Ini jiwa dan hati
Kupersembahkan kepada-Mu
Dan siang dan malam
Aku ingin kosong.
*
Aku hanya ingin
Tangan-hati-Mu
Memelukku.
*
Aku mau lapar hausku
Hanya untuk-Mu
Karena aku sebutir
Debu yang fakir.
*
Kalau engkau ingin tahu isi hatiku
Aku selalu rindu
Bermesraan dengan-Mu.
*
Aku cemburu pada kalian
Yang membanting tulang di tengah terik matahari
Lapar hausmu
Gemerlap tetes keringatmu
Membasahi hati-Nya.
*
Cahaya subuh memilin bulir embun
Daun-daun luruh
Air mata tetes
Duh, kanjeng gusti, luruskan
Hati-jiwaku pada keabadian puisi!
*
“Api, api, api!”
Aku melihat api menyala-nyala
Dalam tubuhmu
Perlahan kian meninggikan kesombonganmu
“Api, api, api!”
Ya Tuhan, tubuhku sungguh
Gemetar
Ampun-Mu!
*
Air kasih-Mu
Mengguyur kerak dosaku
Ketika itu bulan separuh
Berlayar sunyi
Di keluasan langit
“Air, air, air!”
O, air kasih-Mu
Hanyutkan aku!
*
Aku rindu mandi-mandi
Pada bening sungai yang mengalir
Di bawah rumah-Mu
(Angin basah bertiup riuh dari lembah
membentur semak-perdu)
O, sungai cahaya
Yang mengekalkan
Puisi-puisi sederhanaku
Aku berenang dari hilir ke hulu
Tak henti-henti zikir
Sepanjang getar usiaku.
*
Matahari terik jatuh
Sepanjang pelabuhan
Tubuh-tubuh puisi nyaris semua leleh
Debu-debu beterbangan
Deru suara truk
Angin kering kelat
:”Laut serupa hamparan hatimu yang gelisah,
serupa rindumu yang remuk, serupa garis nasibmu
yang kusut, o, juga serupa cinta kasih kehilangan debar!”
Aku menemukan engkau di dermaga
Tengah menyusut air mata
: “Ayat-ayat kesedihan dari matamu pecah,
sejarah jingga kian berdebu!”
Terik pelabuhan
Memanggang kesetiaanku pada laut
Dan izinkan, aku berlindung
Di keheningan kasih-Mu!
*
Terkapar di bawah langit siang
Kuatkan, kuatkan
(sorot mata
penuh cinta-kasih)
Aku sebutir debu
Sepenuh sujud
Berdiri lalu
Melangkah tegak
Malam labirin-Mu.
*
Aku ingin minum segala minuman
Makan segala makanan
Hingga tuntas haus lapar
Lalu aku berjalan di lorong
Paling sunyi, mengukir batu puisi
Melunturkan seluruh miang dan duri
Dalam lorong ada sesuatu yang asing
Menggeletar rongga dada
Walau hanya seduri mawar
Aku mau jadi kekasih-Mu
Terus berjalan di lorong
Paling sunyi dalam larik-larik puisi
O, betapa sunyiku; sunyi-Mu!
*
Elusanmu di kepalaku, ibu, jemari rindu
meneruskan jalan surga
Aku takut kata-kata yang meluka
Membelit jalan masa lalu
Dan gulai ikan favoritku telah
Kaumasak dengan sepenuh cinta
Ibu, aku mau hati dan jiwamu abadi
Dalam tarikan-hembusan napasku
Ibu, doa-doa kuhamburkan ke kuburmu, ngilu,
Setiap waktu
Berbahagialah di pelukanNya.
*
Kopiah dan sarungku sangat lusuh
Baunya sangit dan sengak tapi
Aku selalu bersyukur karena
Orang lain tidak mempersoalkan
Tetapi, duh, biyung…
Usai tarawih tadi, seseorang berbisik
: “Kopiah dan sarungmu berpendar
cahaya penuh pesona!”
Aku menggeleng
: “Akh, jangan bercanda kang kicang!
mungkin penglihatanmu yang
salah, atau pikiranmu keliru…”
Bulan hampir purnama
Keesok malamnya, seusai tarawih
Di gang kecil keluar dari musala
Kang kaswad berkata aneh
: “Kopiah dan sarungmu begitu
harum!”
Aku terkesima
; “Akh, jangan bohong, kang!”
*
Hanya rasa cinta-Mu
Sungguh seluruh.
Jaspinka, 2021