Di Pulau Bangka, Moderasi Beragama Mengalir Melalui Kearifan Lokal
Selain keindahan akan alamnya, Kepulauan Bangka juga memiliki tradisi dan nilai yang mampu menjaga dari adanya konflik dari berbagai sektor terutama agama. Bahkan dalam beberapa hal, tradisi lokal yang ada direproduksi secara massal untuk membina harmoni masyarakat.
Momen-momen keagamaan dijadikan sarana mempersatukan perbedaan ras dan agama. Pun demikian, jargon-jargon besar yang membina kerukunan senantiasa digaungkan untuk diresapi dan terinstitusionalisasi dalam masyarakat.
Terkait moderasi beragama, Kepulauan Bangka merupakan contoh yang unik dan memiliki ciri khas tersendiri dalam dinamika hubungan antar agama. Meskipun hanya memiliki penduduk sekitar 1,5 juta, akan tetapi di dalam masyarakat pulau Bangka memiliki kekayaan akan tradisi dan keanekaragaman suku.
Di pulau Bangka, setidaknya terdapat empat etnis yang terdapat di Bangka yakni Orang Darat, Orang Laut, Orang Cina, dan Orang Melayu. Mereka kemudian saling berinteraksi satu sama lain sehingga melahirkan sebuah kebudayaan baru. Dengan demikian, penelitian ini akan mendeskripsikan dinamika moderasi di Pulau Bangka.
Temuan Penelitian
Ada banyak nilai dan peristiwa di Bangka yang menunjukkan sisi moderasi dari masyarakat Bangka. Dari sisi simbolis, di antaranya bisa dilihat dari motto masing-masing kabupaten/kota. Provinsi Bangka Belitung memiliki motto “Serumpun Sabalai”. Motto serumpun sebalai menegaskan bahwa provinsi Bangka Belitung meskipun berasal dari berbagai suku tetapi mereka semua tinggal dalam satu rumah. Adapun motto masing-maisng wilayah khususnya di kepulauan Bangka:
Di pulau Bangka juga ditemukan rumah ibadah masing-masing agama yang letaknya berdampingan, seperti Kelenteng Kong Fuk Miau dan Masjid Jami’ yang menjadi dua bangunan ikonik dari Kampung Tanjung, Kecamatan Muntok yang dibangun pada era abad ke-18. Selain itu, sumbangsih non-muslim terhadap pembangunan masjid atau sebaliknya menunjukkan betapa kentalnya moderasi beragama di lingkungan mereka.
Sejalan dengan itu, Kepulauan Bangka juga memiliki tradisi pertemuan antarwarga dengan latar belakang suku dan agama yang berbeda. Di antara tradisi tersebut adalah Nganggung, budaya membawa makanan lengkap di atas dulang yang ditutup dengan tudung saji, peringatan 1 Muharram, Peringatan Maulid Nabi, dan Sembahyang Rebut.
Dari tradisi tersebut, tampak dinamika sosial dan sikap keterbukaan yang melahirkan kemoderatan dalam beragama. Kegiatan saling gotong royong, tolong menolong, tanpa memandang suku dan agama menjadi kekayaan tersendiri yang dimiliki pulau Bangka.
Konflik bukan tidak terjadi, tapi memang harus terjadi. Dari berbagai konflik yang ada, baik intern agama maupun antaragama, ada yang dapat diselesaikan dengan kekeluargaan, tetapi ada juga yang dibawa ke ranah hukum. Namun, semuanya juga menegaskan dan merasakan bahwa Kepulauan Bangka memiliki perangkat yang cukup untuk menjaga dan membangun moderasi warganya yang memiliki latar belakang berbeda.
Adapun perangkat yang mendukung yang ditemukan di lapangan yakni adanya tradisi agama yang mempertemukan, tempat ibadah yang berdampingan, dukungan pemerintah dengan kebijakan, musyawarah mufakat, serta jargon-jargon yang berkembang di masyarakat pulau Bangka seperti nda kwa nyusah, fangin tongin jitjong yang semuanya bermakna satu kesatuan.
Jadi, moderasi beragama di Pulau Bangka sudah tertanam dalam motto serumpun sebalai yang berarti satu atap satu rumah. Kemudian kegiatan yang mendukung moderasi beragama juga terlihat pada masyarakat pulau Bangka yang melakukan tradisi pertemuan antarwarga meliputi tradisi Nganggung, peringatan 1 Muharram, peringatan Maulid Nabi, dan Sembahyang Rebut.
*) Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian Ahsanul Khalikin dan Fathuri SR yang diterbitkan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama tahun 2020.