Judul              : Kaidah-kaidah Tafsir: Bekal Mendasar untuk Memahami Makna al-Qur’an dan Mengurangi Kesalahan Pemahaman

Penulis          : Prof. Dr. H. Salman Harun, dkk.

Penerbit         : Qaf

Cetakan         : I, Maret 2020 (edisi Hardcover)

Tebal              : 887 halaman

Menafsirkan al-Qur’an sesungguhnya membutuhkan energi yang besar. Usaha mememahaminya, tidak hanya semata-mata mengandalkan kemampuan berpikir. Atau bahkan ia sebagai seorang yang merasa telah terbiasa menerapkan logika yang ketat. Tetapi, lebih dari itu, sebagaimana dijelaskan dalam ilmu al-Qur’an, perlu memahami apa yang lazim disebut qawa’id al-tafsir, kaidah-kaidah tafsir.

Bahwa terminologi “tafsir”, berbeda dengan “terjemah”. Seorang yang menafsirkan sesuatu, berarti ia dituntut harus tahu pula tentang konteks pembicaraan dalam teks (dan kaidah-kaidah lainnya). Sementara terjemah, lebih mengandalkan penguasaan bahasa; jika teksnya berbahasa Arab atau Inggris, maka syarat mutlak seorang penerjemah wajib menguasai bahasa Arab dan Inggris.

Bagaimana jika teks itu adalah al-Qur’an, yang kedudukannya sebagai kitab suci? Inilah tantangannya. Tentu, tidak cukup mengandalkan sekadar menguasai bahasa Arab, meski itu juga merupakan syarat utama. Tidak cukup pula karena ia mungkin dianggap pintar, cakap atau vokal bicara.

Syarat untuk menafsirkan al-Qur’an, selain mampu menguasai bahasa Arab, tak kalah pentingnya adalah memahami qawa’id al-tafsir, yang di dalam buku setebal 887 halaman ini telah diuaraikan secara tuntas dan komprehensif. Beberapa di antaranya, bagi seorang yang hendak menafsirkan al-Qur’an, ia harus paham sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul); paham dan bisa membedakan mana ayat kategori Makkiyah dan mana ayat kategori Madaniyah; paham ragam metode tafsir (al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan sunnah, al-Qur’an dengan pendapat sahabat, dan seterusnya), dan lain-lain.

Qawa’id al-tafsir adalah prinsip-prinsip dasar yang perlu diindahkan dalam usaha menemukan makna yang diyakini benar dari ayat-ayat al-Qur’an (halaman 9). Buku ini layak disebut sebagai “babon”, panduan lengkap dalam usaha menafsirkan al-Qur’an, yang jika dibandingkan dengan buku-buku lain, memiliki setidaknya dua keutamaan.

Pertama, buku ini, berdasarkan saduran dari kitab Qawa’id al-Tafsir, karya Khalid ibn Utsman al-Sabt, yang merupakan karya penting, di samping karya-karya lain yang umumnya dikenal dan dipelajari oleh banyak kalangan, seperti al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, karya al-Zarkasyi (4 jilid, 2.046 halaman), al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, karya al-Suyuthi (2 jilid, 412 halaman), Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, karya al-Zarqani (2 jilid, 942 halaman), dan Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (1 jilid, 399 halaman).

Dibanding dengan  4 karya yang disebutkan di atas, Qawaid al-Tafsir, karya Khalid ibn Utsman al-Sabt, terbit tahun 1999, 941 halaman, yang kemudian menjadi inspirasi lahirnya buku dalam bahasa Indonesia ini, memiliki pangkal pembeda. Apa itu?

Bila buku-buku sebelumnya hanya hanya berupaya menerangkan sejelas mungkin mengenai aspek-aspek ilmu al-Qur’an, tanpa mempertajamnya menjadi kaidah, buku ini mampu menyusun kaidah-kaidah dari beberapa aspek ilmu-imu al-Qur’an tersebut. Ia berhasil menyusun 280 buah kaidah tafsir berserta 100 sub-kaidah dalam 29 pokok bahasan (bab) (halaman 11). Dan saya setuju dengan pernyataan ini.

Kedua, buku yang disusun oleh Prof. Dr. H. Salman Harun, dkk. tersebut penting sebagai karya “langka” dalam bahasa Indonesia yang membahas tentang kaidah-kaidah tafsir. Ini jika merujuk pada temuan awal Federspiel (1994), yang melaporkan hanya ada tiga buku membahas tema ulum al-Qur’an, yaitu Ulum al-Qur’an karya Aboebakar Atjeh, terbit 1952; Ilmu Tafsir al-Qur’an karya Hadi Permono, terbit 1975; Pengantar Ilmu al-Qur’an karya Masyfuq Zuhdi, terbit 1979).

Penerbitan buku kaidah tafsir dalam bahasa Indonesia jelas memiliki kontribusi nyata, apalagi di tengah generasi milenal, yang kita tahu, banyak bermunculan usatadz-ustadz muda, dibesarkan melalui media sosial, dan ironisnya terpantau beberapa kali salah baca ayat al-Qur’an, tidak sesuai dengan kaidah tajwid. Lalu, bagaimana mungkin ustadz model begini bisa memahami al-Qur’an, dan menafsirkannya?

Jikalau pun dipaksakan, seorang yang masih belum fasih membaca al-Qur’an, ditambah tidak menguasai bahasa Arab, hingga ke syarat-syarat lainnya, lalu nekat menafsirkan al-Qur’an, kemungkinan besar akan kacau, dan mengalami apa yang oleh buku ini disebut “tafsir tercela”. Yaitu tafsir yang mengabaikan aturan-aturan bahasa Arab, atau tidak sesuai dengan petunjuk-petunjuk agama dan kaidah-kaidah syariat dalam menjelaskan dan mengambil kesimpulan, atau bertentengan dengan nash (halaman 204-205).

Tafsir yang tercela juga disebutkan, muncul dari fanatisme mazhab atau paham yang tidak benar, lalu memperlakukan al-Qur’an berdasarkan rasio atau pendapat mazhabnya, kemudian menundukkan nash agar sesuai dengan pahamnya itu. Dalam pemahaman ini pulalah, kita bisa sambil mengaca diri saat menafsirkan al-Qur’an. Semoga.

Leave a Response