Ibnu Taimiyah berkata bahwa ziarah kubur itu dianjurkan karena Nabi Muhammad telah menetapkan di dalam hadis shahihnya. Walau pada awalnya ziarah kubur tersebut dilarang nabi Muhammad akan tetapi setelah itu ia mengizinkannya. Adapun ziarah kubur terbagi dua yaitu ziarah syari’ dan ziarah bid’ah. Ziarah syar’i yaitu ketika berziarah memberi salam terlebih dahulu dan mendoakan untuk si mayyit.
Sedangkan ziarah bid’ah yaitu ziarah para orang-orang Yahudi, Nasrani, dan para ahlul bid’ah yang menjadikan kubur para nabi dan awliya sebagai masjid. Adapun ziarah bid’ah seperti memuji atas nabi atau wali yang telah wafat, berdoa atas namanya, meminta hajat-hajat (kebutuhan) darinya, bertawasul dengan namanya, dan bersumpah atas nama Allah melalui namanya (Ibn Taimiyah, 1995: 334-335).
Akan tetapi bertawasul kepada nabi setelah wafatnya dibolehkan oleh Imam Baihaqi. Ia berkata, “Para nabi setelah wafat mereka akan dikembalikan ruh-ruh mereka, lalu ruh-ruh tersebut tidak terlihat oleh kita, dan bahwasanya manusia seperti kita tidak bisa melihat mereka kecuali para malaikat, dan orang yang Allah beri kemuliaan karamah (Musa, 1995:160).” Maka perkataan Imam Baihaqi diikuti oleh Imam Suyuthi, Imam Nawawi, Imam al-Subki, dan Imam Qurtubi.
Ada perbedaan pendapat antara Ibnu Taimiyah dan Imam Baihaqi. Titik perbedaannya bahwa boleh atau tidak bertawasul (mencari perantara) kepada nabi dan para wali Allah. Untuk itu kaum muslim harus mengambil satu pendapat yang banyak diikuti ulama. Pendapat Imam Baihaqi yang dibenarkan oleh ulama-ulama salaf al-salih. Adapun para ahli kubur terbagi atas empat kondisi (Imam al-Ghazali, 2014: 112).
Pertama, sebagian dari mereka ada yang duduk diatas pusaranya sehingga ia menghirup keadaan. Kedua, sebagian dari mereka ada yang Allah kirimkan nikmat maka dia tidak tahu apa yang telah dia lakukan sampai ia sadar pada hembusan pertama lalu ia mati kembali. Ketiga, sebagian dari mereka tidak bangun dari kubur kecuali dua bulan atau tiga bulan setelahnya. Keempat, sebagian dari mereka berkeliling di bumi sampai hari kiamat datang
Kondisi keempat itulah yang masyarakat percaya pada kondisi wafat seorang wali Allah. Maka mereka berbondong bondong untuk bertawasul kepada wali tersebut. Karena mereka menganggap bahwa seorang wali yang telah wafat masih bisa menolong mereka. Tak jarang mereka yang berziarah berbicara dengan makam wali tentang perihal kesulitannya.
Ziarah perorangan sebaliknya memenuhi satu tekad yang jelas. Peziarah selalu mengunjungi sebuah makam keramat dengan suatu niat tertentu, entah untuk berkaul (bernazar), atau untuk memenuhi suatu kaul yang lalu. Niat-niat tersebut berupa permintaan yang diajukan kepada sang wali (Chambert Loir, 2007: 356).
Maksud pernyataan di atas adalah kepercayaan dari masyarakat turun menurun sesuai adat kebiasaan umat muslim untuk mencari wasilah. Sebenarnya permintaan utama tersebut ditujukkan kepada Allah akan tetapi permintaan tersebut biasanya diwujudkan tidak cepat oleh-Nya. Maka mereka mengadu dan berbicara oleh sang wali yang telah wafat. Keyakinan mereka bahwa sang wali yang telah wafat dapat berbicara dengan memohon kepada Allah agar membantu orang-orang yang dilanda kesulitan.
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a yang telah diceritakan oleh Rabi’ bin Khuraisy, Suraij bin Yunus, Khalid bin Nafi’. Status hadis ini Shahih di dalam Khasais al-Kubra jilid 2 halaman 149, sedangkan status hadis ini Marfu’di dalam kitab Hilyah al-Awliya li Abu Nuaim bahwa nabi telah bersabda: “Seseorang dari umatku akan berbicara setelah meninggal dunia yaitu orang-orang yang terbaik dari pengikut nabi”. (HR. Aisyah).
Banyak peziarah yang mengunjungi makam-makam dengan tujuan menyelesaikan sebuah masalah materil, khususnya masalah keuangan. Pengunjung-pengunjung adalah orang yang mengalami kesulitan dan minta tolong. Ada yang dilanda kesulitan materiil, atau mencari rezeki, terlilit hutang, menganggur, berurusan dengan pengadilan, bercekcok dengan suami atau istri (Chambert Loir, 2007: 359).
Para peziarah yang melakukan tawasul melalui wali yang telah wafat merupakan keberikutan dari pada salaf as-salih. Hal tersebut pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i. Imam Syafi’i R.A ketika di Baghdad, ia bertawasul melalui Abu Hanifah R.A. Ia mendatangi ke kuburan Abu Hanifah yang ia ziarahinya. Lalu ia memberi salam kepadanya. Kemudian ia bertawasul kepada Allah melalui dirinya agar dikabulkan hajat-hajatnya (Musa, 1985: 73).