Banyak tokoh yang menunjukkan apresiasi serupa pada industri konveksi yang masih ada di dalam Komplek Pesantren Al-Amin. Di komplek seluas tiga hektar ini, geliat aktivitas usaha Tjiwulan Bordir dan Al-Noor Garment Factory terasa. Tangant-angan terampil tampak sibuk dengan beragam kegiatan konveksi.

Di Tjiwulan Bordir terlihat mesin berpenggerak tenaga listrik dan opal. Kedua alat itu dipakai untuk membordir. Opal menyerupai alat yang digunakan untuk menyulam. Alat itu adalah sepasang kayu berbentuk lingkaran. Gunanya untuk menjepit bagian kain yang akan dibordir. Kain yang terjepit di tengah opal akan terentang secara merata, sehingga mudah untuk dibordir. Benang-benang warna dimasukkan ke dalam jarum mesin bordir berfungsi untuk mengisi bordiran.

Selain Tjiwulan Bordir, terdapat aktivitas Al-Noor Garment Factory yang dikembangkan empat tahun yang lalu. Al-Noor berada di bawah PT Tjiwulan Putra Mandiri (TPM). Perusahaan ini mempekerjakan sekitar 300 karyawan. “Al-Noor Garmen Factory sebagai bentuk perluasan usaha dari Tjiwulan Bordir yang sudah lama berdiri,” ungkap Hamzah, salah satu pimpinan perusahaan.

Eksistensi Tjiwulan di Kota Bordir

Kota Tasikmalaya merupakan salah satu daerah sentral industri hiasan bordir unggulan. Kain bordir Tasik diserap dari kebudayaan Cina. Berkat tangan terampil dan ulet warga Tasik, tercipta beragam pakaian dan aksesori berhias bordir. Dari kerudung, kebaya, hingga kopiah haji.

Selain menjadi pemain utama di pasar nasional, bordir Tasikmalaya juga telah menembus pasar internasional. Bordir-bordir khas Tasik sudah diekspor ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Saudi Arabia, negara-negara Timur Tengah, Mesir, dan Afrika.

Usaha kerajinan dan pendidikan bordir H. Zarkasyi beserta perusahaan Tjiwulan dan LPB Tjiwulan diteruskan oleh anak dan menantunya. Sementara itu, Yayasan Al-Amin meluaskan usahanya dalam bidang industri garmen yang baru berjalan empat tahun ke belakang. Industri garmen ini berada di bawah nama perusahaan PT Tjiwulan Putra Mandiri. Salah satu andalan produksinya diberi label atau merek Al-Noor.

Posisi pembuat desain, pembordir, dan penjahit dalam manajemen Tjiwulan Bordir diisi oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Mereka umumnya berasal dari masyarakat ring satu dan alumni Pesantren Al-Amin.

Penjualan bordir di masa depan menghadapi persaingan yang cukup ketat. Sejak adanya ASEAN-China Free Trade Agrement (ACFTA), produk bordir kerap digempur oleh bordir-bordir Cina yang pada umumnya memiliki harga yang lebih murah. Selain digempur oleh bordir Cina, sejumlah perajin bordir di Kota Tasik dan Kabupaten Tasikmalaya merasa was-was karena mereka takut kalah bersaing dengan negara tetangga Malaysia. Sebenarnya, hasil produksi bordir itu kebanyakan dihasilkan para pengrajin bordir asal Tasikmalaya, yang kemudian diekspor ke negara tetangga untuk diekspor kembali ke Timur Tengah.

Haji Zarkasyi dan Pesantren Al-Amin

Setelah sembilan tahun bekerja sebagai penjaga toko dan belajar bordir, H. Zarkasyi membuka usaha kerajinan bordir di kampung halamannya, Kampung Cukang, Kelurahan Tanjung, Tasikmalaya pada 1961. Salah satu menantunya, H. Asep, menuturkan bahwa Zarkasyi diminta oleh majikannya seorang Tionghoa untuk membuka usaha kerajinan bordir.  Zarkasyi pun mengecap pengalamannya berwirausaha untuk pertama kalinya.

