Beberapa hari yang lalu, sebelum artikel ini saya tulis, salah seorang kawan saya yang juga merupakan Wakil Presiden Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Mesir mengirimkan sebuah video dan meminta tanggapan saya atas video yang ia kirim tersebut.
Video itu merupakan sebuah rekaman peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan oleh Kementerian Perwakafan Mesir dan turut dihadiri juga oleh Presiden Mesir, Abdul Fattah Al-Sisi. Di dalam acara maulid itu, terdapat sebuah pidato yang disampaikan oleh Grand Syekh Al-Azhar (Atasan Tertingggi Lembaga Al-Azhar), yakni Prof. Dr. Ahmad At-Thayib.[1]
Salah satu isi dari apa yang Grand Syekh Al-Azhar sampaikan dalam pidatonya tersebut adalah mengutuk keras tindakan terorisme yang menewaskan seorang kartunis, Samuel Paty. Menurut kabar yang beredar, ia dibunuh karena telah menggambar karikatur Nabi Muhammad Saw. dengan gambar yang cenderung peyoratif.
Ada lagi versi berita lain yang menyatakan bahwa Paty telah menampilkan kartun Nabi dengan ‘nada’ provokatif saat berada di ruang kelasnya. Terlepas dari sebab Paty dibunuh, poin yang ingin disampaikan Grand Syekh Al-Azhar adalah ‘kutukan’ atas tindakan teror tersebut yang mengatasnamakan Islam.
Setelah itu, Grand Syekh juga menyampaikan rasa kecewa atas beredarnya karikatur tersebut yang diterbitkan oleh lembaga percetakan di Prancis, Charlie Hebdo. Dan menganggapnya sebagai permusuhan secara terang-terangan (‘adâun sharîh) terhadap umat Islam. Saya pribadi belum tahu persis bagaimana bentuk karikatur dan kartun tersebut. Tapi yang jelas, menurut beberapa keterangan, karikatur tersebut jelas menghina Nabi Muhammad Saw.
Sayangnya, pada momen dimana umat Islam seharusnya berbahagia atas kelahiran sang baginda Nabi, Grand Syekh sebagai representasi lembaga Al-Azhar harus menyampaikan rasa kecewa. Ia mengajak lembaga-lembaga keislaman seluruh dunia untuk mengeluarkan pernyataan resmi tuatas penolakan karikatur itu. Momen yang seharusnya penuh dengan rasa bahagia, kali ini sedikit ternodai.
Tentu, hal ini cukup menarik perhatian saya untuk mengulasnya lebih jauh lagi. Jelas ini merupakan sebuah penistaan terhadap umat beragama. Apalagi, kedudukan Nabi Muhammad di dalam hati umat Islam sangat-sangat fundamendal, apapun itu mazhabnya. Saya sebagai seorang muslim turut merasa miris dengan adanya karikatur tersebut.
Dari fenomena itu, tuduhan yang beredar di berbagai media sosial setidaknya ‘menyudutkan’ negara Prancis dan Presidennya, Imanuel Macron. Bahkan, beberapa negara seperti Turki, Lebanon, Mesir, Irak dan negara-negara lain turut memboikot negara Prancis.
Setidaknya, ada dua poin besar yang melandasi negara-negara tersebut memboikot Prancis. Pertama, penolakan Macron atas permintaan penghapusan karikatur Nabi Muhammad Saw. dengan dalih bahwa hal itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Kedua, pernyataan Macron dalam sebuah pidato di Les Mureaux yang mengatakan bahwa umat Islam di seluruh dunia sedang menderita ‘penyakit’ yang sama.[2] Dua poin ini yang kemudian dianggap sebagai permusuhan terhadap umat Islam di seluruh dunia.
Hanya saja, dalam tulisan sederhana ini, saya tidak ingin menjadi ‘hakim’ tanpa pertimbangan yang begitu matang. Di titik ini, saya hanya ingin sedikit menyoroti bagaimana sistem sekularisme (laicité) di Prancis berjalan. Di samping juga bagaimana kebebasan berekspresi (liberté d’expression) itu diterapkan.
Setelah itu, baru saya akan sedikit mengulas klarifikasi Macron pada sebuah acara yang disiarkan langsung oleh channel Al-Jazeera terkait tuduhan-tuduhan ‘menyakitkan’ yang disematkan kepadanya.[3]
Dalam sejarahnya, Prancis merupakan salah satu negara yang pernah mengalami kenangan yang pahit (bitter experience) dalam hidup beragama di bawah otoritas gereja. Secara umum, salah satu pemicu hadirnya sekularisme di Prancis adalah peperangan-peperangan yang mengatasnamakan sebuah agama sangat mewarnai perpolitikan di Prancis saat itu. Umat katolik Prancis berkali-kali memerangi umat Katolik Hasburg dan didukung pula oleh pangeran Protestan.
