Namaku Sekar, akhirnya aku memberanikan diri membuat catatan ini. Jika kalian membaca catatan ini, anggap saja ini bukanlah kisah nyata. Buku catatan ini kuberi judul Sepanjang Tepian Sungai Mahakam. Tidak usah ku jelaskan sebab musabab penamaan ini, nanti kau juga akan mengetahuinya.

Namaku Sekar, tetapi saat ini fisikku bahkan tidak seperti bunga yang sedang merekah. Sepanjang hari aku hanya menangis. Kantung mataku pun semakin menonjol setiap kali air mataku mengalir. Mataku sudah tentu sayu, tak ada pancaran aura kebahagiaan jika kau menatap kedalamnya.

Akhir-akhir ini aku kesulitan untuk tersenyum. Sepanjang hari sejak mendapati penjajahan ini hari-hariku terasa selalu dirundung duka. Bahkan ketika hari kemerdekaan pun aku tak bisa memungkiri kepedihan ini. Memang euforia kemerdekaan tahun ini tidak seramai tahun-tahun sebelumnya. Tentu kalian pun paham ini semua karena pandemi. Hanya saja aku tak merayakan sama sekali kemerdekaan Indonesia yang ke 75 ini. Namun tentu tidak ada yang mengetahuinya jika aku tak mengungkapkannya.

Kata Yu Fatim dalam Kopdar Penulis Perempuan: Perempuan Berfikir, Perempuan Menulis yang aku ikuti, perempuan haruslah berdaya dalam kepenulisan. Mengapa? di antara tujuannya tentu untuk terapi jiwa, mendapatkan kesempatan yang setara dengan laki-laki sebagai sesama manusia, menjadi sumber ilmu pengetahuan terkait pengalaman biologis yang hanya dirasakan oleh perempuan, serta menjadi strategi advokasi agar kebijakan-kebijakan yang dihasilkan menjadi kebijakan yang ramah terhadap perempuan.

Akhirnya setelah tangisku mulai berkurang, aku mulai tergerak untuk menulis. Harapanku sederhana, agar menjadi terapi jiwa untukku dan membuat masyarakat kembali peduli betapa penjajah ini masih ada di sekitar kita sehingga dapat meminimalisir korban yang semakin hari semakin banyak yang jatuh berguguran. Penjajahan Covid 19. Ya, inilah yang membuat hari-hari terakhirku selalu berlinang air mata.

Aku kira ini semua berawal dari kehadiranku mendatangi undangan pernikahan seorang teman. Sejujurnya, aku adalah orang yang lebih sering dan berusaha untuk diam di rumah saja sejak virus ini merajalela. Masa-masa di awal pandemi, ketika pemerintah menerapkan untuk stay at home, work at home, school from home apalah itu, aku ada di antara mereka yang berusaha untuk tetap di rumah saja. Sebisa mungkin selama dua pekan di rumah saja dan hanya keluar rumah jika merasa benar-benar suntuk.

Sering kali justru merasa menyesal usai keluar rumah. Karena saat itu yang kudapati hanyalah rumah makan tutup, jalanan sepi, segelintir ojek online yang mencari nafkah karena tidak mungkin berdiam diri di rumah, dan juga pusat perbelanjaan yang sunyi. Selebihnya aku menjadi tidak bersemangat untuk keluar rumah dan mencoba banyak kesibukan yang bisa dilakukan di rumah saja seperti menanam, mencoba resep baru, atau pun menulis. Toh, kalaupun aku tidak keluar, beberapa anggota keluarga tetap harus keluar rumah untuk pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan di rumah dan memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga lainnya.

Era new normal akhirnya tiba. Jadwal penerbangan mulai diadakan kembali. Ayahku bertanya kapan aku pulang ke Simpang Besi. Ya, sudah lebih dari tiga bulan aku berada di kota Tepian menemani Mas Sholah yang sedang bekerja di bidang konstruksi. Untuk pulang ke Simpang Besi dari kota Tepian haruslah menggunakan pesawat atau kapal laut. Apalagi di masa pandemi, perjalanan jauh seperti ini haruslah menjalani pemeriksaan tes kesehatan dulu dengan menjalani rapid test.

Mendengar kabar yang beredar tentang rapid test yang masih simpang siur terutama tentang berapa biaya yang harus dikeluarkan, akhirnya aku memutuskan untuk menjawab pertanyaan ayahku dengan permintaan maaf karena belum bisa kembali ke Simpang Besi dan berlebaran di sana. Kubilang padanya insya Allah jika memungkinkan aku akan segera pulang bersama Mas Sholah dan juga Sufyan anakku.

 

(bersambung)…

Leave a Response