Semakin kesini makin masif kajian Islam online di Indonesia mulai nampak serius, mendalam, dan panjang lebar. Hanya saja, seberapapun benar dan pentingnya ia bagi keilmuan Islam, akan sangat sukar untuk menjadi viral di media sosial. Sebaliknya, sesuatu yang receh tapi lucu atau menyentuh, betapapun ia hanya hoaks semata, akan sangat mulus jalan baginya untuk menggelinding jadi viral.

Berpijak pada realitas itu, penduduk dunia maya pun semakin bersemangat membuat konten-konten yang receh. Tapi bedanya, ia sanggup mendulang banyak penonton, pembaca, atau penyuka.

Hingga tanpa terasa, bersemayamlah sebuah paradigma baru dalam benak penghuni semesta maya bahwa yang penting itu adalah viralitas. Kebenaran, keseriusan, dan kedalaman pun harus tersingkir perlahan dari urgensitas kehidupan penduduk dunia maya.

Dalam nuansa paradigma demikian, tentu nalar kritis akan terbelenggu. Nalar yang selama ini menjadi ruh tradisi keilmuan Islam itu, tak akan bergerak leluasa dalam bejana dunia maya yang mensyaratkan viralitas sebagai nilai utamanya. Nalar kritis yang senantiasa bergumul dengan kebenaran, keseriusan, dan kedalam itu akan segera tersingkir akibat kurang mendapatkan apresiasi dalam perbincangan semesta media sosial.

Di tengah pandemi Covid-19, berbagai kegiatan kajian Islam banyak yang bergeser dari sistem tatap muka (nyata) menjadi sistem online. Sistem baru ini, seperti sudah dipaparkan sebelumnya, menjadikan viralitas sebagai paradigma utamanya.

Lantas, mungkinkah menghelat kajian Islam secara efektif di media sosial yang tak menghargai kedalaman pikir?

Haruskan paradigma nalar kritis keilmuan menggadaikan diri dalam paradigma viralitas demi bertahan hidup di dunia maya yang tak bersahabat?

Perlukah konten-konten keilmuan di media sosial direcehkan demi mengais pundi-pundi perhatian publik dunia maya?

Berikut ini setidaknya ada tiga wajah kajian Islam online yang umumnya berkembang di jagat dunia maya.

Memastikan kegiatan transmisi keilmuan Islam berjalan efektif di ruang yang kurang bersabahat dengan tradisi nalar kritis itu bukan hal mudah. Media sosial (medsos) memang tidak didesain untuk mengapresiasi keseriusan dan kedalaman pikir.

Medsos sejak lama hanya mendamba ketenaran dan popularitas yang seringkali diperoleh lewat jalur-jalur yang receh dan banal. Di sini tantangan besar kajian Islam online di Indonesia bersemayam.

Mempertahankan tradisi nalar kritis keilmuan Islam yang serius dan mendalam tentu adalah pilihan yang paling diharapkan. Tapi, apakah ini merupakan pilihan yang pas? Mari kita simak bagaimana kalangan pesantren mempraktikkan ini.

Di tengah pandemi covid-19, banyak kalangan pesantren menggelar pengajian-pengajian kitab kuning online. Bermodal peralatan seadanya, para kiai maupun gus menggelar kajian-kajian kitab kuning online di berbagai platform media sosial.

Dengan tetap mempertahankan tradisi, kebanyakan mereka menyajikan kajian Islam secara serius dan mendalam dengan membahas kata demi kata yang tergurat dalam kitab kuning yang dibacakan.

Hasilnya, sebagaimana dapat diterka, kajian kitab kuning online ini pun hanya menjangkau kalangan santri. Itu pun tak banyak dan nyaris mustahil untuk viral seperti lagu “Entah Apa yang Merasukimu (Salah Apa Aku)”.

Selain karena kontennya yang serius dan mendalam, ia juga mensyaratkan penggunaan data yang “boros”. Sudah terbelenggu oleh nalar receh dan banal, penduduk dunia maya Indonesia ini juga terhalang oleh data yang tidak murah dan fasilitas internet (ketersediaan ponsel selular dan sinyal) yang tidak merata.

