Selain terdapat empat metode, yakni: metode kontribusi, metode pengayaan, metode transformative, dan metode pembuatan keputusan dan aksi sosial, dalam pendidikan multikultural juga menggunakan berbagai pendekatan dalam implementasinya. Beberapa pendekatan yang kerap direkomendasikan dalam pendidikan multikultural adalah sebagaimana diulas Mundzier Suparta dalam Islamic Multicultural Education, 2008.
Pertama, Pendekatan Historis. Pendekatan ini mengandaikan bahwa materi yang diajarkan kepada peserta didik dengan napak tilas ke belakang. Maksudnya agar pendidik dan peserta didik mempunyai kerangka berpikir yang komprehensif hingga ke masa silam untuk kemudian mereflesikan pada masa sekarang dan untuk masa mendatang. Dengan demikian materi yang diajarkan bisa ditinjau secara kritis dan dinamis.
Misalnya, ketika kita membahas tentang poligami dalam tradisi Islam, maka kita tidak hanya melihatnya dari aspek teologis (al-kitabiyah-qur’aniyah), tapi juga menengok ke belakang, pada masa Arab Jahiliyah di mana tradisi poligami sudah berlangsung sekian lamanya dan tanpa batas. Pengetahuan tentang historisitas ini akan mendapatkan pemahaman yang lebih kontekstual ketimbang tekstual semata.
Kedua, Pendekatan Sosiologis. Pendekatan ini mengandaikan terjadinya proses kontekstualisasi atas apa yang pernah terjadi di masa sebelumnya atau ketika tata nilai tersebut lahir di masa lampau. Dengan pendekatan ini materi yang diajarkan bisa menjadi aktual, bukan karena dibuat-buat tetapi karena senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman yang terjadi, dan tidak bersifat indoktrinisasi karena kerangka berpikir yang dibangun adalah kerangka berpikir kekinian. Pendekatan ini bisa digabungkan dengan metode kedua, yakni metode pengayaan.
Misalnya, ajaran tentang zakat tak akan banyak memberikan banyak maslahah jika kita hanya memahaminya secara tekstual-literal. Tetapi jika menggunakan pendekatan sosiologis maka kita akan mendapatkan sebuah kerangka pemahaman di mana fungsi utama zakat adalah terletak pada dampak sosialnya.
Artinya zakat tidak semata berhenti pada gugurnya sebuah kewajiban bagi sang muzaki, tetapi juga bermaslahah pada sang penerima zakat. Dengan kerangka ini mengoptimalkan dampak zakat tidak akan berhenti pada kebutuhan konsumtif semata, tetapi juga kebutuhan produktif yang berlangsung pada jangka panjang.
Ketiga, Pendekatan Kultural. Pendekatan ini menitikberatkan kepada otentisitas dan tradisi yang berkembang. Dengan pendekatan ini peserta didik bisa melihat mana tradisi yang otentik dan mana yang tidak. Secara otomatis peserta didik juga bisa mengetahui mana tradisi Arab dan mana tradisi yang datang dari ajaran Islam.
Pendekatan kultural memungkinkan kita melihat lebih kritis antara tradisi masyarakat tertentu dengan ajaran keagamaan yang memang berasal dari ajaran agama. Dalam Islam misalnya, bergamis dan berjenggot masih menjadi “perdebatan” apakah hal tersebut merupakan ajaran agama atau tradisi masyarakat Arab semata. Sebab konsekuensi dari pemahaman tersebut akan melahirkan keyakinan yang berbeda pula.
Keempat, Pendekatan Psikologis. Pedekatan ini berusaha memperhatikan situasi psikologis personal secara tersendiri dan mandiri. Artinya masing-masing peserta didik harus dilihat sebagai manusia mandiri dan unik dengan karakter dan kemampuan yang dimilikinya. Pendekatan ini menuntut seorang pendidik harus cerdas dan pandai melihat kecenderungan peserta didik sehingga ia bisa mengetahui metode-metode mana saja yang cocok untuk pembelajar.
Pendekatan ini berupaya menempatkan peserta didik sebagai person-person yang berbeda yang masing-masing memiliki kecenderungan psikologis yang berbeda, sehingga memerlukan pendekatan cara mendidik yang berbeda pula. Dalam implementasinya, pendekatan ini memang agak sulit dipraktikkan. Sebab menuntut kemampuan pendidik untuk “membaca” keunikan personal dari tiap-tiap peserta didik yang ada.
Kelima, Pendekatan Estetik. Pendekatan estetik pada dasarnya mengajarkan peserta didik untuk berlaku sopan dan santun, ramah, mencintai keindahan dan mengutamakan kedamaian. Sebab segala materi jika hanya didekati secara doktrinal dan menekankan adanya otoritas-otoritas kebenaran maka peserta didik akan cenderung bersikap kasar. Sehingga mereka memerlukan pendekatan estetik untuk mengapresiasikan segala gejala yang terjadi di masyarakat dengan melihatnya sebagai bagian dari dinamika kehidupan yang bernilai seni dan estetis.
