Pada 2 Maret 2022, Corona berulang tahun yang kedua di Indonesia. Berbanding terbalik dengan perayaan ulang tahun yang dipenuhi rasa syukur dan bahagia. Ulang tahun Corona dibanjiri dengan ungkapan kesal orang-orang karena sudah terlalu ekstrem mengubah kehidupan bahkan mengantarkan pada kematian.
Namaku Elsa Gita Sabila. Biasanya orang-orang memanggilku Gita. Aku adalah cewek berzodiak pisces yang lahir pada tanggal 16 Maret 2004.
Hari ini adalah hari yang paling kutunggu-tunggu. Karena biasanya ketika hari ulang tahunku sahabatku yang bernama Megan akan memberi surprise untukku (percaya diri itu nomor satu hehe).
“Good morning, Megan!”
“Morning too, Gita.” jawabnya dengan senyum khas lesung pipinya.
Megan adalah sahabatku sejak SMP. Dia adalah anak sulung dari empat bersaudara. Hidupnya memang tidak seberuntung aku yang serba berkecukupan. Eits tapi jangan salah, Megan adalah salah satu siswi emas di sekolah ini. Oleh karena itu, dia termasuk bintang pelajar yang tiap tahunnya akan mendapat beasiswa dari pemerintah. Terkadang aku sering merasa kagum padanya. Karena selain sekolah, Megan juga selalu membantu ibunya membuat kue bahkan berjualan keliling perumahan tanpa rasa malu sedikit pun.
Bel sekolah berbunyi. Tanda pelajaran pertama akan dimulai.
“Selamat pagi, Anak-anak.” sapa Bu Rina.
Bu Rina adalah wali kelas kami. Beliau adalah orang yang cantik dan ramah. Meskipun terkadang suka marah-marah. Tapi kami paham kalau kemarahan beliau adalah bukti cinta dan peduli beliau terhadap kami.
“Pagiiiii, Bu.” Jawab kami serentak.
“Hari ini saya akan menyampaikan kabar duka untuk kita semua.” Bu Rina menghela napas sejenak.
“Untuk mematuhi kebijakan pemerintah, hari ini adalah hari terakhir kalian sekolah tatap muka dan mulai besok kita akan belajar di rumah via daring.” Ucapnya dengan nada sedikit kecewa.
“Tapi kalian harus tetap semangat belajar, jaga kesehatan, dan selalu patuhi 5M. Ada yang tahu apa saja itu 5M?” Sambung Bu Rina.
“Mencuci tangan pada air mengalir menggunakan sabun, menjaga jarak, memakai masker, menghindari kerumunan, dan membatasi interaksi.” Jawab salah satu temanku.
“Iya, betul sekali. Sekolah diliburkan selama dua minggu sampai pemerintah mengeluarkan kebijakan lagi. Semoga wabah COVID-19 ini segera berakhir, agar kita bisa belajar, bekerja, dan beribadah seperti biasanya.”
“Aamiiinnnnn…” jawab kami serentak.
Setelah Bu Rina keluar kelas. Kami semua kegirangan mendengar berita ini, kecuali Megan. Dia terlihat cemas. Kecemasannya bisa kutebak. Pasti karena Megan tidak memiliki smartphone.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi aku memutuskan untuk pulang bersama Megan, karena ayah menyuruhku mengambil pesanan kue di rumahnya. Kami berjalan kaki melewati beberapa perumahan yang tidak lain adalah jalan pintas menuju rumah Megan.
Di sepanjang jalan, Megan terus diam memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa memiliki smartphone untuk dipakai belajar di rumah selama masa pandemi COVID-19 ini.
Aku pun mulai menghibur Megan dengan mengingatkan tentang hal-hal lucu yang pernah kami alami. Namun hasilnya nihil, Megan tetap diam. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengajak Megan mampir ke toko HP yang ada di pinggir jalan untuk mengecek harga smartphone yang ada di sana.
“Bagaimana kalau harganya mahal-mahal?” tanya Megan.
“Kan gak ada salahnya tanya-tanya harga dulu. Kalau harganya terjangkau, ya belilah.” Jawabku sambil tersenyum.
Sesampainya di toko tersebut, aku langsung menanyakan harga smartphone yang paling murah.
“Permisi, Mbak. Saya mau tanya. Harga smartphone yang paling murah di sini berapa ya?”
“Ini, Mbak. Ada Realme Narzo. Harganya satu juta lima ratus.” Jawab mbak penjaga toko.
“Emmm apa nggak bisa kurang, Mbak?” Tawarku.
