Iwan Fals terbiasa memetik gitar saat melantunkan lagu-lagu mengandung pesan-pesan asmara, politik, religius, ekologi, dan lain-lain. Jari-jari di gitar memberi melodi bagi kita untuk mengerti garapan lagu-lagu terkenang sepanjang masa. Sekian tahun terakhir, Iwan Fals mulai mengajak kita “memetik” hikmah dari pohon. Ia bukan pemetik daun-daun hijau di pohon tapi “pemetik” makna-makna alam dan religiositas. Ia terus mencipta lagu dan mengadakan penanaman pohon. Di pelbagai konser musik dan acara, ia berceramah dengan misi “memetik” hikmah pohon dan daun.

Pengakuan Iwan Fals: “Saya seorang muslim dan saya diajarkan pokoknya kita harus bisa menanam pohon walaupun sebibit saja. Kalau kita menanam, percayalah pohon itu akan berzikir untuk kita. Daun-daun pohon yang kita tanam itu akan berzikir.”

Iwan Fals mengatakan itu sebagai seniman, bukan pujangga-sufistik. Bobot omongan memang mirip sufi. Ia sudah tua. Pilihan diksi wajar mengarah ke religiositas dan kealaman. Perkara daun berzikir disampaikan Iwan Fals di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, 25 Juli 2019. Di situ, Iwan Fals bersenandung dan berceloteh. Tema terpenting tentu daun berzikir (Media Indonesia, 27 Juli 2019). Pada masa tua, Iwan Fals mungkin rajin membaca buku-buku agama, sastra, dan ekologi. Ia bersama daun berzikir.

Para seniman gencar mendakwahkan pohon dan daun, sejak ratusan tahun silam. Para pujangga klasik sengaja cerewet mengisahkan pohon, bunga, daun, buah di pelbagai kitab sastra. Senandung atau lagu mengenai alam terus diwariskan ke anak-cucu. Relief di candi-candi secara rupa dan metafora bercerita dedaunan. Kita ahli waris cerita dan pemaknaan daun, dari masa ke masa. Pengisahan daun di abad XX dan XXI di sastra dan lagu semakin menguat, memicu dampak besar ke pembaca dan penggemar. Iwan Fals sudah menjadi pendakwah daun. Di sastra, kita mengenali pendakwah daun itu bernama Dorothea Rosa Herliany (Rosa). Pengisahan daun-daun terdapa dalam buku puisi berjudul Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999).

Kita mulai membaca “Prosa Daun Daun”. Rosa mengisahkan kehidupan pohon dan petani. Ia tak lupa merangsang imajinasi pembaca ke masalah batin, melampaui hal-hal tampak mata. Pembaca sudah pernah mendapat pelajaran di sekolah dan kampus dikembalikan ke pengertian sederhana cara hidup pohon. Petani sebagai penanam dan pemanen pun ditampilkan memiliki kebijakan.

Rosa menulis: saat kau petik, daun itu belum layu./ “daripada gugur siasia, aku lebih suka tangan/ usilmu,” katanya// akarakar merambatkan zatzat kehidupan lewat/ batangbatang. pucukpucuk mengertap dan menunduk./ “buah terakhir pun bukan milikku juga.”

Keikhlasan pohon memberi segala ke manusia. Pohon untuk pangan, membuat perabot, peneduh, hiasan, dan lain-lain. Ketulusan tanpa bahasa terbaca manusia-manusia dungu. Petani menjadi pihak paling mengerti bahasa pohon di musim-musim berganti. Pohon merelakan diri ke petani dalam menjalani hidup secara bijak dan sederhana.

Kita selalu ingin bahagia dengan segala pemberian pohon. Kemengertian pohon atas tugas mulia di bumi kadang membuat kita melupa “duka” tertanggungkan pohon. Kita melihat pohon, belum sanggup memiliki bahasa misterius untuk turut mengerti suka-duka pohon atau daun.

Rosa dalam puisi berjudul “Orkestra di Daun Daun” mengisahkan nasib daun. Kita membaca: telah kudengar/ bisikan jauh daundaun/ jatuh. terpetik luka matahari/ musim kematian// telah kudengar/ jerit mengaduh daudaun membusuk/ dalam tanah yang basah. Kita diajak mendengar jerit daun. Peristiwa daun berjatuhan atau berguguran di musim kemarau mengandung misteri batin. Di buku pelajaran, hal itu lumrah terjadi dalam gejala-gejala alam. Diksi-diksi dari Rosa tak menggebu tapi mencipta sendu. Kita berhak turut merasai nasib daun.

Kita masih memiliki sebiji puisi gubahan Rosa berjudul “Daun Daun Meratap Karena Angin”. Puisi bukan kegirangan. Puisi itu duka. Kita di pengalaman tak biasa saat masuk ke larik-larik mengharukan: daundaun meratap/ karena angin, dan/ gerit pintu musim yang/ dibuka–perjalanan sepanjang/ lorong yang diatapi matahari.

Puisi itu sufistik, tak kalah derajat dari celotehan Iwan Fals. Daun-daun memang berzikir tapi memiliki nasib dipengaruhi angin, hujan, sinar matahari, dan lain-lain. Kita agak sulit mengangankan puisi-puisi gubahan Rosa disenandungkan Iwan Fals dengan petikan gitar. Iwan Fals dan Rosa jadi pendakwah daun, menguak misteri-misteri mengarah ke alam dan religiositas.

Di akhir, kita menaruh cerita gubahan Sapardi Djoko Damono di buku terbaru berjudul Menghardik Gerimis (2019). Buku berisi cerita-cerita ringkas bergelimang makna. Kita memilih cerita berjudul “Daun”. Cerita lugu: “Siapa yang bertanggung jawab bahwa daun berwarna hijau? Hujan sama sekali tidak memasalahkannya. Ia malah agak heran kenapa muncul pertanyaan semacam itu. Ia tahun benar, meskipun berulang kali diguyur, daun tidak juga luntur. Ia juga suka membersihkan debu yang menempel pada daun sehingga tampak tumbuh hijau. Mungkin matahari yang punya ulah itu; maksudnya yang menyulap daun menjadi hijau. Habis, siapa lagi?” Kita seperti bocah sedang membaca penggalan dongeng kuno.

Di buku pelajaran, daun berwarna hijau bukan lagi misteri. Di cerita, kita menjadi bocah untuk takjub tak berkesudahan mengenai daun, hujan, dan matahari. Kita mesti menanggalkan dulu ilmu-akademis untuk masuk ke pengalaman puitik dan sufistik. Di situ, matahari sempat diceritkan sedih dengan tugas memancarkan sinar ke daun-daun mengakibatkan mengubah warna hijau perlahan kecoklat-coklatkan.

Warna itu menandai keberakhiran. Angin terduga turut berperan saat daun itu jatuh. Sapardi Djoko Damono mendakwahkan daun dengan lugu tapi menitipkan kedukaan atas nasib daun-daun. Kita pun perlahan ingin mengerti daun dari dakwah-dakwah melalui lagu, puisi, dan cerita pendek. Begitu.

Leave a Response