Jarang sekali di dunia ini ada seorang filosof yang sekaligus sastrawan. Diantara yang jarang itu terselip nama yang cukup tenar dalam belantika sastra kontemporer, yaitu Kahlil Gibran. Di Arab namanya dikenal dengan Jubron Khalil Jubron, sedang di barat dikenal dengan Gibran.
Nama Gibran atau Jubran sendiri adalah nama kakeknya. Catatan Ruslan Shiddieq (1996) sebagaimana tercantum dalam pengantar terjemahan al-Ajnihah al-Mutakassirah (Sayap-sayap Patah) karya Kahlil Gibran menjelaskan, pemberian nama dengan nama kakek ini semacam tradisi orang Libanon kala itu.
Penyair-filosof asal Libanon yang menetap di Boston ini, memiliki ide dan pemikiran yang filosofis dan penuh makna. Ide dan pemikiran yang kemudian dituangkan dalam bahasa puitis nan indah itulah, yang membuat Gibran di gandrungi banyak orang dari berbagai kalangan. Visi dan persepsi gibran yang dituangkan dalam karyanya secara garis besar ihwal tema-tema universal dalam kehidupan. Pemilihan diksi dan aforismenya membuat banyak orang lebih cepat paham meskipun tema yang diangkatnya adalah dimensi esoteris dan mistis.
Salah satu prosa karya Gibran yang menurut saya sangat kental nuansa religinya adalah prosa yang berjudul “Nasyidul Insan”, atau jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia memiliki arti “Nyanyian Manusia”. Penting untuk diketahui, bahwa Kahlil Gibran ini pemeluk Katolik Maronit. Anehnya pada bagian awal prosa, Gibran mengutip penggalan dari ayat Alquran dalam surat al-Baqarah ayat 28 yang berbunyi:
وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
Saya kurang begitu memahami, mengapa Gibran mengutip penggalan ayat ini. Saya berkeyakinan, bahwa Gibran sangat merenungi ayat ini. Di sisi yang lain, ini adalah ihwal persepsi Gibran akan keuniversalan kehidupan, bahwa kita awalnya mati, kemudian dihidupkan, kemudian dimatikan, kemudian dihidupkan lagi, kemudian kepada Allah-lah kelak kita akan kembali.
Selain penggalan ayat di atas, penggalan prosa yang menurut saya paling religius dan pluralis adalah terdapat pada bagian ini;
“سمعت تعاليم كنفوشيوس وأصغيت لحكمة براهما وجلست بقرب بوذا تحت شجرة المعرفة، وها أنا الآن أغالب الجهل والجحود. كنت على الطور إذ تجلى “يهوه” لموسى، وفي عبر الأردن فرأيت معجزات الناصري، وفي المدينة فسمعت أقوال رسول العرب، وها أنا الآن أسير الحيرة”
“Aku mendengar ajaran Konfusius (Konghucu); Aku mendengar kebijaksanaan Brahma; Aku duduk disamping Buddha di bawah pohon pengetahuan. Tapi aku masih disini bersama kebebalan dan kekafiran. Aku ada di Sinai ketika Yahweh bertemu Musa; Aku menyaksikan mukjizat orang Nazareth (Isa) di Yordania; Dan aku di Madinah ketika Muhammad hijrah. Dan aku masih di sini, terpenjara kebingungan.”
Pada bagian ini Gibran tidak hanya menyebutkan simbol agama yang dianutnya, penggalan prosa ini juga menyebut simbol-simbol agama bumi; Konghucu, Hindu, Buddha. Selanjutnya Gibran juga menyebut simbol-simbol agama langit; Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dari sini saya yakin Gibran sangat mendalami pluralisme. Jangan-jangan dialah pluralis itu sendiri
Membaca penggalan ini kekaguman saya pada Gibran semakin bertambah, persepsinya akan kehidupan begitu universal dan plural. Bahkan saya yakin dialah keuniversalan itu sendiri. Pantas saja, selain digelari sastrawan ulung, Gibran juga digelari sang filosof, dalam sekali perenungannya akan kehidupan manusia.