Berdasarkan hasil penelitian Balai Litbang Agama Kementerian Agama Jakarta pada tahun 2020 bahwa keberadaan masyarakat adat di Indonesia telah diakui keberadaannya melalui pasal-pasal dalam UUD 1945 (yang diamandemen), berbagai undang-undang sektoral, peraturan menteri, hingga berbagai produk hukum daerah di tingkat pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Salah satu bentuk pengakuan ini adalah dalam sektor pendidikan, yaitu pendidikan layanan khusus (PLK) masyarakat adat.

Pembentukan kebijakan terkait PLK masyarakat adat merupakan amanat dari UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, khususnya dalam Pasal 5 ayat (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Selanjutnya dalam Ayat (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

Dalam realitasnya masyarakat adat yang ada di Indonesia beragam, ada belum tersentuh pendidikan, ada pula yang sudah. Menghadapi hal tersebut, sangat tidak mungkin sebuah model pendidikan adat diterapkan untuk semua komunitas adat. Perlu ada model-model yang beragam untuk memenuhi kebutuhan yang beragam pula. Pada sisi lain, pemerintah yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan sebuah sistem pendidikan nasional untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.

Masyarakat adat di Banten dan Jawa Barat secara umum sudah mendapatkan layanan pendidikan. Setidaknya ini tercermin pada tujuh komunitas adat: Cikondang (Bandung), Ciptagelar (Sukabumi), Pulo (Garut), Urug (Bogor), Guradog (Lebak),
Cisungsang (Lebak), dan Citorek (Lebak). Mereka sudah mendapatkan layanan pendidikan dari pemerintah, termasuk pendidkan agama.

Mereka memperoleh layanan pendidikan agama Islam dari model pendidikan formal dan juga non formal. Pada pendidikan formal, mereka sudah dapat bersekolah di Raudlatul Athfal/Taman Kanak-kanak, Sekolah/Madarasah (MI), maupun di Sekolah Kejuruan (SMK). Sedangkan pendidikan non formal, mereka dapatkan dari Madrasah Diniyah, forum-forum pengajian, taman pendidikan al-Quran (TPQ/TPA), dan juga pesantren.

Pendidikan yang terakses oleh masyarakat adat kebanyakan adalah jenjang pendidikan dasar. Sementara, pada jenjang pendidikan menengah masih banyak yang belum tersedia dan aksesnya masih jauh dari komunitas adat. Akibatnya, banyak masyarakat adat yang putus sekolah untuk jenjang sekolah menengah (SMA/MA/SMK).

Sedangkan untuk pendidikan agama, kebanyakan mereka peroleh dari jalur non formal. Pendidikan literasi al-Quran untuk anak-anak mereka dapatkan dari madrasah diniyah, taman pendidikan al-Quran, dan juga pesantren. Di samping itu,
pendidikan agama bagi orang dewasa didapatkan dari berbagai forum antara lain: kelompok pengajian, majelis taklim, kajian al-Quran, dan juga majelis zikir.

Pendidikan agama pada masyarakat adat di Banten dan Jawa Barat dikembangkan sejak dini. Ini tidak lepas dari dua hal: pertama, regulasi pendidikan yang mengharuskan setiap lembaga pendidikan untuk mengajarkan mata pelajaran agama di sekolah. Kedua, juga menjamurnya pendidikan berbasis agama seperti madrasah, pesantren dan majelis taklim, menjadikan anak-anak dan juga masyarakat adat kian intens belajar Islam.

Perjumpaan dua sistem kebudayaan antara Islam dan budaya lokal telah melahirkan dialektika budaya yang menghasilkan integrasi budaya. Persilangan antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal membawa konsekuensi terjadinya akulturasi budaya. Akulturasi dikenal dengan nama kontak budaya, yaitu suatu proses yang muncul dalam lingkungan sosial tertentu karena dihadapkan dengan adanya beberapa unsur budaya asing. Unsur-unsur kebudayaan asing itu secara perlahan diterima dan diolah disesuaikan dengan keinginan kebudayaannya sendiri.

Jadi, pendidikan agama yang dikembangkan di masyarakat adat adalah integrasi antara nilai-nilai agama dan budaya lokal. Dalam praktiknya, nilai-nilai agama dimasukkan dalam tradisi masyarakat adat, misalnya acara kelahiran anak, kematian, ziarah kubur, panen, memandikan benda pusaka, dan lain-lain. Dengan demikian, pendidikan agama yang berkearifan lokal adalah integrasi nilai-nilai agama dan budaya lokal sebagai hasil dialektika antara agama dan situasi geografis-politishistoris dan situasional yang bersifat lokal.

