Judul       : Sepasang Mata Kelabu dan Burung-Burung yang Mati

Penulis     : Anton Kurnia

Penerbit   : DIVA Pres

Terbit       : Oktober 2019

ISBN       : 978-602-391-799-0

Tebal       : 168 Halaman

Buku ini lebih banyak menuturkan tema cinta dalam cerpen-cerpennya. Cinta bisa menjelma menjadi apa saja dan membuat seseorang melakukan apa saja, dan cintalah yang menjadikan seseorang bahagia, pun cinta juga bisa menjadi sebuah penderitaan, kesepian, dan keheningan. Hingga penikmatnya akan merasa resah, kesal, dan meneteskan air mata.

Cerpen sepasang mata kelabu dan burung-burung yang mati, misalnya, mengisahkan seorang ibu yang kehilangan adiknya. Ia pun kesepian dan berakibat pada keluarganya. Urusan rumah tangga yang biasanya terselesaikan dengan baik, sekarang harus meminta bantuan kepada keluarganya. Hingga seorang anak yang bernama Alif yang suka menggambar harus menjadi korban kesedihan ibunya. Ia kesepian, kasih sayangnya berkurang, bahkan ia selalu bertanya  kapan ibu akan sembuh?.

Cerpen ini memberikan sebuah gambaran bagaimana cinta tidak selalu mengantarkan pada jalur kebahagiaan. Seseorang juga akan tersesat dalam cinta yang menyakitkan. Itulah mengapa hakikat cinta itu selalu abstrak. Ia bisa membahagiakan di satu sisi, tapi bisa juga melukai orang-orang di sekitarnya.

Selaras dengan buku ini juga menceritakan bahwa cinta bukan sebuah persoalan harta, jabatan, ataupun tahta. Di cerpen Sebilah Keris di Tubuhku, seorang perempuan berparas cantik dipinang  anak bupati yang bergelimang harta. Tentu orangtua dari perempuan merasa bahagia dan sejahtera. Pun dengan perempuan setiap hari juga ia dikelilingi dengan kemewahan, hidupnya tercukupi, apa yang diinginkan bisa terbeli, sesekali juga melakukan perjalanan ke luar negeri.

Namun, kesibukan suaminya dalam pekerjaan membuat perempuan tersebut kesepian. Hingga ia mengenal sahabat laki-lakinya yang bernama Yusuf Martadaliga. Dari perkenalan inilah kemudian menjadi seutas rindu yang berkelanjutan. Mereka saling berkomunikasi dan tentunya melakukan percintaan tanpa sepengetahuan suaminya. Bahkan, ia lebih menganggap inilah kebahagiaan yang sebenarnya.

Cinta membuat kami jadi liar. Kembali jadi binatang purba. Semua terjadi begitu cepat sejak pertemuan pertama kita berkenalan, mengobrol ringan, jadi akrab dan mulai cari-cari kesempatan untuk rendezvous. Mula-mula jalan bareng, makan bareng, nonton bareng, lalu akhirnya tidur bareng (Hal. 116)

Dalam hal ini, cinta mengantarkan seseorang pada rasa, sentuhan, yang kemudian pada dosa, karena tidak memiliki ikatan. Dan semua itu berawal dari kesepian. Bagaimana kesepian akan bisa membuat seseorang bingung, maka solusi menyelesaikan kesepian itu, selain kematian adalah bahagia dengan baru.

Kemudian, cerpen berjudul Orang Gila juga memberikan sebuah penggambaran bagaimana mendapatkan kebebasan cinta dan meraih cinta. Mungkin beberapa orang takut dengan orang gila, tapi menjadi orang gila adalah kebahagiaan tersendiri. Ia bisa hidup dengan sesuka hati tanpa peduli dengan masyarakat sekitar.

Terkadang rasa malu lebih menakutkan ketimbang rasa takut itu sendiri. Tapi, dengan berpura-pura gila, mereka tak perlu lagi merasa malu. Karena orang gila boleh melakukan apa saja. Orang gila punya hak istimewa dari masyarakat sekitarnya untuk melalukan apa pun. Kalau ada orang gila tapi masih malu-malu, belum gila namanya. Mungkin baru setelah gila, atau belum lama menjadi orang gila sehingga belum terbiasa (Hal 144).

Inilah cinta yang selalu muncul pada siapa saja dan kapan saja. Kita tak bisa menebaknya tapi hanya bisa merasakannya. Maka mencintalah dengan bai, agar tidak ada yang tersakiti. Dan menjadi gila adalah satu cinta tanpa melukai. Ia berbahagia tanpa mengusik hidup orang lain.

Selain bertema cinta yang menggelisahkan dan kesunyian manusia, sebagian buku ini juga menyiratkan rasa simpati. Pengarangnya ingin mengungkapkan simpati pada mereka yang menjadi korban dalam peristiwa kelam, dari Aceh sampai Argentina. Penculikan, pembantaian, perkosaan, dan penindasan atas nama peran.

Dengan bahasa sistematis, pembaca akan menemukan khazanah cinta dan kemanusiaan  di balik rampai cerita dalam buku Sepasang Mata Kelabu dan Burung-Burung yang Mati ini.

Leave a Response