Fatalisme, sebuah pandangan bahwa takdir adalah hak prerogratif Tuhan. Dalam Islam paham seperti ini dianut oleh kelompok Jabariyah, yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia sudah digariskan oleh Tuhan, manusia tidak punya kemampuan sama sekali untuk mengubahnya.

Istilah ‘jabar’ diartikan menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan dari Tuhan. Dalam pandangan ini, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat. Apapun yang terjadi pada manusia itulah takdir yang ditetapkan oleh-Nya.

Dalam kasus Covid 19, berbagai reaksi masyarakat muncul dengan segala variannya. Fatalisme di sini adalah klaim keberanian suatu kelompok, atas ketidaktakutannya akan kematian, karena hidup mati sudah digariskan oleh Tuhan. Kelompok tersebut tetap menjalani rutinitasnya dengan mengabaikan himbauan pemerintah terkait social distancing dan lain-lain. Kelompok fatalis juga cenderung menuduh orang lain sebagai makhluk lebay atas kehati-hatian yang dituduhnya berlebihan.

Kelompok fatalis salah dalam memaknai lafadz tahiyat, inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin. Pemahaman yang tekstualis memang merepotkan. Ayat Alquran tidak bisa dipahami hanya dari artinya, dibutuhkan banyak disiplin ilmu untuk mengerti maksud yang dikehendaki Tuhan.

Dalam konteks ini, keyakinan mereka malah menjerumuskan pada kesombongan. Seolah mereka adalah insan-insan yang dekat dengan Tuhan. ‘Keberanian’ mereka menghadapi pandemi adalah kekonyolan, yang ada justru malah menantang sunnatullah.

Paham fatalisme banyak menghinggapi kelompok fundamentalis. Kita pernah menjumpai anjuran jamaah di masjid di tengah pandemi virus corona, himbauan itu disampaikan oleh seorang mantan jenderal. Baginya, corona tidak boleh mengganggu ibadah umat Islam.

Sontak, ajakan ini menimbulkan banyak protes dari banyak kalangan. Selain bertentangan dengan protokol pemerintah, sang jenderal juga tidak punya otoritas untuk bicara agama. Kita tahu hukum Islam itu dinamis, bisa berubah jika ada situasi yang memang mengharuskan untuk berubah, darurat misalnya.

Sebuah kejadian nyata, ada orang protes kepada takmir masjid, karena kebijakan takmir memberi jarak shaf dalam salat Jumat. Bagi orang tersebut, Tuhan tidak boleh diduakan, syariat-Nya harus di atas aturan yang dibuat manusia. Sekilas, orang tersebut merupakan sosok religius pejuang agama. Realitanya, yang dilakukan adalah sebuah kekonyolan.

Dalam kajian fikih, merapatkan shaf hukumnya sunnah, dan bisa berubah menjadi makruh bahkan haram apabila dikhawarirkan menimbulkan bahaya. Karena bisa saja salah satu dari jamaah salat terpapar corona. Jadi, merenggangkan shaf adalah sebuah kebijaksaan. Berdasar kaidah fikih dar’u al-mafasidi muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalihi (menolak kerusakan lebih didahulukan dari mengambil kemanfaatan).

Dalam kasus lain, kita bahkan gregeten dengan sekolompok orang yang nekat mengadakan tabligh akbar. Ribuan orang berkumpul dalam sebuah acara yang diklaimnya sebagai perintah Tuhan, dengan tak mempedulikan ancaman kematian. Baginya, mati dalam kondisi di pengajian atau di masjid terhitung syahid.

Untuk kita yang mencoba berpikir waras, sah-sah saja bila kita melakukan protes atas tindakan mereka. Pasalnya, dalam maqashid syariah,  hafdzu nafsi (menjaga jiwa) termasuk dalam dharuriyah al-khamsah.

Kenapa kita boleh mengecam tindakan mereka? Yang kita hadapi adalah sebuah pandemi. Corona tidak langsung mematikan, yang terjangkit akan merasakan sakit berhari-hari. Dalam kondisi tersebut toh nantinya juga merepotkan tim medis dan pemerintah, membuat cemas masyarakat, dan menularkan virus kepada orang lain.

Jadi boleh dong, kita klaim usaha kepolisian yang membubarkan perkumpulan mereka adalah juga termasuk jihad?

Kasus terakhir, di media sosial diberitakan perlawanan terhadap wabah suatu masyarakat, dengan cara do’a bersama yang lagi-lagi melibatkan ribuan massa. Bagi mereka, virus ini adalah makhluk Tuhan, maka sudah selayaknya meminta ‘Sang Empunya’ virus untuk mengangkatnya. Sangat disayangkan memang, pandangan ini hanya menjauhkan agama dari sains. Menafikan usaha lahiriyah. Bentuk kesalahpahaman akan hakikat kepasrahan.

Belajar dari sejarah, dalam bukunya Homo Deus, Yuval Noah mengatakan bahwa musuh terbesar manusia adalah pandemi. Tercatat bahwa wabah sudah ada sejak dahulu ‘menemani’ hidup manusia. Dekade 1330, terdapat wabah yang dinamai ‘Maut Hitam’ yang menyebar ke seluruh Aisa, Eropa, dan Afrika Utara.

Virus ini membunuh 75-200 juta manusia. Meksiko tahun 1520, virus cacar (smallpox) membuat Meksiko bak sebuah lahan kuburan. Di abad 20, ribuan bala tentara Prancis mati akibat flu yang sangat ganas, yang dijuluki ‘Flu Spanyol’.

Demikianlah, pandemi adalah sebuah kenyataan. Dalam sejarah dunia, wabah adalah suatu ‘takdir’ yang hadir untuk dihadapi manusia. Dalam kasus Corona, mengkaitkan wabah dengan azab adalah kekejaman sosial. Virus tidak memilih untuk hinggap di mana. Dia tidak punya kepentingan untuk menyerang kelompok tertentu.

Corona tidak bisa membedakan mana orang baik mana orang jahat. Yang ia tahu, bahwa ia harus mengikuti alur sunnatullah, bagi yang tidak hati-hati maka disitulah virus ‘digariskan’ untuk bersarang.

Untuk itu, kita sebagai makhluk lemah, senantiasa memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar senantiasa diberikan keamanan, kesehatan, ketentraman, serta kekuatan dan ketabahan untuk melewati semua ini. Tentunya juga harus diimbangi dengan usaha dhahir. Mengikuti anjuran pemerintah untuk sejenak mengurangi komunikasi dan menjaga jarak dari keramaian.

Mari singkirkan kemalasan kita untuk mengamalkan anjuran dokter tentang hidup bersih. Mari kurangi keangkuhan kita yang seringkali memanfaatkan agama sebagai tamengnya. Wallahu A’lam

Leave a Response