Merujuk pada perspektif kerukunan yang didengungkan oleh berbagai organisasi agama arus utama, semisal NU, Muhammadiyah, PGI, dan Organisasi Keuskupan Katolik, maka seharusnya toleransi umat beragama di Indonesia baik-baik saja. Tetapi kenyataannya tahun-tahun terakhir ini, aroma kebencian, penutupan rumah ibadah, dan kekerasan yang kelam atas nama agama muncul cukup sering akhir-akhir ini.
Seiring dengan itu beberapa lembaga non pemerintah, semisal Wahid Foundation (2016) maupun lembaga pemerintah, seperti Litbang Agama melansir hasil penelitian yang menunjukkan bangunan kerukunan mulai rapuh dan retak di sana sini. Wahid Foundation, menyatakan ada 600 ribu warga pernah terlibat aksi kekerasan dan 11 juta berpotensi melakukan aksi-aksi radikalisme.
Sementara penelitian Litbang Agama Makassar (2013, 2014, 2015) menggambarkan bangunan toleransi masyarakat hanya terlihat memuaskan pada level toleransi pasif. Selebihnya umat beragama belum bisa meretas prasangka dan saling curiga ketika hubungan tersebut ditingkatkan pada level hubungan yang lebih aktif.
Beberapa penelitian mensinyalir problem dalam toleransi beragama mulai tumbuh setelah munculnya berbagai kelompok-kelompok keagamaan baru (Setara Institute, 2014). Misalnya di Islam dengan munculnya kelompok salafi-wahabi, Ikhwanul Muslimin dan HTI. Sementara di Kristen dengan mulai aktifnya kembali sekte-sekte keagamaan sempalan, seperti Mormon dan Saksi Yehuwa. Di antara kelompok itu ada yang menjadi pelaku intoleransi dan kekerasan beragama, namun ada pula yang menjadi objek dan sasaran perilaku intoleransi kelompok lain, seperti sekte Mormom , Yehuwa, Ahmadiyah dan Syiah.
Gejala ini mengharuskan kita untuk menelisik lebih dalam lagi perspektif toleransi di berbagai kelompok keagamaan tersebut. Kita tidak bisa lagi menyandarkan bentuk toleransi di Indonesia dengan hanya melihat perspektif toleransi itu dari organisasi keagamaan mainstream yang memang selama ini dikenal moderat.
Temuan Penelitian
Penelitian Balai Litbang Agama Kementerian Agama Makassar tahun 2018 ini hanya menjadikan kelompok-kelompok keagamaan dalam agama Islam maupun Kristen sebagai sasaran. Hal ini disebabkan karena pada dua agama tersebutlah ditemukan kelompok-kelompok keagamaan yang sangat beragam dan masing-masing cukup berpengaruh bagi para pengikutnya. Akibat dari keragaman tersebut mengakibatkan relasi yang lebih dinamis, baik di internal Islam dan Kristen maupun dalam relasi eksternal kedua agama tersebut.
Pada agama Islam, kelompok-kelompok yang menjadi subjek penelitian, masing-masing di daerah Ambon, Kalimantan, Papua adalah kelompok Islam non mainstream. Kelompok tersebut dikenal sebagai kelompok salafi. Sementara untuk daerah Palu yang dipilih adalah Al-Khaerat, kelompok Islam yang dianggap sangat berpengaruh di daerah tersebut.
Kelompok salafi yang menjadi subjek penelitian di tiga daerah dalam relasi intern umat Islam rata-rata memiliki perspektif dan praktik toleransi yang berada pada kontinum eksklusif. Eksklusif dalam arti meyakini praktik keberagamaan kelompoknya sebagai yang paling benar dengan kecenderungan menyalahkan praktik keberagamaan kelompok lainnya.
Sementara untuk relasi antar umat beragama, kelompok salafi di tiga daerah ini bergerak pada kontinum toleransi matra pertama, kedua dan ketiga dari Walzer (1997), yaitu menerima secara pasif perbedaan yang ada, tidak mempersoalkan bahwa ada agama lain namun keberadaan agama lain tersebut tidak berarti bagi mereka. Serta mengakui keberadaan agama lain tersebut, tapi tidak seluruh ekspresinya disetujui.
