Dalam acara bedah buku Dari Allah Menuju Allah, di Pesantren Kaliopak Yogyakarta beberapa waktu lalu, Haidar Bagir—pendiri Penerbit Mizan, sekaligus penulis buku tersebut—mengatakan, bahwa hari ini di berbagai belahan dunia, banyak anak-anak muda yang menjadi ateis atau skeptis terhadap agama.
Pendapat Haidar, senada dengan laporan dari lembaga riset sosial-politik Konda, yang dirilis berapa bulan lalu, seperti dimuat tirto.id, yang menyebut, bahwa masyarakat Turki semakin banyak yang menjadi ateis. Jumlahnya meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Munculnya fenomena di atas, menurut Haidar Bagir, dikarenakan wajah agama yang hadir di permukaan sekarang, ialah agama yang cenderung menyeramkan, merasa paling benar sendiri, dan penuh kekerasan.
Wajah agama yang demikian, mencuat akibat semakin berkembangnya fundamentalisme agama, yang mempraktikan agama secara kaku, tertutup, dan tidak menghargai perbedaan. Hal tersebut bisa dilihat, dari banyak kelompok dalam agama, yang senang mengkafirkan atau menghalalkan darah orang-orang yang ada di luar kelompoknya.
Realita ini dapat dicermati dari apa yang dilakukan ISIS di Timur Tengah, Ku Klux Klan di Amerika Serikat, atau Ma Ba Tha di Myanmar. Semua kelompok ini, secara terbuka bertindak diskriminatif, hingga melakukan pembunuhan terhadap orang-orang di luar kelompoknya. Wajah agama yang seperti inilah yang menjadi penyebab mengapa banyak orang menjadi ateis atau skeptis terhadap agama.
Dewasa ini, banyak orang bingung dengan keyakinan yang mereka peluk. Satu sisi mereka selalu diperdengarkan mengenai keindahan agama, tapi di sisi lain, agama justru dijadikan legitimasi melakukan berbagai perilaku negatif.
Oleh para fundamentalis, Tuhan seakan menjadi sosok yang kejam, yang hanya merahmati segelintir orang, serta tidak mengakui perbedaan. Padahal, Tuhan tidak seperti yang dipertontonkan para fundamentalis tersebut.
Melalui buku Tuhan Maha Asyik, Sudjiwo Tedjo (Mbah Tedjo) dan DR. Muhammad Nursamad Kamba (Buya Kamba), mengajak kita “bermain-main” untuk memperkenalkan ke-Maha Asyik-an Tuhan. Pandangan sebagian kalangan yang memandang Tuhan sebagai sosok yang menyeramkan, serta serba memaksa/mengekang manusia melalui tuntunan dalam agama, coba dibantah dalam buku ini.
Bagi kedua penulis, Tuhan itu aslinya Maha Asyik. Tuhan itu Maha Asyik ketika tidak kita kurung dan paksa pada pemaknaan tunggal. Tuhan juga Maha Asyik jika kita mentadabburi-Nya, bukan melogikan-Nya. Bila ada anggapan bahwa hadirnya agama hanya akan membatasi manusia, anggapan itu jelas keliru.
Agama sesungguhnya diperlukan untuk memberi panduan agar keadaan apapun manusia tetap terkoneksi dengan Tuhan.
Ajaran-ajaran agama tidaklah dimaksudkan untuk sekedar menunaikan apa perintah Tuhan, atau menghindari apa larangan Tuhan. Sebab, Tuhan tidak membutuhkan ketaatan hamba-Nya. Tidak terpengaruh pula dengan seberapa banyak dari mereka yang mendekat ataupun yang menjauh dari-Nya (hal 98).
Artinya agama tidak serta merta sebatas tata aturan yang mengatur segala perilaku manusia. Lebih daripada itu, agama berfungsi agar manusia selalu terhubung dengan Sang Pencipta. Hanya saja, banyak orang salah memaknai hal tersebut. Agama dibuat rumit dengan berbagai tata aturan yang mengikat manusia. Tuhan pun, yang aslinya Maha Asyik—jika memakai istilah kedua penulis buku ini—lalu menjadi ikut rumit.
Sejarah perkembangan agama-agama menjelaskan, bagaimana agama menjadi kompleks, ketika dari dalam komunitas agama muncul otoritas keagamaan. Padahal, pada awalnya, semua ajaran agama bersifat sederhana dengan memberikan panduan menuju Tuhan. Tujuan utamanya adalah membentuk kebijaksanaan dan kearifan hidup. Kitab suci merupakan media komunikasi Tuhan kepada manusia (hal 99).
Tuhan seperti dimonopoli hanya untuk satu kelompok tertentu. seakan-akan hanya kelompoknyalah yang paling berhak menafsirkan Tuhan seperti apa. Jika ada tafsiran yang melenceng dari pandangan kelompoknya, langsung dihukumi kafir atau bid’ah. Padahal, Islam, dan seluruh agama yang lain, selalu menjunjung perbedaan. Mbah Tedjo dan Buya Kamba menulis satu perumpaan menarik untuk fenomena ini. Tongkat yang kita tahu lurus, jika setengahnya dicelupkan ke dalam air bening akan terlihat bengkok. Apakah mata yang salah memandang atau penafsirannya yang keliru? (hal 49-50).
Hari ini, banyak yang sibuk berdebat apakah tongkat itu bengkok, atau tetap lurus. Sayangnya tiap kelompok yang berdebat, selalu merasa dirinya yang paling benar, sedangkan yang lainnya pasti salah. Kehidupan sehari-hari akhirnya menjadi gaduh. Implikasi dari kegaduhan dalam hidup adalah ironi agama-agama.
Seharusnya agama-agama mengajarkan kebijaksanaan dan kearifan. Tapi, orang-orang yang mengaku beragama yang justru gaduh mempersoalkan siapa-siapa saja yang boleh masuk surga dan siapa-siapa saja calon penghuni neraka (hal 112). Hal itulah yang terjadi hari ini. Maka tak heran, jika jumlah orang yang menjadi ateis atau skeptis terhadap agama terus meningkat sekarang ini.
Karena orang-orang yang mengaku beragama dan bertuhan, tidak menunjukan kasih sayang yang tercermin dalam agama dan Tuhan. Tapi malah menunjukan wajah agama dan Tuhan yang mengerikan. Tuhan yang secara esensial Maha Asyik, dibuat menjadi serba rumit.
Dalam situasi demikian, buku Tuhan Maha Asyik pantas dibaca oleh semua kalangan. Buku ini mengajak kita untuk lebih memaknai wajah agama dan kebertuhanan yang asyik dan penuh kasih sayang. Ditulis dengan bahasa yang renyah dan mudah dipahami, buku ini dapat menjadi semacam oase, di tengah fenomena keberagamaan yang makin kering secara spiritual, karena monopoli agama dan Tuhan yang hanya untuk kalangannya sendiri.
Identitas Buku
Judul: Tuhan Maha Asyik
Penulis: Sudjiwo Tedjo & DR. Muhammad Nursamad Kamba
Penerbit: Penerbit Imania
Cetakan: IX, 2018
Tebal: 248 Halaman