Nama pengarang kitab Risalah al-Mahidh adalah K.H. Masruhan Ihsan yang merupakan sosok ulama Indonesia. Beliau lahir pada tahun 1921 di dusun Sendang Delik Kelurahan Sumberejo Kecamatan Mranggen, Demak. Seperti kebanyakan ulama pada masanya, beliau juga menjalani pengembaraan keilmuan ke beberapa pesantren.
Beberapa pesantren yang pernah disinggahinya adalah Pesantren Bandungsari, Grobogan. Di sinilah awal mula Masruhan muda mendalami ilmu agama Islam sebelum beliau melanjutkan pengembaraannya ke Pesantren Tremas di Kabupaten Pacitan. Tidak cukup sampai disitu, Masruhan muda kembali ke Demak dan tinggal di Pesantren Betengan, Demak guna menghafalkan Al-Qur’an.
Pada tahun 1949 Kiai Masruhan kembali ke desanya setelah sebelumnya beliau pergi ke Banten dalam rangka tabarukan (mencari berkah) dari para ulama. Kemudian beliau dinikahkan dengan salah seorang putri kiai yang bernama Nyai Hj. Mahsunah binti Kiai Muhdhar dari Karanganyar, Kabupaten Semarang. Setelah menikah, Kiai Masruhan beserta keluarga kecilnya tinggal di desa Berumbung sebelum akhirnya beliau kembali ke Mranggen, Demak.
Dari pernikahannya tersebut, Kiai Masruhan dikaruniai 9 orang anak. Kepindahannya ke Mranggen tersebut disebabkan karena di desanya beliau banyak dimusuhi. Tak heran bahwa lingkungan desa tersebut banyak dihuni oleh kalangan abangan yang tidak menyukai pegiat keagamaan. Terlebih pada tahun-tahun tersebt sedang berkembangnya gerakan komunis di Indonesia.
Kiai Masruhan menulis kitab Risalah al-Mahidh sekitar tahun 1955 ketika beliau masih tinggal di Berumbung. Hal tersebut terlihat di dalam kitab itu sendiri dengan menyematkan Berumbung di belakang namanya sebagai pengarang. Pada saat itu, beliau sudah menikah dan dikaruniai anak.
Dalam pengantarnya, beliau menuturkan bahwa belum ada kitab tematik yang membahas terkait dima’ al-mar’ah (haidh, nifas, wiladah dan istihadhah). Walaupun mungkin dalam beberapa kitab terdapat bagian yang membahasnya, namun belum terkumpul menjadi satu kitab. Padahal ilmu mengenai hal tersebut sangat penting bagi seorang muslimah disamping juga tetap penting bagi seorang laki-laki.
Pentingnya pengajaran ilmu tersebut, menurut Kiai Masruhan sama pentingnya dengan kewajiban mengajarkan al-Fatihah. Keduanya akan sangat berpengaruh terhadap ibadah sehari-hari yang dijalani. Dengan alasan al-Fatihah adalah surat yang wajib dibaca ketika shalat sehingga jika bacaannya salah maka shalatnya juga rusak. Begitupun haidh yang terdapat hal-hal yang melingkupinya dari apa yang diperbolehkan hingga apa yang dilarang bagi yang sedang mengalami haidh.
Namun yang paling utama adalah untuk memberikan pelajaran kepada keluarga Kiai Masruhan sendiri. Wajar saja, pada waktu dikarangnya kitab tersebut beliau sudah memiliki seorang anak perempuan. Dengan begitu, kitab ini nantinya menjadi bekal untuk mendidik putra-putrinya terkait dengan darah perempuan. Kiai Masruhan juga meniatkan kitabnya ini sebagai amal jariyah yang akan selalu bermanfaat dan warisan yang tidak akan pernah putus.
Kitab Risalah al-Mahidh ditulis dengan Arab Pegon (huruf Arab berbahasa Jawa). Dengan Arab Pegon tersebut tentunya dapat memudahkan seorang anak memahami kitab tersebut, tentu dengan adanya seorang guru. Hal tersebut mengingat seorang perempuan dapat mengalami haidh diusianya yang masih 9 tahun. Sehingga jika kitab tentang haidh ditulis menggunakan bahasa Arab tentu mereka akan sangat kesulitan.
Padahal ilmu tentang haidh sudah harus mereka pelajari mengingat betapa pentingnya ilmu tersebut. Berkat ketulusan Kiai Masruhan, orang-orang Indonesia (Jawa khususnya) dapat mempelajari bagian penting dari perempuan tersebut. Hingga saat ini, kitab Risalah al-Mahidh masih diajarkan di beberapa lembaga pendidikan Islam. Mulai dari pesantren, madrasah diniyah, hingga tempat orang ‘alim untuk mengaji yang biasanya banyak dilakukan di desa-desa.
Di dalam kitab Risalah al-Mahidh tersebut, Kiai Masruhan memulai menjelaskan dalil-dalil yang berkaitan dengan haidh. Dalil tersebut dalam sejarahnya merespon perlakuan orang-orang jahiliah terhadap perempuan yang mengalami haidh. Disamping itu, terdapat hikmah bagi seorang perempuan yang fitrahnya mengalami haidh.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan haidh seperti permulaan perempuan mengalami haidh, batasan hari ketika mengalaminya, dan keadaan ketika masih mengeluarkan darah setelah batas maksimal haidh. Haidh juga berkaitan erat dengan kewajiban menjalankan ibadah seperti shalat dan puasa. Hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang kepada suami ketika istrinya sedang haidh.
Disamping haidh, perempuan juga dimungkinkan mengalami nifas setelah melahirkan seorang anak. Walaupun terdapat beberapa aturan yang sama dengan haidh, namun nifas berbeda dalam rentang waktunya. Jika melebihi rentang waktu yang ditentukan maka darah yang keluar dinamai darah istihadhoh. Kondisi tersebut membuat perlakuan dan hukum yang berbeda terhadap seorang perempuan.
Dari penjelasan di atas menunjukkan betapa perhatiannya ulama Indonesia terhadap seorang perempuan. Dengan pembahasan yang sederhana namun detail membuat siapa saja yang mempelajarinya dapat memahami dengan mudah.