Al-Khaerat di Palu memiliki pandangan keagamaan yang cukup moderat. Karena itu dalam hubungan internal sesama Islam, Al-Khaerat bersikap moderat dan toleran terhadap paham dan praktik beragama kelompok lainnya. Al-Khaerat bisa bekerja sama dengan kelompok Islam lainnya, kecuali kelompok Islam yang dianggap sempalan. Sementara dalam relasinya antar umat beragama Al-Khaerat dianggap sebagai salah satu yang menopang kerukunan di Palu. Al-Khaerat tidak mempermasalahkan keberadaan agama lain dan mengakui keberadaan mereka, bahkan dalam kehidupan sosial bisa bekerja sama secara baik.
Sementara kelompok agama Kristen, seperti Gereja Kemah Injili Indonesia (GKII) di Samarinda dan Papua, Protestan dan Gereja Masehi Injil Minahasa di Menado, Gereja Protestan Maluku di Ambon dan Beberapa Gereja di Palu menunjukkan perspektif dan praktik yang cukup toleran. Hanya saja perspektif dan toleransi kelompok-kelompok tersebut terkesan canggung. Yang cukup berbeda adalah saksi Yehuwa yang terdapat di Samarinda, Menado, Palu dan juga Ambon.
Saksi Yehuwa ini terkesan eksklusif dalam hal ajaran agama. Semua ajaran di luar saksi Yehuwa, dianggap kekeliruan. Hal ini menyebabkan mereka sangat giat menyebarkan ajarannya pada kelompok Kristen dan agama lain yang berbeda. Akibatnya timbul persoalan baik di internal Kristen maupun dengan agama lain. Jika di tubuh Kristen, kelompok lain merasa gerah karena ada misi Kristenisasi terhadap orang yang sudah memeluk Kristen, maka pada agama lain, khususnya Islam dianggap terjadi proses Kristenisasi.
Relasi inter Kristen yang diperankan masing-masing kelompok tadi berjalan cukup baik, tetapi masih terkesan adanya kontestasi yang sengit dalam memperebutkan umat. Hal ini khususnya terjadi di daerah mayoritas Kristen, seperti Menado. Selain itu, hampir semua kelompok-kelompok yang disebut tadi cenderung memperlakukan kelompok di luar arus utama Kristen tadi secara intoleran. Meski sikap intoleransi itu tidak diwujudkan dengan cara-cara kekerasan. Ini disebut sebagai praktik intoleransi lunak.
Relasi antara umat beragama diperankan beberapa kelompok Kristen tadi cukup apik. Hanya saja terkesan canggung. Apa yang disebut-sebut kelompok-kelompok tadi dalam ajaran mereka bahwa Kristen mengajarkan cinta dan kasih, dalam praktiknya tidak sepenuhnya mereka bisa lakukan.
Hal ini dipengaruhi oleh sikap agama lain, khususnya yang mayoritas terhadap mereka yang juga mempraktikkan toleransi secara bersyarat. Kelompok-kelompok Kristen merasa bahwa kelompok agama lain mengakui keberadaan mereka tapi membatasi ekspresi keagamaan tertentu, misalnya dalam pembangunan rumah ibadah dan perayaan keagamaan.
Dengan demikian hasil penelitian ini menunjukkan kesan bahwa toleransi yang terbangun di antara semua kelompok agama baik Islam maupun Kristen, masih terbatas pada toleransi pasif atau toleransi canggung. Hal ini disebabkan karena hubungan toleransi yang terbangun masih hubungan kekuasaan. Ada kepentingan dominasi mayoritas atas minoritas, setidaknya dalam simbol ataupun perayaan keagamaan. Inilah yang diistilahkan The language of tolerance is language of power.
Meski demikian masih ada harapan praktik toleransi pada beberapa kelompok masyarakat. Di beberapa tempat yang diteliti seperti di Lampake Samarinda, Kulawi Palu, Wayame dan Latta di Ambon dan Sentani Papua, meski dalam skala kecil masih ada masyarakat yang mempraktikkan toleransi secara tulus. Praktik ini setidaknya telah berada pada matra keempat dan kelima toleransi Walzer, yaitu memperlihatkan pengakuan, keterbukaan pada yang lain, atau setidaknya keingintahuan untuk dapat memahami sang liyan. Bahkan juga mendukung, merawat dan merayakan perbedaan agama tersebut.
Hasil penelitian selengkapnya klik di sini
Gambar ilustrasi: Media Indonesia