Ajaran-ajaran agama semitik (Yahudi, Kristen, Islam), terutama Islam kerap dikonotasikan sebagai agama “perang” karena di dalamnya banyak mengajarkan tentang jihad yang hanya dimaknai sebagai perang. Jika pasa saat pendidik mengajarkan tentang perang atau tentang jihad tidak dibarengi dengan ajaran Islam yang kaya dengan estetika, maka Islam hanya melulu dipahami sebagai agama perang.
Seni kaligrafi, qira’atil-qur’an, nasyid, dan arsitektur merupakan kekayaan tradisi Islam yang dapat digunakan pendidik untuk membingkai pendidikan multikultural dengan pendekatan estetik. Jadi estetika tidak sekedar sebagai produk yang sudah ada atau jadi, melainkan sebagai konsep yang inhern dalam Islam. Dengan kekayaan kultural tersebut Islam tampil sebagai agama yang lebut, ramah dan kental dengan nuansa keindahan.
Keenam, Pendekatan Berpersepektif Gender. Pendekatan ini mencoba memberikan penyadaran kepada pembelajar untuk tidak membedakan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Sebab sebenarnya jenis kelamin bukanlah hal yang menghalangi seseorang untuk mencapai kesuksesan, melainkan kerja nyata yang dilakukannya. Dengan pendekatan ini, segala bentuk konstruksi sosial yang ada di lembaga pendidikan yang menyatakan bahwa perempuan berada di bawah laki-laki bisa dihilangkan.
Pendekatan ini hendak mengapresiasi seluruh kemampuan dan keunikan yang ada dari setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Kesetaraan ada pada keduanya ketika bicara soal kinerja, peran, dan kontribusi yang dapat dilakukannya untuk masyarakat tanpa melupakan kodratnya masing-masing.
Keenam pendekatan tersebut sangat memungkinkan bagi terciptanya kesadaran multikultural di dalam pendidikan dan kebudayaan. Dan tentu saja, tidak menutup kemungkinan berbagai pendekatan lainnya, yang dapat diterapkan.
Kesadaran multikultural membantu peserta didik mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku, budaya, dan agama berbeda.
Modelnya bukan dengan menyembunyikan budaya orang lain, atau menyeragamkannya sebagai budaya nasional, sehingga budaya lokal menjadi luntur dan hilang. (Prof Suyata, Ph. D., “Pendidikan Peace Building di Maluku Utara”, 2013: xi-xii). Pendidikan multikultural tidak demikian. Semua manusia diapresiasi dengan keunikan dan latar belakang etnis, budaya, dan agama masing-masing.
Dalam pendidikan multikultural diakui, tiap budaya mempunyai nilai kebenaran tersendiri yang membutuhkan pemahaman akan relativitas nilai budaya. Nilai-nilai inilah yang ada pada setiap peserta didik. Menjadikan peserta didik menjadi objek saja tentu tidak bijak. Menurut Paulo Freire, tujuan akhir dalam proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi) atau menjadikan manusia sesungguhnya. Dalam pendidikan Islam disebut sebagai manusia paripurna, insan kamil.
Hal tersebut sejalan pula dengan ungkapan Freire tentang pentingnya pendidikan sebagai penyadaran. Menurutnya, pentingnya penyadaran ini karena manusia tidak sekadar “hidup” (to live), tetapi “mengada” atau bereksistensi. Dengan bereksistensi, manusia tidak hanya ada “dalam dunia”, tetapi juga “bersama dengan dunia”.
Manusia sebagai eksistensi kata Freire, mampu berkomunikasi dengan dunia objektif sehingga memiliki kemampuan kritis. Dengan uraian ini, tampaknya Freire hendak memberikan suatu afirmasi filosofis bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang memunyai kemerdekaan, sehingga manusia pada hakikatnya mampu melakukan transendensi dengan semua realitas yang mengitarinya. (A. Malik Fajar, “Pendidikan sebagai Praksis Humanisasi Aspek Kemanusiaan sebagai Basis Pembaruan Paradigma Pendidikan Nasional”, 2003: 58-59). Sebuah realitas yang hidup sekaligus memberikan “hidup” bagi seluruh umat manusia.
Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam pendidikan multikultural di antaranya yang pertama adalah a pendekatan inklusi, yang menekankan pada pengajaran faktual tentang sejarah, warisan, dan kontribusi kelompok-kelompok etnik dan kultural yang terpinggirkan dan tak terwakilkan dalam kurikulum pendidikan.
Kedua, pendekatan infusi, secara sistematik mengintegrasikan muatan, konteks, contoh-contoh dan sudut pandang dari berbagai kelompok untuk mengilustrasikan konsep-konsep, prinsip-prinsip, teori-teori, dan metode pencarian dari berbagai persepektif ke dalam seluruh kurikulum sehingga memerluas cakupan muatan, disiplin, program, dan kuliah.
Infusi membutuhkan perubahan subtansial dalam proses pendidikan dan struktur kurikulum untuk memastikan pluralism kultural integral dengan pengalaman belajar semua siswa – mayoritas maupun minoritas.
Ketiga, pendekatan transformative, yang menekankan pada aksi sosial dan politik untuk memecahkan masalah secara logis melampuai konteks kelas tradisional. (Lihat, Geneva Gay, “Bridging Multycultural Theory and Practice” Multicultural Education 3,1 (1995: 560-563).