Keberagaman merupakan kekayaan dan sekaligus keunikan bumi nusantara, Indonesia. Keberagaman itu mewujud dalam ragam agama, ratusan suku, etnis, budaya, dan bahasa dimana seluruh warga bangsa memiliki kewajiban untuk menjaga dan memeliharanya dengan baik, serta hidup berdampingan dan saling menghormati antara satu dengan yang lain.
Indonesia juga dikenal sebagai negara dimana masyarakatnya menjunjung tinggi nilai dan ajaran agamanya. Dimensi semangat keberagamaan senantiasa mewarnai dan tercermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai falsafah bangsa yang diinisiasi para founding fathers negara ini menjamin menyatunya keberagaman dalam sebuah naungan negara bangsa, bahkan menjadikannya energi positif untuk membangun satu kekuatan yang dahsyat dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan.
Secara khusus, salah satu dimensi kehidupan yang dijamin oleh falsafah bangsa ini adalah adanya pengakuan dan jaminan atas keberagaman pemeluk agama dalam mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Saling menghormati di antara pemeluk agama merupakan prinsip hidup berbangsa yang menjadi landasan utama dan pijakan dasar dalam bingkai kemajemukan menjalani kehidupan bersama.
Pengamalan nilai dan ajaran agama idealnya dilakukan tidak semata-mata untuk memenuhi kepentingan pemeluknya sendiri, melainkan dapat berimplikasi positif bagi pemeluk agama lain, dalam kerangka membangun jalinan sosial yang kuat dalam konteks kehidupan berbangsa. Belajar dari sejarah masa lalu, masyarakat sosial tanah Arab saat Nabi Muhammad SAW hidup adalah berada dalam keragaman agama, suku, dan dialek bahasa.
Namun demikian, kehadiran entitas lain dihormati dan dihargai hak-haknya sebagai wujud nyata hadirnya keadilan dalam perspektif sosial. Selanjutnya, sebagai institusi Pemerintah di bidang keagamaan, Kementerian Agama erkepentingan atas terwujudnya prinsip moderasi dalam beragama, demi menjaga dan memelihara keutuhan bangsa dan menjaga kedaulatan negara.
Sikap keberagamaan yang moderat adalah pengamalan ajaran agama yang lurus, tidak menyimpang dari tujuan beragama, serta tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas. Dalam hal ini, karakter pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang moderat senantiasa berada di tengah, di antara dua situasi dan keadaan, adil dan seimbang. Dalam banyak dimensi kehidupan, mengambil jalan tengah sering kali dinilai lebih baik, ketimbang terjebak di antara dua keadaan yang buruk.
Dalam kehidupan bernegara, memelihara prinsip moderasi beragama sangat penting karena pada hakikatnya menjaga negara tetap kondusif. Sebab kecenderungan pengamalan ajaran agama yang berlebihan atau melampau batas, seringkali menyisakan klaim kebenaran secara sepihak. Merasa dirinya pihak yang paling benar dan menilai salah kepada pihak lain. Keyakinannya menjadi landasan, bukan saja tidak membuka ruang yang terbuka bagi ikatan kemanusiaan, justru menafikan kehadiran entitas lain yang berbeda.
Sikap melampaui batas juga melahirkan amarah dan kebencian, bukan ramah dan santun kepada sesama. Sekat-sekat ruang sosial atas nama agama ini sama sekali tidak bersinergi, bukan saja dengan sejarah mulia dari bangsa ini, bahkan berseberangan secara diameteral dengan nilai luhur ajaran agama itu sendiri.
Pada pembukaan Rakernas Kementerian Agama Januari 2019, Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin memerintahkan jajarannya untuk berpegang kepada tiga mantra dalam melaksanakan tugasnya, yaitu pertama, moderasi beragama, kedua, kebersamaan, dan ketiga, peningkatan kualitas pelayanan kepada umat beragama. Maka peran dan fungsi Kementerian Agama sangat strategis dalam membina dan mengayomi pemahaman dan engamalan ajaran agama oleh setiap penganutnya, khususnya dalam pengarusutamaan moderasi beragama.
