IQRA.ID, Jakarta-Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyelenggarakan Simposium Internasional dengan tema “Kosmopolitanisme Islam Nusantara: Jejak Spiritual dan Intelektual Nusantara di Jalur Rempah” pada Senin sampai Selasa (30-31/8). Kegiatan ini dilaksanakan secara luring di Makara Art Center Universitas Indonesia dan secara daring melalui ruang virtual.

Simposium ini diharapkan dapat memperkuat wacana akademik mengenai Islam Nusantara. Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj dalam sambutannya. Ia menyampaikan bahwa simposium ini merupakan kegiatan penting guna memperkuat argumentasi akademis mengenai Islam Nusantara. Hal itu dapat menjadi alasan untuk membantah para penentang Islam Nusantara.

Kiai Said menjelaskan bahwa Islam Nusantara merupakan sebuah wacana yang diinisiasi NU sebagai tema besar pada Muktamar Ke-33 NU tahun 2015. Hal itu sudah disiapkan secara matang sebagai sebuah konsep sejak setahun sebelumnya dengan menetapkan tema, “Memperkokoh Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.

Lebih lanjut, Pengasuh Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan itu menjelaskan bahwa Walisongo yang mendakwahkan Islam di Nusantara berupaya mengharmoniskan kebudayaan Nusantara dengan Islam sebagai agama. Mereka tidak malah merendahkan dan menyampingkan budaya. Hal ini dilandasi ayat Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 108, masing-masing bangsa memiliki keunikan tersendiri sehingga harus saling menghargai satu sama lain.

“Bukan hanya dihormati tapi jadi infrastruktur agama. Budaya kita bela agar lestari, agamanya kita dakwahkan. Islam memperkuat dan mengisi spirit budaya,” jelas kiai kelahiran Cirebon, Jawa Barat itu.

Bedug, misalnya Kiai Said mencontohkan, yang dahulu merupakan alat musik tari-tarian diubah menjadi penanda masuknya waktu shalat dan diletakkan di masjid. “Artinya, produk budaya bangsa tidak dibuang. Tapi dilestarikan, dipelihara. Dijadikan infrastruktur agama tanda waktu shalat,” katanya.

Senada dengan Kiai Said, Rektor Unusia Maksoem Machfoedz menyampaikan bahwa simposium ini merupakan hal penting karena menjadi penghubung Islam Nusantara dan nilai-nilai NU. Islam Nusantara, menurutnya, sangat mengapresiasi lokalitas dan budaya sebagai modal untuk membangun bangsa.

Hal serupa juga diungkapkan Ahmad Suaedi, Dekan Fakultas Islam Nusantara Unusia. Dalam sambutannya, ia menyampaikan bahwa simposium ini dilaksanakan untuk memperkuat perspektif dan memperkokoh epistimologis riset Islam Nusantara secara akademik.

“Kami juga ingin membangun satu paradigma ilmu pengetahuan yang berbasis pada tradisi kenusantaraan, keislaman, dan dinamika sosial, politik, dan ekonomi Nusantara. Kami ingin menempatkan agama sebagai garda transformasi untuk kesejahteraan masyarakat dan perdamaian dunia,” katanya.

Tak berbeda dengan ketiganya, Wakil Rektor Universitas Indonesia Abdul Haris dalam sambutannya juga berharap bahwa simposium ini dapat memperkuat wacana akademik mengenai Islam Nusantara secara objektif, mengedepankan aspek keilmuan, memperkuat perspektif, serta menumbuhkan motivasi.

Ia menjelaskan jalur rempah merupakan bukti kemampuan bangsa Nusantara menjelajahi dunia. Rempah Nusantara sudah digunakan di Afrika, Eropa, dan wilayah lainnya jauh sebelum mengenal Nusantara, dibawa langsung bangsa Nusantara ke pusat perdagangan.

Lebih dari itu, jalur rempah bukan hanya lintasan ekonomi, melainkan juga pertemuan budaya. Jalur ini membentuk jejaring intelektual bangsa yang memengaruhi pola pikir, tradisi, dan budaya masyarakat Nusantara. Namun sayangnya, hal ini belum tergali lebih dalam.

Sementara itu, Menteri Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menyampaikan bahwa jalur rempah memainkan peran penting dalam membentuk pemikiran dan gaya hidup kosmopolit masyarakat Nusantara. Jalur rempah yang memungkinkan lintas budaya yang terjadi harmonis. Bukan hanya dalam konteks perdagangan, tetapi juga hubungan antarumat beragama. Nusantara tumbuh dengan kuat karena keberagamannya.

“Masyarakat Muslim Nusantara memiliki keteguhan dalam mematuhi ajaran agama. Dan pada saat yang sama, juga menunjukkan keterbukaan terhadap budaya lain,” ujarnya.

Globalisasi bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika menjadi cermin nilai kosmopolitanisme bangsa Nusantara. Nilai-nilai kosmopolitanisme terus ditanamkan dalam diri bangsa Indonesia guna mengatasi intoleransi yang masih tumbuh di Bumi Pertiwi.

Ia menyampaikan bahwa pendidikan karakter demikian perlu diperkuat dengan kolaborasi. Hasil kajian bidang humaniora, menurutnya, bisa dijadikan landasan kebijakan untuk menumbuhkan kesadaran. Sebab, keberagaman adalah kekuatan Indonesia sebagaimana ditunjukkan.

Oleh karena itu, ia berharap simposium ini dapat melahirkan gagasan dan strategi untuk mendorong masyarakat Indonesia toleran dan kosmopolit di era globalisasi. “Mari kita terus melangkah ke depan dengan bekal pembelajaran di masa lalu untuk mewujudkan kemerdekaan dalam belajar, berbudaya, dan bermasyarakat,” pungkasnya.

Selain menghadirkan para pemakalah akademisi yang terseleksi ketat, simposium ini juga menghadirkan sejumlah pembicara utama, yakni Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra; Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Susanto Zuhdi, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman; Peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sonny Chr Wibisono; dan Dekan FIN Unusia Ahmad Suaedy.

Selain itu, simposium ini juga menghadirkan para akademisi dari luar negeri, seperti Peneliti di Leiden University in the Netherlands, at the Institute for Area Studies (LIAS) Mahmood Kooria; Guru Besar Humaniora di Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Kyoto, Jepang R Michael Feener; Sejarawan Peter Carey; dan Asisten Profesor di Universitas Columbia Amerika Serikat Elaine van Dalen.

Adapun topik yang dibicarakan dalam simposium ini adalah sebagai berikut:
1. Perempuan Nusantara dan Jalur Rempah
2. Jaringan Spiritual dan Intelektual di Jalur Rempah
3. Bandar, Pelabuhan, dan Muara Sungai sebagai Nadi Jalur Rempah
4. Manuskrip Rempah-rempah Nusantara di Eropa dan Timur Tengah
5. Dialog antara Islam dan Sistem Kepercayaan Lain
6. Pola Perubahan Pendidikan Islam
7. Manuskrip dan Negosiasi Budaya di Jalur Rempah
8. Membangun Metodologi Kreatif dalam Keilmuan Sosial dan Humaniora
9. Transmisi Tradisi Oral dalam Masyarakat Nusantara di Jalur Rempah

Kegiatan simposium juga didukung lima asosiasi profesi, yaitu Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI), dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL/NUO).

Leave a Response