Ada beberapa sumber tertulis yang menarasikan moderasi beragama. Sejumlah historiografi tradisional yang dinarasikan dalam naskah-naskah (manuscripts) asal Cirebon, tidak sedikit yang menyinggung tentang moderasi beragama. Ke semuanya merujuk pada kurun waktu sekitar abad ke-15 M., pada babak-babak awal perkembangan kota-kota pelabuhan yang memberikan warna berbeda dari era sebelumnya.
Narasi-narasi tentang hal itu dalam naskah-naskah babad erat kaitannya dengan perkembangan agama Islam oleh dewan sangha, atau yang dikenal dengan Wali Sanga. Salah satu sumber historiografi tradisional itu adalah Serat Carub Kandha.
Tujuan penelitian Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ini adalah: (1) Memahami konteks yang melatari penulisan dan penyalinan naskah Serat Carub Kandha; (2) Menarasikan moderasi beragama dalam naskah Serat Carub Kandha; (3) Menjelaskan relevansi narasi moderasi bergama dalam naskah Serat Carub Kandha dalam kehidupan kekinian.
Kesimpulan
1. Konteks cerita Carub Kandha adalah tentang keadaan Cirebon dan wilayah pesisir utara Jawa Barat semasa di bawah kekuasaan Raja Pajajaran Prabu Siliwangi, sekitar abad ke-15. Masa ini bersamaan dengan melemahnya kerajaan-kerajaan di Nusantara serta kedatangan dan penyebaran agama Islam di wilayah pesisir di berbagai wilayah.
Latar belakang penyusunan Serat Carub Kandha (sekitar tahun 1720-an) ditengarai terkait dengan pembagian kekuasaan di keraton Cirebon. Hingga awal abad ke-19, Cirebon memiliki empat keraton, yaitu Kasepuhan (dahulu keraton Pakungwati), Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan.
Setiap keraton memerlukan legitimasi kekuasaan. Setiap sultan memerlukan nasab yang menghubungkan antara dirinya dengan leluhurnya, yaitu Sunan Gunung Jati, bahkan sampai ke Nabi Muhammad. Serat Carub Kandha merunutnya lebih jauh lagi, sampai pada Sang Hyang Batara Nur Cahaya, yang menurunkan para dewa dan para tokoh dalam epos Mahabharata, hingga sampai pada raja-raja Jawa. Itu sebabnya, keberadaan naskah Carub Kandha tersebar menjadi koleksi keluarga keraton.
2. Narasi moderasi tersirat dalam delapan pupuh. Identifikasi ini dilakukan setelah melakukan pembacaan dan melakukan penyaduran sebagaimana yang telah disampaikan pula dalam bab tiga. Pupuh-pupuh yang menarasikan moderasi beragama adalah: pupuh pangkur cabang keempat, pupuh mijil cabang keempat, pupuh megatruh cabang keempat, pupuh ladrang cabang kedelapan, pupuh perlambang cabang kesepuluh, pupuh sumengker cabang kesebelas, pupuh dandanggula cabang kedua belas, pupuh sinom cabang ketiga belas. Setiap pupuh tersebut menarasikan minimal satu nilai moderasi beragama yang dapat dikontekstualisasikan dalam kehidupan masa kini.
3. Terdapat delapan poin penting tentang moderasi beragama yang termuat dalam naskah Serat Carub Kandha. Delapan poin tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek. Tiga aspek ini seperti yang telah dijelaskan dalam kerangka teori tentang indikator moderasi beragama, yakni sikap menghargai agama lain, akomodatif terhadap kebudayaan lokal, dan anti kekerasan.
Contohnya, sikap menghargai agama lain tercermin dalam pupuh mijil cabang keempat dan pupuh sumengker cabang kesebelas; akomodatif terhadap budaya lokal tercermin dalam pupuh megatruh cabang keempat, pupuh Ladrang cabang kedelapan, dan pupuh Dandangggula, cabang kedua belas; anti kekerasan terdapat dalam pupuh pangkur cabang keempat, pupuh mijil, cabang keempat, dan pupuh Perlambang, cabang kesepuluh.
Hasil penelitian selengkapnya klik di sini
Gambar ilustrasi: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra