Di dalam sebuah ruang tanya jawab, Ustaz Abdul Somad (UAS) membuka sebuah kertas berisi pertanyaan “Apa sebabnya ustaz kalau saya menengok salib menggigil hati saya?”
“Setan”, dengan cepat suara itu meluncur dari mulut UAS tanpa tedeng aling-aling. UAS lalu melengkapi penjelasannya bahwa di dalam salib ada sesosok “Jin Kafir” yang bersemayam karena sebuah patung. Yang dimaksudnya jelas adalah sosok Kristus. UAS juga memberi sedikit candaan “kepalanya menghadap ke kiri atau ke kanan”. “Di dalamnya,” sekali lagi tukas UAS “ada Jin Kafir”. Di akhir penjelasannya, UAS lalu memberi beberapa nasehat bahwa umat Islam tidak boleh menyimpan patung di dalam rumah.
Apa yang terjadi setelah itu? Video yang berdurasi tidak lebih dari 2 menit itu seketika meledak. Publik kita, khususnya umat Kristen terhenyak. Berbondong-bondong kritikan mencuat. Katanya tindakan UAS memperkeruh keutuhan bangsa. Padahal kita cukup mahfum rekaman itu muncul sekitar tiga tahun lalu, ketika UAS memberikan kajian di salah satu masjid di Riau.
UAS tentu memberi klarifikasi. Olehnya, kajian itu disampaikan dalam keadaan tertutup dihadapan umat Islam, bukan di tempat terbuka seperti stadiun. Tapi bagai air bah, kutukan tak berhenti mengepungnya. Kabarnya, di salah satu wilayah NTT, laporan tentang UAS yang menista agama telah masuk dalam daftar tunggu untuk diadili di Polda Nusa Tenggara Timur. Isi laporan itu, jika boleh saya bahasakan, cukup sederhana namun menohok: UAS menghina salib dan mencederai persatuan bangsa.
“Jika” Saya Pengikut Kristus
Jika saya adalah seorang Nasrani, jelas, pernyataan UAS itu—meski coba disampaikan tiga tahu lalu—benar-benar menembus jatung keimanan saya sendiri. Ungkapan beliau tentang sosok Jin Kafir yang bersemayam di dalam Kristus akan merobek-robek keyakinan saya tentang hierophany—citra Tuhan yang ditampakkan dalam benda-benda—Kristus yang penuh keagungan.
Bagi umat Kristen, salib itu bukan sekadar kayu. Lebih dari itu, salib adalah representasi cinta, kasih, dan pengampunan Tuhan secara sempurna. Di dalamnya terkandung peristiwa-peristiwa sejarah yang tidak mudah untuk dilepaskan dari ingatan umat Kristen: seorang Kristus agung yang mengorbankan kehidupannya untuk sebuah penebusan dosa bagi para pengikutnya yang salih.
Di dalam studi-studi agama, fenomena kebertuhanan dijabarkan dalam dua kategori penting. Tuhan itu berwajah ganda, “sakral” dan “profan”. Dalam The Elementary of Religious Life (1995), Emil Durkheim menjelaskan bahwa kedudukan agama yang menempati posisi tertinggi di dalam kehidupan manusia karena agama sebagai sebuah sistem kepercayaan, memiliki kesakralan. Itu bisa berarti Tuhan atau malaikat. Sedang profan, menurutnya adalah representasi Tuhan dalam hal-hal keduniaan yang menjadi titik fokus pemeluknya.
Sulit memang menjelaskan dua terminologi ini. Durkheim sendiri menyatakan bahwa antara yang “sakral” dan “profan” itu begitu sulit untuk dipetakkan. “Sebab, antara sakral dan profan,” kata Durkheim “bisa jadi dua-duanya mengandung arti baik dan buruk tergantung apa yang diyakini para pemeluk agama”. Namun demikian, apa yang benar-benar kita mahfumi terhadap “profan” di dalam keyakinan seluruh pemeluk beragama memiliki arti yang “baik”.