Misalnya dalam bertani atau bercocok tanam, mereka mempunyai tradisi upacara pengelolaan sawah adat. Dalam praktiknya, mereka mengintegrasikan nilainilai agama Islam dalam upacara tersebut. Etika dalam proses pengolahan sawah adat dijunjung tinggi, mulai dari penanaman sampai panen. Ini semua diimplementasikan melalui kegiatan adat. Pada saat prosesi adat, pemimpinn upacara memanjatkan doa untuk meminta izin kepada Allah SWT sebgai pemilik lahan supaya diberikan tanah yang subur dan hasil yang maksimal.

Di kampung adat Cikondang, Bandung pendidikan agama diintegrasikan dalam upacara ritual tradisi wuku taun. Upacara adat ini dilakukan sebagai bentuk syukur atas anugerah Yang Maha Kuasa karena telah memberikan hasil bumi yang melimpah untuk menghidupi mereka sepanjang tahun. Selain bentuk syukur, wuku taun juga dimaksudkan sebagai ritual menyambut tahun baru dengan doa semoga setahun ke depan diberikan keselamatan dan perlindungan.

Jika dibanyak tempat, tahun baru dirayakan dengan hura-hura, masyarakat adat Cikondang mengajarkan kepada kita bagaimana merayakannya dengan penuh syukur yang dibalur dengan nilai-nilai agama dan tradisi lokal. Inilah pentingnya ragam pendidikan agama yang berkearifan lokal.

Ini juga terjadi pada tradisi Syariat di Kampung Adat Urug, Desa Urug, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Pendidikan agama yang diajarkan adalah soal usaha dan doa yang tidak bisa lepas dari kuasa Tuhan yang maha kuasa, dengan menggunakan media tanaman panglay dan air putih.

Kegiatan ini diawali dengan peminta doa menyampaikan maksud kepada kepala adat. Kepala adat memanjatkan doa kepada Allah SWT berdasarkan tujuan peminta doa menggunakan media panglay atau air putih, kemudian diakhiri dengan mendekatkan media tersebut ke kepala dan dua sisi dada beliau, dan meludahinya. Setelah itu, kepala adat menjelaskan tata cara penggunaan dan penyimpanan media tersebut berdasarkan tata cara Kampung Adat Urug. Penggunaan media panglay dengan cara dihisap sebelum dan sesudah melakukan tujuan. Penggunaan media air putih dengan cara diminum sebelum melakukan tujuan.

Penggunaan rimpang panglay untuk syariat akan mempengaruhi kesehatan seperti anti inflamasi (antiradang), analgesik dan chondroprotektif. Tradisi syariat secara aspek konservasi menjaga eksistensi panglay melalui penanaman tumbuhan tersebut di pekarangan warga. Secara agama, tentu ini dapat dijadikan edukasi ke masyarakat bahwa ada kuasa Tuhan yang maha kuasa yang menentukan segalanya. Manusia harus berusaha, tetapi Tuhan lah yang menentukan nasib manusia. Jadi, semua itu harus disyukuri karena semua tak lepas dari takdir ilahi.

Model pendidikan pada masyarakat adat tersebut memberikan berbagai kekayaan modal sosial dan kultural yang sulit untuk diseragamkan. Tetapi belajar dari model pendidikan agama yang dikembangkan masyarakat adat di Banten dan Jawa Barat, beberapa hal yang mempunyai kesamaan adalah, pertama, adanya orang-orang yang secara konsisten merawat keberadaan pendidikan tersebut. Kedua, keberadaan pemerintah sebagai fasilitator sekaligus penyedia layanan pendidikan.

Jadi, pendidikan agama untuk masyarakat adat bukan berarti antara ajaran agama dan budaya lokal setempat yang saling meniadakan, tetapi saling melengkapi dan mengisi. Hal ini terjadi karena nilai-nilai agama itu sendiri bersifat universal yang juga dapat diterima oleh masyarakat adat dan tidak bertentangan dengan budaya lokal. Model pendidikan agama ala komunitas adat di Banten dan Jawa Barat ini telah membuktikan pertemuan nilai-nilai tersebut.

Hasil penelitian selengkapnya klik di sini

Gambar ilustrasi: Blogkulo

Topik Terkait: #Hasil Penelitian

Leave a Response