Dalam perang-perang Agama di Prancis (1562-1598) dan dalam perang tiga puluh tahun yang mengakibatkan terpisahnya Katolik dari Protestan, setidaknya itu merupakan pengalaman keagamaan terpahit yang dialami oleh Prancis.
Tidak diragukan lagi bahwa sepanjang sejarah, kekerasan sering diartikulasikan melalui istilah-istilah agama, dan ini telah menodai nilai-nilai yang amat mulia yang terkandung di dalam agama-agama tradisional. Sejarah tidak memungkiri itu.
Tentu, tokoh seperti Martin Luther sangat berperan dalam kaitannya dengan kemodern-an dan sekularisasi-sekularasi Eropa. Namun saya kira, ini pembahasan yang terlalu melebar, mungkin hal ini bisa saya ulas di lain kesempatan dengan topik yang berbeda, semoga.
Kembali ke topik sekularisme di Prancis, dari pengalaman pahit itu, identitas agama sedikit demi sedikit ‘terkikis’ dan digantikan oleh bentuk baru ikatan sosial yang berhubungan dengan kelahiran negara-bangsa dan gagasan kewarganegaraan. Dan hal ini merupakan ‘bibit-bibit’ munculnya nasionalisme modern yang juga merupakan perkembangan sentral dalam kisah sekularisme.
Willian Doyle dalam The French Revolution menggambarkan bahwa Gereja adalah “pendukung utama perlawanan terhadap tatanan dunia baru (modernisme dan sekularisme yang menuntut pemisahan wilayah-wilayan kenegaraan dan wilayah agama), dan baru setelah tahun 1801, ketika Napoleon Bornaparte mencapai kesepakatan dengan Paus atas ‘perbaikan hubungan antara Katolik dengan rezim yang baru atas dasar pendirian gereja mereka’, meskipun dalam hal ini, gereja masih diawasi secara ketat oleh negara.
Kedekatan gereja Katolik dengan old regime menyulut pengambil alihan aset-aset Gereja, dan para rahib diminta untuk mengikrarkan kesetian kepada Republik Prancis yang baru, dan bukan kepada Paus.
Selama periode ini, ketegangan antara Prancis dan Roma sedemikian besarnya sehingga pasukan Prancis berbaris menuju Roma pada tahun 1798. Tetapi, ini bukanlah untuk pertama kalinya. Kondisi yang sama dilakukan juga di tahun 1809 dengan disertai penculikan para Paus yang membangkang atas otoritas rezim yang baru.
Kesepakatan yang dicapai Napoleon tersebut berlangsung kurang lebih selama satu abad sampai pada tahun 1905. Ketika republik ketiga, di tengah militansi antiklirekeral baru, Prancis mengkodifikasikan sebuah hukum mengenai pemisahan antara gereja dan negara. Di tengah-tengah kekhawatiran Prancis yang ‘sedang terancam’ oleh imigran Muslim, hukum ini kemudian diperbarui di tahun yang sama, 2004.
Menurut Bhikhu Parekh, dalam bukunya rethingking multiculturalism, tesis sekularisme memiliki beragam banyak bentuk. Namun secara umum, ia memiliki bentuk yang lemah dan bentuk yang kuat.
Dalam bentuknya yang lemah, ia memisahkan negara dan agama dan menjaga supaya negara tidak memaksakan, melembagakan, atau secara formal memberikan dukungan pada sebuah agama tertentu. Dan dalam bentuknya yang paling kuat ia juga memisahkan publik politik dan agama serta menjaga supaya perdebatan dan deliberalisasi politik harus dilaksanakan hanya berdasarkan nalar sekuler belaka.
Secara sederhana, sekularisme di Prancis memiliki karakter yang sedikit berbeda dengan sekularisme di Amerika dan di Inggris yang cenderung ‘lebih moderat’. Mungkin secara kasat mata, alih-alih membebaskan agama, pada periode awalnya sekularisme di Prancis cenderung memusuhi agama. Namun, apakah sekularisme ala Prancis ini kemudian menjadi vakum dan tidak berkembang sama sekali?
Bersambung…
[1] Untuk versi pidato lengkapnya, bisa kunjungi link berikut: https://youtu.be/v3YF-LHlEFw
[2] Versi lengkap pidato Presiden Macron dengan terjemahan bahasa inggris bisa dilihat pada link berikut: https://www.diplomatie.gouv.fr/en/coming-to-france/france-facts/secularism-and-religious-freedom-in-france-63815/article/fight-against-separatism-the-republic-in-action-speech-by-emmanuel-macron
[3] Siaran langsung bisa ditonton ulang pada link: https://www.youtube.com/watch?v=taAYP6uAGvs