Karena apapun yang dibangun dalam konstruksi “profan” para pemeluk beragama terhadap Tuhan adalah sebuah kebaikan, maka argumentasi UAS tentang Jin Kafir yang bersemayam di dalam salib umat Kristen itu secara otomatis tertolak. Jin Kafir adalah representasi keburukan dan kejahatan, sedang di dalam ingatan menyejarah umat Kristen, Kristus yang agung justru hidup dengan penuh kebaikan dan pengorbanan. Dengan melihat Kristus yang termanifestasikan dalam salib, umat Kristiani akan merasa bahwa mereka sedang bersama Tuhan, bersama kebaikan-kebaikannya, bersama seluruh riuh pengorbanannya.
Tetapi, apakah di titik ini juga saya akan serta menyalahkan UAS lantaran argumentasinya? Tidak semudah itu juga. Barangkali akan terlihat sedikit lebih terang jika dalam hal ini, kita menggunakan paparan Martin Heidegger, seorang filsuf besar Jerman di abad ke 19. Bagi Heidegger (1889-1976), pemahaman (verstehen) adalah kekuatan memperoleh kemungkinan seseorang itu sendiri untuk berada dalam konteks dunia hidup di mana seseorang itu berada. Pemahaman, yang berbasis pada interpretasi secara fundamental dan ontologis, bagi Heideggeri bukanlah sesuatu yang “terberi”, melainkan terbentuk bersama proses-proses kausal yang terjadi di sekitar manusia.
Untuk memperjelasnya, saya akan mengambil contoh sebuah “hutan” yang coba diinterpretasikan dalam bentuk yang berbeda oleh manusia. Bagi seseorang yang tinggal dan tumbuh berkembang di dalamnya, “hutan” adalah sesuatu yang sakral. Di dalamnya menyimpan ingatan tentang kehidupan. Mereka yang tinggal di dalamnya, meski dengan pengalaman yang begitu sulit, akan mempertaruhkan apa pun untuk mempertahankan hutan.
Tetapi pemahaman ini tentu saja berbeda dengan pihak korporat, yang memandang “hutan” tidak lebih dari pundi-pundi uang. Di dalam otak para kapitalis, tajuk-tajuk pohon adalah kekayaan, meski pada akhirnya harus merenggut nyawa ratusan makhluk hidup yang mencari makan di dalamnya.
Pemahaman, sebagai verstehen, adalah basis bagi seluruh interpretasi, atau sama artinya dengan pengetahuan yang terbentuk akibat “perilaku” dan “keberadaan” seseorang di dalamnya dalam memandang realitas kehidupan. Dalam kasus UAS sendiri, verstehen adalah konstruk-konstruk pemikirannya yang terbentuk melalui pendidikan Islam, bacaan-bacaan serta lingkungan kesilamannya yang ia peroleh selama puluhan tahun—yang pada akhirnya berhasil membentuk corak pemikirannya.
Pendek kata, ketika dihadapkan dalam situasi di mana ia harus menjawab pertanyaan tentang salib suci umat Kristen, ia memandangnya dengan logika hukum Islam, yang sudah barang tentu bersilang selimpat dengan logika keagamaan lainnya.
Kejamnya Big Data
Kita, saat ini, boleh jadi sedang menjalani tahun-tahun yang menggelisahkan. Potongan video UAS bukan yang pertama. Ada banyak penistaan (jika boleh menyebut demikian) yang terjadi sebelumnya. Ahok misalnya, seorang yang dituduh mempreteli ayat Alquran dalam surah al-Maidah ayat 51 dan berhasil menggiring umat Islam tumpah ruah dalam aksi berjilid-jilid.
