Sejarah Ilmu Maqasid Syariah
Berbicara tentang sejarah Maqasid Syariah sebagai sebuah disiplin keilmuan, maka akan dihadapkan pada sebuah pertanyaan besar yaitu siapa peletak pertama Maqasid Syariah? Konon katanya bahwa Imam Asy-Syatibi ulama dari madzhab Maliki merupakan peletak pertama, atau malah justru sebelum Imam Asy-Syatibi para ulama sudah membicarakan tentang istilah Maqasid Syariah.
Jika dilihat secara formal, istilah Maqasid Syariah memang belum dikenal di masa-masa awal Islam. Akan tetapi pada masa-masa awal tersebut, sudah dikenal istilah maslahah yaitu sejak masa Rasulullah saw dan masa setelah Rasulullah saw yang digunakan dalam menentukan sebuah hukum.
Kata Al-Maqasid sendiri pertama kali digunakan oleh Abu Abdillah Bin Ali At-Turmudzi (al-Hakim), yaitu seorang ulama yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4. Beliaulah yang pertama kali menggunakan istilah maqasid lewat karya-karyanya seperti Asholah Wa Maqasiduha.
Setelah al-Hakim muncul Abu Mansur Al-Maturidy (w.333) dengan karyanya yang berjudul Ma’khad Al-Syara’ dan kemudian disusul Abu Bakar Al-Qaffal Al-Syasyii (w.365) dengan karyanya Mahasin Al-Syari’ah dan setelah itu ada Abu Bakar Al-Abhari (w.375). Ar-Raisuni dalam bukunya Min A’lami Maqasid Syari’ah menambahkan Abu Hasan Al-Amiri (w.381) dengan karyanya Al-I’lam Bi Manaqibil Islam, serta Syekh Shoduq (w.381) dengan karyanya I’lal Syara’i.
Pasca ulama-ulama di atas, muncullah Al-Juwaini atau yang dikenal dengan Imam Haramain. Dengan analisisnya mengenai maslahah sebagai basis ekstratekstual penalaran dalam konteks Qiyas dan Illat. Dalam kitabnya Al-Burhan, beliau mengatakan kesahihan penalaran atas dasar maslahah menjadi perbincangan sehingga melahirkan tiga madzhab pemikiran dalam menyikapi hal tersebut.
Kemudian pada abad-abad berikutnya, konsep masolih mempunyai kemajuan yang sangat penting. Diantaranya ada dua tahap untuk mengatakan kemajuan yang sangat penting itu; pertama, perkembangan yang ditunjukkan oleh Imam Ghazali pada abad ke-12 dalam karyanya Al-Mustashfa. Kedua yaitu melalui Al-Razi pada abad ke-13 melalui karyanya Al-Mahsul.
Imam Al-Ghazali dalam karyanya membahas tentang maslahah dengan lengkap, beliau membagi maslahah menjadi tiga kategori. Pertama, jenis maslahah yang memiliki bukti tekstual (dapat digunakan untuk mengqiyaskan). Kedua, maslahah yang diingkari (dilarang mengqiyaskan). Ketiga, maslahah yang tidak didukung atau disangkal oleh bukti tekstual (maslahah yang memerlukan pertimbangan). Dari segi ini kemudian ada tingkatan maslahah lagi, yaitu daruriyat, hajjiyat, tahsiniyyat. Kitab Al-Mustashfa Imam Ghazali merupakan sumber utama yang mempengaruhi pemikiran-pemikiran selanjutnya. Sehingga muncul karya Al-Razi yang berjudul Al-Mahsul.
Dalam karyanya Al-Mahsul, Al-Razi tidak mendefiniskan tentang maslahah tetapi dalam pemikirannya bahwa manasib dan maslahah saling berkaitan erat. Manasib dalam pandangan Al-Razi mempunyai dua pengertian. Pertama, manasib sebagai apa yang membawa manusia kepada apa yang baik-baiknya dalam memperoleh ataupun pelestarian. Kedua, manasib sebagai apa-apa yang biasanya cocok dengan perbuatan orang-orang bijaksana.
Dalam hal ini, Al-Razi menjelaskan bahwa definisi pertama diterima oleh mereka yang menisbatkan hikmah dan maslahah sebagai sebab-sebab atau motif-motif dari perintah Tuhan. Sedangkan definisi kedua digunakan oleh mereka yang tidak menerima kausalitas. Dalam hal ini, Al-Razi mirip dengan Al-Ghazali yaitu membagi maslahah menjadi tiga tingkatan yaitu maslahah dharuri, maslahah hajiy dan maslahah tahsini.
Sepeninggal Al-Razi ada beberapa ulama yang membahas tentang hal ini, dan karya-karya tersebut dapat terlihat dalam empat kecenderungan. Pertama, merujuk kepada mereka yang konsepsinya tentang maslahah adalah secara dominan mirip dengan konsep Al-Razi tentang munasib dan maslahah. diantaranya yaitu Syihabudin Al-Qarafi (684/1285) dari kalangan Malikiyah, Shadr Al-Syari’ah Al-Mahbubi (747/1370) dan Jamaludin Al-Isnawi (771/1370) serta Tajuddin As-Subki (771/1369) yang berasal dari kalangan Hanafiyah. Mereka menggabungkan konsep dari Al-Ghazali dan Al-Razi.
Kedua, kecenderungan yang merujuk kepada para ulama yang menolak Al-Maslahah Al-Mursalah sebagai dasar penalaran yang shahih, termasuk dalam hal ini madzhab Syafi’i yaitu Safiudin Al-Amidi (631/1234) dan Ibn Hajib (646/1249) dari kalangan Malikiyah. Ketiga, kecenderungan yang sufistik tentang hukum dalam konsep pembahasan maslahah.
Dalam hal ini ada Izzudin Ibn Abdussalam (660/1263). Dalam pemikirannya, maslahah adalah kenyamanan, kegembiraan serta sarana-sarana yang membawa kepada keduanya. Oleh karena itulah, masalih terbagi menjadi dua yaitu Masalih Ukhrowi dan Masalih Duniawi. Masalih Duniawi bisa diketahui melalui akal, sedangkan Masalih Ukhrowi hanya bisa diketahu melalui naql.
Keempat, kecenderungan yang ditampilkan oleh Ibnu Taymiyyah (728/1328) dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (751/1350) yang mencoba menemukan jalan tengah, antara penolakan total dan penerimaan total terhadap maslahah. Beliau memandang Al-Maslahah Mursalah sama dengan metode Ra’yu, Istihsan, Kasyf dan Dzauq yang dicurigai kesahihannya dan karenanya beliau tolak. Sedangkan dilain pihak, beliau menolak implikasi-implikasi maslahah dari penyangkalan perintah Tuhan.
Lebih jauh Ibnu Taymiyah menyimpulkan bahwa berargumen dengan maslahah mursalah berarti membuat hukum dalam agama dan tuhan tidak membolehkan hal itu, karena melakukan hal tersebut sama saja dengan melakukan tahsin ‘aql. Ibnu Taymiyah juga mengakui syari’at tidak bertentangan dengan maslahah.
Dilihat dari sejarahnya tentang tema-tema yang ada dalam diskursus Maqasid Syariah, bisa dikatakan bahwa diskursus tentang Maqasid Syariah sudah ada sebelum Imam Syatibi yang dikatakan beberapa pihak sebagai peletak pertama. Hanya saja Maqasid Syariah sebelum Imam Syatibi susunanya belum sistematis, sehingga muculnya Asy-Syatibi dengan Al-Muwafaqatnya yang membahas secara jelas Maqasid Syariah telah mensistematiskan.