis masjid, layanan Kesehatan) dan pemangku kepentingan (stake holder).

Dalam melakukan strategi tersebut, pengelola dan penanggung jawab MBSS juga perlu melakukan refleksi secara berkala untuk melihat sejauh mana keefektivitasan terhadap stretegi yang dijalankan.

Di samping itu, perlu diidentifikasi mengenai apa saja kekuatan dan kelemahan serta tantangan dan peluang dari masjid tersebut sehingga dapat menentukan sekaligus menjalankan strategi secara efisien.

Sebagai sentuhan akhir dalam mewujudkan masjid yang bersih, suci, dan sehat, pengelola MBSS juga melakukan tahap evaluasi dan monitoring yang dilakukan baik secara berkala atau dalam waktu yang bersamaan. Selain itu, proses ini juga dapat disajikan dengan model data kualitatif, kuantitatif, maupun mix method.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai ketentuan dalam monitoring:

Pertama, kejelasan penanggung jawab monitoring dan evaluasi yang ditinjau dari jumlah dan pihak yang dapat menjadi penanggung jawab dengan catatan pelaksana monev dapat dilakukan oleh orang yang sama atau berbeda sesuai keputusan rapat.

Kedua, kejelasan metode monitoring dan evaluasi.

Ketiga, kejelasan aspek monitoring dan evaluasi yakni pelayanan kebersihan dan kesucian masjid, pemberdayaan dan pendidikan masyarakat pengguna masjid, pelaksanaan kegaiatan sosial, perawatan saran dan prasarana.

Keempat, kejelasan waktu pelaksanaan monitoring dan evaluasi dengan ketentuan setidaknya dilakukan setiap 6 bulan sekali.

Kelima, rekomendasi dan tindak lanjut yang konkrit dan terukur dimana dapat dilimpahkan kepada pihak berkepentingan sesuai dengan keputusan setelah sebelumnya hasil monev (monitoring dan evaluasi) diserahkan kepada pimpinan DKM dengan standar yang mencakup catatan dan usulan yang konkrit dan terukur serta disusun dengan skala prioritas. (ANS)

 

*) Tulisan ini adalah rangkuman dari buku Pedoman Masjid Bersih, Suci, dan Sehat yang diterbitkan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama tahun 2020.

Gambar ilustrasi: Masjid Raya Baitul Izzah Bengkulu, meraih Juara III dalam DMI Award (Beritarafflesia.com)

Topik Terkait: #Hasil Penelitian

Leave a Response