Saya ingin membatasi tulisan ini agar tidak terlalu melebar pada kejadian-kejadian serupa meskipun ini kenyataan yang tak bisa ditampik dengan mudah. Hanya saja, saya ingin memberitahu bahwa orang-orang saat ini, di zaman ini, sangat mudah marah. Boleh jadi zaman ini, yang diharap-harap menjadi awal keterbukaan dalam setiap aspek-aspek masyarakat, adalah masa yang mengerikan. Orang-orang mudah terbakar, emosi mereka meletup-letup, apalagi jika dipersinggungkan dengan masalah-masalah keagamaan. Padahal, orang-orang itu bisa saja belum menelusuri inti persoalan itu dengan pikiran yang jernih dan sikap penuh keterbukaan.
Pernah suatu ketika, platon dalam Politea/The Republic menggambarkan fenomen masyarakat yang demikian itu sebagai “a great, strong beast, binatang buas yang kuat dan besar”, yang hidup mengikuti insting hewani yang menikmati (makan, minum, dan seks) dan mengindari sakit (Basis, 2019). Karena tidak rasional, meminjam A. Setyo Wibowo, maka satu-satunya cara untuk meruntuhkan segenap intensi binatang adalah dengan mengetahui kecendrungan dan nalurinya.
Gambaran ini sudah tentu mengguncang kenyamanan kita. Namun hidup di dalam demokrasi yang telah memasuki tahun ke 20, kita mahfum bahwa apa yang diilustrasikan Platon mulai menangguhkan kebenarannya. Bayangkan, bagaimana orang-orang saat ini begitu beremosi saat membaca kabar yang berseliweran dalam pelbagai media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Whatsapp Group. Kata-kata kasar dengan mudahnya meluncur dari mulut dua kubu yang saling melempar opini.
Kasus UAS sendiri demikian. Anda bisa melihat divide et impera (politik adu domba) tidak lagi dalam berdiri dalam kombinasi militer, politik dan ekonomi kelas dunia, melainkan terjadi dalam dunia maya yang “serba melampaui”. Teknologi menampakkan kejadian-kejadian luar biasa yang tak berkesudahan dan terjadi dalam skala yang tak terbatas. Kita, dalam galaksi Big Data yang membentang begitu luasnya, juga tidak lagi berurusan dengan perkara waktu—sebagaimana hal tersebut berhasil menarik video UAS tentang salib yang berusia tiga tahun silam ke dalam situasi saat ini.
Di dalam dunia bernama Big Data ini, Anda yang berusaha menampik kenyataan bahwa “ceramah UAS itu tidak masalah karena dihelat dalam sebuah ruang tertutup” tentu bermasalah. Sabab, tidak ada “ruang” yang benar-benar “tertutup” lagi saat ini. Tidak ada lagi privasi, tidak ada lagi individualitas, tidak ada lagi subjektifitas. Ceramah UAS, sekuat apa pun dipertahankan sebagai konsumsi privat umat Islam, akan merentang luas dan menjangkau semua pandangan, termasuk mata umat Kristen yang menyala-nyala saat ini.
Di dalam situasi seperti ini, sebagaimana Platon menyatakan, “para binatang dikontrol oleh pawang yang menyibakkan oportunisme lewat ancaman dan umpan”. Boleh jadi pawang itu, di Kota Athena ribuan tahun lalu adalah para Sofis—yang begitu dibenci Platon karena tingkahnya pintar menyetir para binatang. Namun saat ini, pawang itu bukanlah para Sofis, melainkan Big Data. Emosi, dalam paparan logika algoritma Big Data, tidak lebih dari kalkulasi oposisi biner.
Alhasil, ketika Bioteknologi mengukuhkan posisinya bersama informasi, maka nasib umat manusia ada di tangan para pemegang kekuasaan (Basis, 2019). Jangan berharap pada demokrasi, bahkan agama yang mengajari cinta kasih pun bakal berubah menjadi bara api.
