“Tirakatmu menentukan masa depan suamimu” (Nyai Hj. Nur Chodijah Hasbullah)

Suatu malam Ibu Nyai Chodijah sedang bercengkrama dengan sang suami KH. Bisyri Syansuri, Ulama besar kelahiran Tayu Pati Pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif, Denanyar, Jombang.

“Pak, saya kok ingin bisa berbesan dengan Mbah Hasyim Asy’ari (Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng)?” kata Bu Nyai Chodijah.

“Waaahh. Kayaknya gak mungkin. Kita ini siapa? Beliau itu guruku dan para ulama,” kata Kiai Bisri merendah.

“Tapi tak ada salah salahnya tok pak?” balas Nyai Khodijah.

“Iya Bu, semoga impian tersebut bisa tercapai. Mari kita bersama-sama beriyadhoh agar doa tersebut terkabulkan,” jawab Mbah Bisri.

Begitulah kiranya dialog imaginer antara Mbah Bisri Syansuri dan istrinya yang tak lain adalah adik kandung KH. Wahab Hasbullah, kawan seperguruan dan seperjuangan di Nahdlatul Ulama. Dialog singkat di atas menggambarkan impian sepasang suami istri yang mendambakan keturunan yang saleh dari sebuah mahligai pernikahan dengan seorang ulama besar yang terkenal dengan kealimannya tersebut. Memang terkesan mustahil namun tak ada yang tak mungkin di mata Allah SWT.

Dalam buku Kiai Bisri Syamsuri Tegas Berfiqh Lentur Bersikap dikisahkan bahwa ihwal pernikahan Bu Nyai Khodijah dengan Mbah Bisri adalah pada tahun 1914, beliau menunaikan haji bersama ibunya, Nyai Latifah. Di sana beliau bertemu dengan kakak kandung, Kiai Wahab Hasbullah yang saat itu sedang menempuh studi di Mekkah bersama Kiai Bisri Syansuri. Selama di Mekah, keduanya berguru ke ulama terkemuka seperrti Syaikh Muhammad Baqir Jogja, Syaikh Muhammad Said Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, Syaikh Jamal Maliki dan lain-lain.

Pucuk di cinta ulam pun tiba, usaha Mbah Wahab yang dari awal memang mantap memilih kawan akrabnya semenjak mengaji kepada Syaikhona Kholil Bangkalan tersebut yang dikenal kealiman dan keluhuran akhlaknya. Maka setelah pertemuan  tersebut, karena telah menemukan kecocokan antara keduanya, maka dua tahun setelah itu dilangsungkanlah pernikahan suci antara Kiai Bisri dan Nyai Khodijah.

Setelah menikah keduanya tetap tinggal di Tanah suci sampai kemudian berpulang ke tanah air pada tahun 1941. Datangnya kabar tentang Perang Dunia I menyebabkan beliau harus mempercepat kepulangan dari perkiraan semula. Sementara itu, Kiai Wahab masih meneruskan mengaji di Mekah sampai beberapa saat.

Sepulang ke tanah air Kiai Bisri langsung diminta membantu mengajar di pesantren mertuanya di Tambakberas. Selama empat tahun lamanya beliau mengajar di pesantren yang didirikan pada tahun 1825 oleh Mbah Sechah, pasukan Pangeran Diponegoro.

Selanjutnya pada tahun 1917 beliau merintis pesantren di Desa Denanyar yang berada tak jauh dari Tambakberas. Dan kelak tersebut akan menjadi pesantren besar bernama Mambaul Maarif yang diharapkan menjadi tempat tumbuhnya kebijaksanaan dan bersemainya ilmu-ilmu agama seperti namanya.

Seiring berjalannya waktu, kedua pasangan ideal ini dikaruniai enam keturunan tiga putra dan tiga putri yakni KH. Ahmad Athoillah, Nyai Moeasshomah, Nyai Hj. Solichah, Nyai Hj. Moesjarrofah, KH. Abdul Aziz dan KH. Muhammad Shohib. Dari mereka lahir cucu Mbah Bisri yang luar biasa seperti Gus Muhaimin Iskandar (Cak Imin, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa), Nyai Hj. Latifah Shohib (DPR RI), KH. Abdussalam Shohib (Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar saat ini), dan lain-lain.

Demi untuk mewujudkan mimpi untuk mendapat keturunan yang salihah, Bu Nyai Khodijah memperbanyak waktunya untuk berdzikir seraya memanjatkan doa agar segala hajatnya terkabulkan khususnya bagi masa depan anak cucu nya kelak.

Salawat menjadi wirid andalan putri ketiga pasangan Kiai Hasbullah said dengan Nyai Latifah ini. Ditambah dengan amaliyah-amaliyah lainnya. Begitu yang disampaikan oleh Gus H. Jauharul Afif, Pengasuh Asrama Hifdzul Qur’an Maulana Makhdhum Ibrahim Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar.

Maka Allah pun mengabulkan doa hambanya yang saleh nan ikhlas tersebut. Singkat cerita tiba lah kabar dari Tebuireng yang berharap agar dapat merajut tali silaturrahmi lebih erat dengan Denanyar. Maka dilangsungkanlah pernikahan antara KH. Wahid Hasyim dengan putri ketiga Mbah Bisri yakni Nyai Solichah pada 10 Syawal 1356 H atau 1938 M.

Pernikahan tersebut berjalan sekitar 15 tahun. Hal ini dikarena Kiai Wahid  Hasyim wafat saat mengalami kecelakaan di Cimahi pada tahun 1953, saat itu Nyai Solichah sedang mengandung anak keenam. Sepeninggal suaminya Nyai Solichah pun harus banting setir untuk menghidupi putra-putrinya. Berkat ketekunan, doa yang terus terpanjatkan buah perjuangannya mulai menumbuhkan hasil.

Dari keturunannya lahir menjadi sosok yang banyak memberi kemanfaatan bagi umat dan bangsa, seperti sosok yang sempat memegang tampuk kepemimpinan negeri ini, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sosok Bapak Pluralisme yang begitu besar jasanya bagi keutuhan bangsa Indonesia.

Belum lagi KH. Sholahuddin Wahid yang saat ini memegang tampuk kepengasuhan di pesantren peninggalan kakek tersebut. Begitu juga putra yang lain seperti Gus Hasyim Wahid, Nyai Lily Wahid yang juga berkiprah bagi bangsa sesuai.bidang masing-masing.

Siapa menanam maka akan menuai. Begitu lah pepatah mengatakan. Tak hanya keturunan yang luar biasa, namun juga dari perjuangan Mbah Bisri dan penerusnya lahir generasi santri hebat yang telah banyak berkhidmah ke masyarakat luas. Mambaul Maarif pun telah menjelma menjadi salah satu tempat kawah candradimuka para pejuang Islam ahlussunnah wal jama’ah.

Memang benar pula buah jatuh dari pohonnya. Begitu pula kisah-kisah ulama-ulama besar yang lahir dari keluarga yang biasa, namun kedua orangtua telah bersungguh bertirakat dan senantiasa menjaga apa yang masuk ke dalam perut itu perkara syubhat apalagi haram. Agar jangan sampai masuk yang akan berpengaruh besar pada kepribadian anaknya kelak. Kisah Imam Syafii atau Imam al-Ghazali telah menjadi pelajaran berharga bahwa tirakat, penghormatan pada ulama dan kewiraian orang tua cukup berpengaruh pada masa depan anaknya kelak. Semoga Bermanfaat.

Leave a Response