Untuk mengantisipasi kekurangan sumber daya yang berkualitas dan siap pakai, keluarga Haji Zarkasyi mendirikan Lembaga Pendidikan Bordir yang lebih dikenal dengan Lembaga Pendidikan Bordir (LPB) Tjiwulan pada 1978. Sampai saat ini, LPB Tjiwulan diperankan oleh unit Pusdiklat Tata Busana Berbasis Pesantren.

Pada 1991, usaha kerajinan bordir atau perusahaan Tjiwulan Bordir secara resmi melakukan ekspor perdana ke Timur Tengah. Pada 1998, keluarga Haji Zarkasyi mendirikan bimbingan Ibadah Haji & Umroh Al-Amin. Pada 1998, keluarga pun mendirikan Majelis Taklim untuk masyarakat umum yang menjadi cikal bakal berdirinya pesantren.

Pada tahun 2000 YPI Tjiwulan berganti nama menjadi Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Al-Amin. Di tahun yang sama, Haji Zarkasyi dengan keluarganya mendirikan Pesantren Al-Amin. Sejak berdiri pada 2000 sampai saat ini, pesantren diasuh oleh KH. Wawan Setiawan yang merupakan putra keempat Haji Zarkasyi.

Mendidik Santri Membordir

Sebagai bagian dari Tjiwulan, Yayasan Pendidikan Al-Amin tidak bisa dilepaskan dari usaha bordir. Pendidikan ini tetap diselenggarakan sebelum maupun setelah pesantren berdiri. Tidak main-main, pihak yayasan membentuk Lembaga Pendidikan Bordir (LPB) Tjiwulan. Model pendidikan ini lebih dekat dengan pendidikan luar sekolah seperti kursus dan pelatihan.

Pendidikan bordir diberikan kepada seluruh siswa SMPT dan MA. Mata pelajaran pendidikan bordir termasuk prakarya dalam struktur kurikulum Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah. Sama seperti di SMP, siswa Madrasah Aliyah diberikan layanan pendidikan bordir selama dua jam per pekan. Namun, di tingkat MA, pendidikan bordir hanya diberikan di kelas 10 dan 11. Untuk kelas 12 tidak diberikan mata pelajaran bordir.

Integrasi Bordir dan Pendidikan

Usaha bordir dan pendidikan bordir lebih dulu ada jauh sebelum Pesantren Al-Amin didirikan. Bordir tidak sekadar menjadi usaha kerajinan tetapi ditransmisikan menjadi Lembaga Pendidikan Bordir pada 1978. Artinya, orientasi usaha bordir memang sudah berbasis sistem pendidikan. Orang dididik untuk menguasai bordir. Setelah menguasai bordir, mereka pun memiliki kebutuhan akan pengetahuan agama.

Atas dasar tersebut, maka dididirikan Yayasan Pendidikan Islam Tjiwulan pada 1987 dengan fokus kepada sistem pendidikan majelis taklim. Pendidikan majelis taklim berorientasi kepada pendidikan bordir dengan teori dan praktik usaha kerajinan bordir yang integratif. Dalam konteks seperti itulah pesantren Al-Amin berdiri.

Pengembangan usaha kerajinan bordir dan pengembangan industri garmen yang berintegrasi dengan pendidikan pesantren telah memberikan kemandirian Al-Amin. Tak hanya soal kemandirian pendidikan tetapi juga kemandirian ekonomi. Pesantren dibangun atas landasan ekonomi yang kuat bukan pesantren mendasari pengembangan ekonomi. Namun demikian, lambat laun telah terjadi interaksi antara pesantren dengan ekonomi yakni usaha bordir. Ekonomi membawa nilai manfaat untuk aktivitas pendidikan Islam. (RMF)

 

Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian Husen Hasan Basri yang diterbitkan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama tahun 2017.

Topik Terkait: #Hasil Penelitian

Leave a Response