Tak ayal, kajian serius dan dalam yang berdurasi panjang semacam itu hanya akan menjadi angin lalu di dunia maya. Apalagi, kalangan santri yang sejatinya menjadi sasaran utama mereka umumnya bukan orang berada dan tinggal di pedesaan yang tak mesti bersinyal internet kuat.

Namun, terlepas dari itu, upaya kalangan pesantren ini tetap harus diapresiasi. Kalangan pesantren yang selama ini dianggap tradisionalis ini ternyata masih membuka diri terhadap perkembangan zaman.

Walau viralitasnya masih jauh panggang dari api, setidaknya kalangan pesantren sudah menunjukkan pada penduduk dunia maya betapa kajian keislaman mereka itu begitu dalam dan luas. Sehingga wajar jika selama ini kalangan santri menjadi garda terdepan pemegang nalar keislaman yang ramah dan terbuka.

Pilihan berikutnya adalah larut secara penuh terhadap tradisi nalar receh dan banal media sosial. Sikap ini tentu merupakan pilihan yang pahit bagi perkembangan kajian Islam. Dengan memilih sikap ini, kajian Islam online akan dapat bersaing menjadi viral di media sosial. Gayung sambut penduduk dunia maya akan segera berdendang ria menyimak kajian Islam online semacam ini.

Tapi, ia akan segera tergencir dalam arus deras nalar receh dan banal serta meninggalkan tradisi nalar kritis yang merupakan spirit utamanya. Nalar kritis, bahkan keramahan Islam akan segera tergadai jika orientasi utama kajian Islam online adalah viralitas semacam ini.

Betapapun ini merupakan pilihan yang paling pahit, sayangnya masih ada pegiat kajian Islam online yang memilihnya. Sejauh amatan saya, beberapa ustadz selebriti media sosial ada yang memutuskan mengambil pilihan ini sebagai media penyalur kajian keilmuan Islam.

Mereka menyajikan kajian-kajian Islam secara receh dan banal bahkan terkadang diselingi cacian di sana-sini demi mengundang perhatian publik media sosial. Beberapa di antara mereka memang berhasil viral, tapi spirit utama tradisi keilmuan Islam harus lekang dari mereka. Bahkan, parahnya ada yang justru menjadi media provokatif yang tak toleran pada perbedaan.

Terakhir, pilihan yang bisa diambil dalam menghelat kajian Islam online adalah mengitegrasikan tradisi nalar receh dan banal media sosial dengan tradisi nalar kritis keilmuan Islam. Tak seperti dua pilihan sebelumnya, pilihan terakhir ini bergerak aktif di ruang antara. Ia mempertahankan tradisi nalar kritis sembari tetap menyadari bahwa ia tengah bertamu di media sosial yang menghargai nalar receh dan banal.

Model kajian Islam online semacam ini juga sudah banyak contohnya di media sosial. Beberapa kajian Islam online yang saya jumpai ada yang menerapkan sikap integratif ini. Mereka biasanya memilih untuk tetap melakukan kajian keilmuan Islam secara serius di media sosial.

Tapi, tak seperti yang telah disebut sebelumnya, mereka juga mempunyai tim tersendiri yang bertugas khusus menyaring dimensi-dimensi menarik dari kajian serius dan mendalam. Hasil saringan itu kemudian dipisahkan dari konten keseluruhan yang mendalam dan panjang lebar untuk dijadikan video serpihan pendek dan menarik.

Serpihan video pendek itu kemudian diunggah sembari tetap menyertakan link versi lengkapnya. Dengan demikian, dimensi viralitas tetap diperhatikan dan dimensi kedalaman serta keseriusan juga mendapatkan ruang.

Demikian tiga wajah kajian Islam online di Indonesia yang saat ini paling banyak mewarnai ruang dunia maya. Bagaimanapun wajahnya Islam hari ini maupun nanti, kajian Islam harus tetap berjalan dalam situasi dan kondisi apapun, sebagai cara berdialektika dengan zaman.

Leave a Response