“Gak bisa, Dek. Ini sudah harga pas.”
Megan pun menarikku keluar dari toko tersebut. Dia bingung bagaimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Megan tidak ingin menceritakan ini ke ibunya. Karena dia tidak mau menambah beban pikiran ibunya. Nah, di sinilah aku kadang iri pada Megan. Karena ketika membutuhkan sesuatu, aku pasti akan merengek ke ayah agar aku dibelikan. Mereka memanjakanku karena aku adalah putri semata wayangnya. Dari Meganlah aku belajar arti perjuangan, keikhlasan, dan masih banyak lagi.
Aku kembali mengajak Megan untuk melihat smartphone ke toko lain. Megan sempat menolak karena takut kecewa untuk yang kedua kali. Tapi aku terus memaksanya. Kami pun bergandengan tangan dan masuk ke toko tersebut.
Dan aku pun memulai aksiku untuk menawar harga.
“Permisi, Mbak. Kami ingin melihat smartphone yang paling murah.” Kataku sambil tersenyum malu.
“Ini, Dek. Oppo A6 harganya satu juta tiga ratus.” jawab mbak penjaga toko dengan ramah.
“Apa masih ada harga di bawah 1 juta, Mbak?” tanyaku.
“Waduh cari harga yang di bawah satu juta ya, Dek. Baru saja dibeli oleh ibu tadi. Mungkin ready lagi bulan depan.” Jelas mbak penjaga toko.
“Aduh mau dipakai besok, Mbak. Yaudah, kami pulang dulu. Terima kasih ya, Mbak.”
“Oh iya, Dek. Sama-sama.”
Kami pun keluar dari toko dan memilih untuk pulang. Kulihat Megan masih sangat sedih karena tidak bisa ikut pelajaran besok. Aku pun mulai menghiburnya.
“Bagaimana kalau besok kamu datang ke rumahku saja? Kita bisa belajar bareng kan?” tawarku.
Megan pun mengangguk dan memelukku erat.
“Terima kasih, Gita.”
“Iya sama-sama.”
Kami pun segera beranjak dan pulang ke rumah Megan.
***
Sesampainya di rumah Megan, kulihat tante Wati di depan rumah sedang mengaduk adonan kue seperti biasa.
“Assalamualikum…” ucapku dan Megan bersamaan. Lalu kami mencium punggung tangan Mama Megan tersebut.
“Waalaikumsalam. Eh, kalian sudah pulang. Tumben telat.” Tanya tante Wati.
“Iya, Tan. Kami tadi jalan kaki.” Jawabku singkat.
“Ya sudah, ayo makan siang dulu.”
“Oh nggak usah, Tan. Saya langsung pulang saja. Tujuan saya kesini mau mengambil pesanan kue ayah yang kemarin. Di mana ya, Tan? Biar saya ambil.”
“Ohh kuenya ada di awah tudung saji. Sengaja tante taruh di sana, biar nggak dikerumuni semut.” Jelas tante Wati.
“Megan, tolong ambilkan kuenya, Nak.” sambung tante Wati.
“Iya, Ma. Sebentar.”
Setelah ganti pakaian, Megan menuju meja makan untuk mengambil pesanan kue. Setelah tudung sajinya dibuka, yang ia temui bukanlah sekotak kue melainkan kotak smartphone baru.
Megan pun melompat kegirangan, menangis dan berlari memeluk mamanya.
“Terima kasih, Ma.” Ucap Megan di tengah tangisnya.
“Iya sama-sama, Nak. Tadi Mama lihat di berita, katanya sekolah akan diliburkan selama dua minggu dan pembelajaran akan dilakukan melalui daring. Mama langsung kepikiran kalau kamu nggak punya handphone. Jadi Mama putuskan untuk beliin kamu handphone. Yah anggap saja ini hadiah dari mama karena kamu sudah mau bantu Mama selama ini.” Jelas tante Wati sambil mengelus punggung putri sulungnya itu. Dan ternyata mama Meganlah yang telah membeli smartphone di toko yang kita datangi tadi.
Ya Tuhan..Betapa indah scenario-Mu. Aku pun menitikkan air mata melihat Megan menangis haru di pelukan mamanya. Akhirnya Megan mendapat smartphone baru dan bisa mengikuti pelajaran seperti biasanya, walaupun di tengah pandemi COVID-19 ini.
Terima kasih Ya Allah. Melihat Megan bahagia dengan smartphone barunya sudah lebih dari cukup sebagai kado terindah di ulang tahunku.