Hingga saat ini, kecenderungan sikap intoleran dengan segala bentuk tindakannya di tengah masyarakat bukan mengecil, malah justru kian menguat. Beberapa riset yang dilakukan menunjukkan bahwa kelompok radikal menyemai pandangannya secara masif melalui institusi pendidikan, dimana siswa, mahasiswa dan guru menjadi obyek sasaran, bahkan media sosial. Sikap intoleransi dan radikalisme atas nama agama cenderung lebih besar ketimbang alasan kesukuan.
Di sisi lain, lembaga pendidikan keagamaan memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dalam menyemai prinsip moderasi beragama, bahkan menjadi laboratorium moderasi beragama. Peserta didik perlu diberikan pemahaman yang sangat memadai tentang fitrah ragam perbedaan umat manusia dalam berbagai dimensinya, baik dalam konteks kehidupan sosial kemasyakaratan maupun kehidupan kebangsaan. Maka, pengarusutamaan prinsip moderasi beragama melalui peran serta lembaga pendidikan keagamaan menjadi sangat strategis.
Tujuan umum penelitian dari Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ini adalah mengkaji pengembangan moderasi beragama pada lembaga pendidikan keagamaan. Secara khusus, kajian diarahkan kepada: 1) Konsep moderasi beragama menurut pandangan lembaga pendidikan keagamaan; 2) Praktik moderasi beragama di lembaga pendidikan keagamaan; dan 3) Faktor-faktor yang berpengaruh kepada pemahaman konsep dan praktik moderasi beragama di lembaga pendidikan keagamaan.
Metodologi Penelitian
Penelitian dengan metode kualitatif ini dilaksanakan tahun 2019 pada 14 lembaga pendidikan keagamaan di tujuh provinsi, yaitu: STABN Sriwijaya Tangerang, SMTK Bethel Jakarta, PP. Roudlah at-Thalibin Babakan Ciwaringin Cirebon – GKI Pamitran Cirebon, Litang Agung Cibinong Bogor, Litang Harmoni Kehidupan Cimanggis Depok, PP. al-Muayyad Windan Solo, STIAB Smaratungga Boyolali, PP. Nurul Ummahat Yogyakarta, Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta, PP. Nurul Huda Surabaya, STT SAAT Malang, Pasraman Rsi Markandya Taro Gianyar, Institut Hindu Dharma Indonesia Denpasar, Sekolah Tinggi Filsafat Pineleng Minahasa, Seminari Tinggi Maumere Sikka, dan PP. Walisanga Ende Flores.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (in-depth interview), observasi partisipasi (participation observation), studi dokumentasi, dan triangulasi. Analisis data penelitian bersifat induktif, mencakup: reduksi data, kategorisasi data, sintesisasi, dan penyusunan hipotesis kerja.
Temuan Penelitian
Moderasi beragama atau apapun bentuk dan istilah yang digunakan dalam perspektif agama-agama tampak jelas dipahami dan dijalankan sebagai landasan, pandangan hidup dan sekaligus nilai etik dalam kehidupan setiap individu pemeluk agama di tengah masyarakat. Sikap moderat menjadi pesan dan ajaran agama yang menjadi niscaya untuk dijalankan oleh setiap penganut agama ketika mereka membangun komunikasi dengan pihak lain.
Pada prinsipnya, ajaran agama mengajarkan bahwa meyakini sebuah agama adalah hak asasi atau hak dasar bagi setiap manusia. Setiap orang memiliki kebebasan untuk menganut agama apapun sesuai dengan keyakinannya. Setiap agama mengajarkan pemeluknya untuk saling menghormati dan menanamkan kasih sayang di antara pemeluknya. Perbedaan dalam hal apapun, terutama dalam hal keyakinan beragama tidak perlu menjadi pemicu dan pangkal perselisihan di antara pemeluk agama.
