Qad aflaha al-mu’minun. Alladzina hum fii shalatihim khasyi’un—sesungguhnya telah beruntunglah orang-orang mukmin yaitu mereka yang khusyuk di dalam shalatnya. (al-Mu’minun/23: 1-2).
Alquran surah al-Mu’minun/23: 1 di atas diawali dengan lafadz qad yang bermakna kepastian/kesungguhan. Secara umum, makna literal ayat di atas berarti pendeskripsian mengenai keadaan orang-orang beriman serta bukti keimanan mereka. Lafadz aflaha terambil dari kata al-falh yang berarti membelah, oleh karenanya lafadz yang seakar kata dengan al-falh ialah al-fallah (petani). Sehingga, makna al-fallah bias diartikan sebagai aktivitas yang biasa dilakukan oleh petani yaitu mencangkul untuk membelah tanah (al-falh) lalu menanam benih. Benih yang ditanam petani itulah menumbuhkan buah yang diharapkannya sehingga terkait dengan falah (kemenangan/kebahagiaan) karena petani itu memeroleh hasil yang didambakan.
Konteks al-falh (kebahagiaan) di atas secara luas diklasifikasikan menjadi dua yang menurut ar-Raghib al-Ashfahani yaitu kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Adapun kebahagiaan duniawi yaitu memeroleh hal-hal yang diinginkan sehingga hidup terasa nyaman antara lain ketenangan batin, kesehatan, kecukupan materi, jabatan tinggi, juga kemuliaan. Sedangkan kebahagiaan ukhrawi terdiri atas empat hal yang sifatnya abstrak dan berlaku kekal di akhirat yaitu wujud tanpa kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan ilmu tanpa ketidaktahuan.
Dengan demikian, dua kebahagiaan sejati yang telah disebutkan di atas sebenarnya hanya dilimpahkan kepada orang-orang yang beriman. Makna iman dari segi bahasa adalah pembenaran hati menyangkut apa yang didengar (Tafsir Al-Mishbah/ 8: 313), sedangkan menurut Thabathaba’i, iman adalah kepatuhan dan pembenaran yang disertai dengan pemenuhan konsekuensinya. Kesimpulannya, keimanan pada Allah dalam perspektif Alquran ialah pembenaran tentang keesaanNya, para RasulNya, hari Kiamat, serta apa yang disampaikan oleh RasulNya disertai dengan al-ittiba’ yakni mengikuti dengan sepenuh hati dan bersedia melaksanakan tuntunan itu.
Oleh karenanya, ketika Alquran menyebut sifat-sifat baik dan indah dari mu’minun (orang-orang beriman) selalu digandengkan dengan ‘amalan shalihan (amal/ perbuatan yang baik dan bermanfaat) seperti bunyi Qs. An-Nahl/ 16: 97 misalnya, “Siapa yang mengamalkan perbuatan baik, laki-laki maupun perempuan, sedang di dalam keadaan beriman, maka pasti Kami akan memberikan penghidupan yang baik”.
Alquran surah An-Nahl/ 16: 97 seolah memberikan tawkid (penekanan) bahwa orang-orang beriman—hingga disebutkan, baik itu laki-laki termasuk juga perempuan— kedua-duanya memeroleh kesempatan, peluang dan hak spiritual yang sama di hadapan Allah. Ayat ini juga meneguhkan prestasi spiritual perempuan bahwa mereka pun memeroleh pahala dan ganjaran atas perbuatan-perbuatan baiknya. Sehingga, keberadaan perempuan, turut disebutkan di dalam Alquran sebagai bukti kemerdekaan beribadah dan isyarat memeroleh ganjaran dari perbuatan baik tanpa melihat siapa jenis kelaminnya.
Oleh karena itu, jaminan Allah dalam Qs. An-Nahl/ 16: 97 untuk orang-orang yang senantiasa berbuat kebaikan dengan penghidupan yang baik-baik di dunia maupun di akhirat menjadi bukti bahwa perbuatan-perbuatan baik harus selalu dilakukan, dilatih dan dibiasakan termasuk saat momentum pergantian tahun baru Islam ini. Tahun baru Islam atau yang lebih kita kenal dengan tahun baru Hijriyah. Selain sebagai tonggak utama peradaban Islam, penanggalan Hijriyah yang dimulai pada tahun 622 Masehi hendaknya juga dipandang sebagai pondasi awal amalan-amalan shalih yang akan kita lakukan sepanjang tahun ini.
Kiranya, ada tiga yang dapat kita lakukan sebagai refleksi atas tahun yang telah berlalu dan resolusi yang akan kita lakukan. Pertama, keshalehan individual. Kedua, keshalehan sosial. Ketiga, keshalehan universal. Jika keshalehan individual adalah bentuk ketaatan pribadi yang dibuktikan dengan ibadah-ibadah (pengabdian) manusia dengan TuhanNya, maka, keshalehan sosial dan universal lebih bersifat horisontal yakni hubungan manusia dengan alam, manusia dengan sesamanya juga manusia dengan makhuk hidup lainnya. Sehingga, spirit tahun baru Hijriyah selain dihiasi dengan euphoria pawai obor dan sejumlah perlombaan, hendaknya juga dimaknai sebagai refleksi atas tiga keshalehan demi meraih kebahagiaan dan kemenangan (al-falah) yang hakiki.
Selamat tahun baru 1441 Hijriyah, semoga kita semua tak jemu untuk menebar kebaikan kepada siapa pun, di mana pun dan kapan pun. Amin.