Memahami “Yang Lain”
Di dalam sebuah majalah filsafat The New Pilosopher tahun 2018 berjudul On Being Human, sebuah tulisan berjudul Evolution of Emphaty berhasil menyedot perhatian saya. Artikel itu berkisar 300 kata, ditulis oleh seorang anonim, namun entah mengapa berhasil menggambarkan keseluruhan majalah. Tulisan itu menyitir gagasan Adam Smith, seorang filsuf ekonomi mahsyur terbesar di abad ke 18 tentang empati. “Empati,” ujar Adam Smith “adalah sebuah cara untuk bertukar posisi dengan orang lain dan merasakan apa yang dirasakannya”.
Dengan bertukar posisi, seseorang akan terlempar jauh ke dalam fragmen-fragmen kesadaran orang lain. Berempati terhadap orang lain memang merupakan sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Dibutuhkan imajinasi untuk mendorongnya, namun, hanya manusia yang bisa melakukannya. Contoh sederhana adalah jika di suatu masa, seorang karib baik Anda yang terkena musibah—entah rumahnya kebakaran atau mengalami kehilangan orang yang disayanginya—lalu dia bercerita semua kisahnya. Mendengar itu, Anda seketika tertegun. Dahi Anda berkerut, lalu perlahan Anda meneteskan air mata. Di titik itulah Anda sedang berempati; Anda sedang memosisikan diri Anda berada situasi yang berbeda. Anda sedang berada dalam lanskap pikiran dan perasaan orang lain itu.
Pola beragama kita, agaknya saat ini, boleh dibilang tidak sedang ke mana-mana. Orang-orang bersuka cita dengan ibadah-ibadah mereka. Namun boleh jadi pada sudut tertentu, kita, umat beragama, kehilangan empati. Era yang serba “melampaui” ini mengacaukan struktur kesadaran berempati kita terhadap orang lain, terhadap pemeluk agama lain. Pemahaman Anda boleh jadi yang paling benar. Tapi tidak ada satu pun alasan bagi Anda untuk mengolok-ngolok kepercayaan agama lain.
Kegagalan kita memahami “yang lain” secara tidak langsung, merupakan kegagalan dalam melihat diri kita sendiri sebagai individu yang hidup dan bebas bergerak di dalam ruang demokrasi. Bahwa menyudutkan kepercayaan orang lain dengan dalih kepercayaannya sebagai satu-satunya yang benar, yang dilempar di dalam ruang publik di mana semua orang dapat menyakiskannya, adalah tindakan yang fatal. Itu sebabnya Yuval Noah Harari, dalam kuliah-kuliahnya selalu menyitir empati sebagai sebuah fondasi dasar umat manusia agar dapat bertahan di era yang serba gila ini.
Bagaimana jika Anda seorang Muslim yang taat, di satu waktu tertentu, dihadapkan dengan olok-olok dan cemooh dari umat beragama lain yang menyatakan bahwa keimanannya adalah yang paling benar? Marahkah Anda? Kecewa dan sedihkah Anda? Tentu saja. Orang-orang di dunia ini, yang menggantungkan diri dan keselamatannya pada agama akan terbakar bilamana keyakinan mereka diperosotkan dalam jurang kebodohan terdalam. Tak ada satu pun orang yang akan menerima hal itu.
Kasus UAS—terlepas dari logika dan konstruk-konstruk hukum Islam yang digenggamnya dengan teguh—adalah sebuah pelajaran berharga bahwa mempertahankan keimanan itu tidak mudah. Di sisi lain, dengan sadar kita tidak bisa melepaskan ketegangan-ketegangan yang ada. Maka diperlukan introspeksi diri dan keterbukaan untuk melihat sebuah persoalan ini. Tidak mudah memang, tapi bukan berarti usaha-usaha mendamaikan kedua kutub yang berseberangan juga harus berhenti di tengah jalan. Jalan dialog masih terbuka terbuka. Semoga, segalanya tak sia-sia.***
Wasallalahu ala Sayyidinaa Muhammad wa’ala aalihi washahbihi wasallam
Wallahu a’lam bisshawab