Manusia hadir di muka bumi dengan segala perbedaannya. Sesuatu yang berbeda tidak kemudian perlu dipaksakan untuk sama. Sebaliknya, setiap pemeluk agama dituntut untuk mencari dan menemukan persamaan-persamaan dari setiap perbedaan itu dan menjadikannya modal membangun kehidupan yang harmoni. Setiap agama meyakini bahwa sikap berlebih-lebihan dalam hal apapun dari setiap aspek kehidupan tidaklah mendatangkan kebaikan, tidak saja bagi dirinya, bahkan bagi orang lain. Sebaliknya, berlebih-lebihan hanya mendatangkan keburukan.
Manusia dituntut untuk berpikir dan bertindak seimbang, proporsional sesuai dengan kebutuhannya. Sikap berlebihan atau sebaliknya kekurangan hendaknya dihindari. Jalan tengah atau berada di tengah dari dua sikap yang berseberangan secara diametaral adalah tuntunan ajaran agama yang sangat penting untuk dipilih.
Konsep Moderasi Beragama belum dikenal secara merata di seluruh lembaga pendidikan keagamaan pada setiap agama. Namun demikian, Nilai-nilai moderasi beragama secara substantif ditemukan pada ajaran setiap agama dalam berbagai bentuk dan istilah, sesuai dengan inti dan pokok ajaran agama masing-masing.
Terdapat dua kategori praktik moderasi beragama pada 16 lembaga pendidikan keagamaan, yaitu: pertama, moderasi beragama pasif; yaitu lembaga pendidikan keagamaan yang mengajarkan moderasi beragama, namun lebih kepada pemenuhan kebutuhan personal individu pemeluk agama, sebagai landasan, pandangan hidup dan sekaligus nilai etik dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, moderasi beragama aktif; yaitu lembaga pendidikan keagamaan yang mengajarkan moderasi beragama dan menjadikannya sebagai modal dasar menginisiasi dan membangun relasi sosial keagamaan yang jauh lebih erat dan produktif, baik untuk tujuan keagamaan itu sendiri, maupun tujuan kebangsaan secara luas.
Secara umum, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa sikap moderat dalam beragama belum menjadi kesadaran bersama untuk dijadikan modal dasar menginisiasi dan membangun relasi sosial keagamaan yang jauh lebih erat dan produktif, baik untuk tujuan keagamaan itu sendiri, maupun tujuan kebangsaan secara luas.
Moderatisme dijalankan sebatas kebutuhan dan keyakinan personal pemeluk agama, belum menjadi gerakan bersama yang bisa mewarnai cara pandang masyarakat secara umum untuk menciptakan kehidupan yang harmonis.
Keterbatasan narasi ajaran agama untuk memaknai dan mendefinisikan konsep moderasi secara utuh, dan dapat disepakati akibat perbedaan terminologi adalah faktor lain yang masih menjadi kendala menyemai semangat moderasi di tengah umat beragama. Faktanya, masing-masing agama memiliki tafsir yang berbeda atas moderasi beragama.
Maka ke depan, perlu dirumuskan secara tepat definisi konsep moderasi beragama yang dapat dipahami secara baik oleh para tokoh dan pemeluk agama. Para tokoh agama perlu memiliki cara pandang dan persepsi yang sama tentang moderasi beragama, baik secara konseptual maupun praksis, sehingga mereka dapat berdakwah kepada masyarakat luas dengan tepat.
Pada tataran praksis, moderasi beragama perku ditanamkan secara terstruktur kepada peserta didik, mulai jenjang pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi. Kurikulum dan bahan ajar yang digunakan pada setiap satuan pendidikan perlu mengadopsi konten konsep moderasi beragama secara baik, sehingga peserta didik memiliki pemahaman yang sama tentang pengertian moderasi beragama. (mzn)
Hasil penelitian selengkapnya klik di sini
Gambar ilustrasi: Tri Ispranoto/detikcom