Manusia adalah makhluk yang istimewa. Ia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Mengatur dan mengelola kehidupan di bumi. Menjadikan bumi sebagai tempat berlangsungnya kehidupan, beristri, dan beranak-pinak.
Nabi Adam sebagai manusia pertama -yang bukan hanya diabadikan dalam Al-Qur’an, melainkan juga dalam berbagai kitab agama lain-, ketika diciptakan ia ditempatkan di tempat istimewa, Surga.
Berbagai kenikmatan yang tidak terhingga ia peroleh selama berada di Surga. Segala jenis kebutuhannya terpenuhi. Sehingga pada akhirnya ia merasa kesepian dan barulah diciptakan Hawa sebagai pendamping.
Sebelum Nabi Adam diciptakan, ternyata Allah Swt. telah menciptakan makhluk lainnya seperti Malaikat dan Jin. Dan Allah telah memberitahukan kepada Malaikat bahwa ia akan menciptakan umat manusia. Hal ini sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah, 30:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebelum menciptakan manusia, Allah telah mencatat dan menyebut nama manusia di al-Mala’ al-A’la (tempat yang tinggi, hanya Allah mengetahui). Keterangan ini termaktub dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir.
Lafal khalifah pada QS al-Baqarah ayat 30 di atas bermakna pengganti. Syekh Muhammad Ali Al-Shabuni dalam kitabnya Shafwa at-Tafasir menerangkan bahwa Allah berkeinginan untuk menciptakan khalifah (baca: pengganti) di muka bumi.
Diharapkan mereka menggantikan Tuhan dalam melaksanakan ketetapan-ketetapan yang telah dibuat oleh-Nya. Apabila salah satu di antara mereka tiada, maka yang lain menggantinya. Dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi berikutnya.
Dalam kitab tafsirnya, mengutip pandangan Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan para penakwil lainnya, al-Qurtubi mengatakan khalifah yang dimaksud dari ayat ini adalah Nabi Adam as. Hal ini didukung oleh Hadits yang dirawayatkan oleh Abu Dzar.
Pendapat al-Qurtubi berbeda dengan pendapat Ibnu Katsir. Menurut Ibnu Katsir, apabila khilafah hanya ditujukan kepada Nabi Adam, niscaya pertanyaan Malaikat pada ayat di atas “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana” tidak relevan. Karena sebagaimana kita ketahui bersama, Adam posisinya adalah seorang nabi sekaligus utusan.
Dalam ayat di atas, sebenarnya telah terjadi dialog antara Tuhan dan Malaikat. Setelah Allah menyatakan akan membuat khalifah di Bumi, Malaikat kemudian mengajukan pertanyaan kepada Allah, yang seakan-akan mengetahui bahwa umat manusia akan melakukan pertikaian dan pertumpahan darah kelak di Bumi.
Dari sini muncul problem di benak kita. Apakah pertanyaan Malaikat adalah tanda bahwa mereka berpaling (durhaka) kepada Allah? Atau kita juga bisa sinis terhadap Malaikat dengan pertanyaan: Mungkinkah Malaikat iri terhadap manusia yang akan Allah ciptakan?
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, pertanyaan Malaikat kepada Allah bukanlah sebuah bentuk pembangkangan maupun kedengakian terhadap penciptaan manusia. Bukankah kita ketahui bersama bahwa salah satu sifat Malaikat adalah la yasbiqunahu bil qauli, tidak bertanya kecuali diberikan izin oleh Allah? Dan mereka tidak memilki hawa nafsu untuk membangkang terhadap perintah Allah.
Menurut Ibnu Katsir, pertanyaan Malaikat di sini adalah sebagai bentuk klarifikasi, dan keingintahuan tentang hikmah di balik penciptaan manusia. Pertanyaan Malaikat kurang lebih begini:
“Wahai Tuhan kami, apa hikmah di balik penciptaan umat manusia? Padahal mereka akan membuat kerusakan di muka Bumi dan saling menumpahkan darah. Apabila tujuanmu (dalam penciptaan manusia) hanyalah untuk beribadah dan menyembah kepada-Mu, kami selalu (ibadah) bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu. Bukankah menciptakan kami itu sudah cukup?”
Kemudian Allah menjawab:
“Sungguh aku lebih mengetahui dari kalian tentang kemaslahatan (di balik penciptaan manusia) yang lebih besar dari mafsadatnya yang telah kalian sebutkan tadi dan belum kalian ketahui. Aku akan menjadikan di antara mereka nabi dan utusan. Dan juga kalian akan mendapati di antara mereka orang-orang yang jujur, para Syuhada’, orang saleh, para hamba, orang yang adil, orang yang mendekatkan diri kepada Tuhannya, pemangku kebijakan, orang yang khusyu’, dan orang yang mencintai tuhan serta mengikui sunah rasul-Nya.”
Dari sini kita mengetahui, sejatinya Malaikat bukanlah semata-mata bertanya ataupun durhaka. Mereka ingin mengetahui hikmah-hikmah di balik rencana penciptaan manusia. Pada hakikatnya para Malaikat hanyalah menghukumi yang tampak saja, semisal pencatatan amal perbuatan umat manusia. Malaikat hanyalah mencatat gerak badan, tidak pada gerak batin manusia.
Malaikat mengahadap Allah –di waktu pergantian siang hari menuju malam hari dan malam menuju pagi hari, untuk melaporkan catatan amal perbuatan manusia. Allah bertanya bagaimana ketika pergi meninggalkan umat manusia untuk menyetorkan catatan amal ibadah.
Para Malaikat menjawab, manusia ketika ditinggalkan dalam keadaan beribadah kepada Allah. Dan keputusan menerima atau tidak amal ibadah Umat manusia adalah hak Allah Swt. karena Allahlah yang Maha Mengetahui. Wallahu a’lam bis shawab.