Cinta adalah perasaan yang bersifat naluriah bagi manusia. sebagai manusia normal, pasti pernah merasakan cinta. Cinta kepada keluarga, kepada guru, kepada harta, pekerjaan, wanita, bahkan cinta kepada diri sendiri sekalipun.
Potensi cinta selalu ada dalam hati insan. Cinta akan menjadi potensi yang baik selama proporsional sesuai objek yang dicintai. Dan selama perasaan cinta itu diekspresikan dengan tanpa melebihi batasan-batasan syari’at.
Dalam hal mencintai lawan jenis, sebagian pakar biasa menyebutnya sebagai asmara. ini biasa dialami oleh muda-mudi ketika menginjak usia remaja. Hal ini adalah biasa dan naluriah. Dan demikian juga sudah menjadi keharusan bagi seorang suami untuk mencintai istrinya sepenuhnya.
Namun sayangnya, mencintai lawan jenis seringkali justru distigmakan sebagai hal yang “negatif”. Apalagi karena selama ini mencintai lawan jenis diidentikkan dengan istilah “pacaran”.
Hal itu tidak sepenuhnya benar. Karena dengan berlandaskan cinta pula suatu rumah tangga, pasangan suami istri, bisa menjalani kehidupan dengan baik. Dan kenyataannya, banyak ulama yang juga pernah mengalami gejolak asmara kepada lawan jenis.
Berbicara tentang kisah cinta ulama yang sangat romantis, ada satu kisah menarik yang dialami oleh seorang ulama bernama Ibnu al-Jauzi. Mungkin generasi muda-mudi gaul era ini menyebutnya sebagai seorang “bucin”, alias budak cinta.
Ibnu al-Jauzi lahir di Baghdad tahun 508 H/ 1114 M. Silsilahnya sampai kepada sahabat Abu Bakar Ash-shiddiq. Ia adalah seorang ulama yang menguasai lintas disiplin Ilmu yang bermadzhab Hanbali.
Dalam hal ini Ibnu al-Jauzi berbeda dengan sosok Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Terkadang beberapa orang agak kebingungan dengan perbedaan ini. Ibnu Qayyim lahir pada tahun 1923 M di Damaskus, Suriah.
Kisah ini dinukil dari buku Az-Zahrah yang ditulis oleh Abu Bakar Muhammad bin Daud. Suatu saat Ibnu al-Jauzi pernah jatuh cinta kepada seorang wanita cantik bernama Nasim as-Shabah (angin pagi yang segar).
Singkat cerita, Ibnu al-Jauzi berhasil menikahi wanita itu. Mereka hidup bahagia dan tenang dan saling mencintai. Namun, suatu ketika karena ada suatu hal di luar rencana, mereka akhirnya berpisah dengan baik-baik. Akan tetapi, setelah sekian lama berpisah, Ibnu al-Jauzi justru mengalami penderitaan yang mendalam karena rindu dengan mantan istrinya tersebut.
Pada waktu mengisi ceramah di majelis pengajian, Ibnu al-jauzi melihat mantan istrinya itu mendatangi majelis pengajiannya. Dan akhirnya pandangan mereka bertemu dalam satu waktu. Hal itu kemudian membuat keduanya teringat berbagai kisah dan kenangan indah yang pernah mereka jalani bersama.
Ketika mata mereka masih beradu temu saling menatap, tiba-tiba saja ada dua orang wanita yang datang dan menghalangi pertemuan pandangan antara Ibnu al-Jauzi dan Nasim as-Shabah itu.
Lalu secara sepontan Ibnu al-Jauzi mengungkapkan sepenggal bait ke arah dua wanita yang menghalangi momen “CLBK” antara mantan suami-istri itu. Bait ini juga pernah didendangkan oleh seorang ‘bucin’ bernama Qais “Majnun” kepada Laila.
Berikut bait yang diungkapkan Ibnu al-Jauzi:
أيا جبلي نعمان بالله خليا نسيم الصباح يخلص إلى نسيمها
أجد بردها أو تشفي مني حرارة على كبد لم يبق إلا صميمها
فإن الصبا ريح إذا ما تنسمت على نفس مهموم تجلت همومها
“Duhai kedua gunung Nu’man, demi Allah, izinkanlah angin sepoi di pagi hari itu bebas menuju jiwanya;
Agar aku bisa merasakan kesejukannya atau menyembuhkan demam yang menimpa jantungku hingga tak tersisa kecuali bentuknya;
(Izinkanlah) karena anginya sepoi di pagi hari jika berhembus ke jiwa yang resah, maka keresahannya pun akan hilang.”
Dalam konteks kejadian Ibnu al-Jauzi saat itu, yang dimaksud dengan kedua gunung Nu’man adalah dua wanita yang menghalangi pandangan antara Ibnu al-Jauzi dan Nasim as-Shabah.
Setelah mendengar sajak-sajak itu, Nasim as-Shabah kemudian berlalu meninggalkan majelis pengajian itu dengan perasaan yang berkecamuk dan iba. Ia lalu menceritakan kejadian itu kepada teman-temannya hingga mereka menyampaikan hal itu kepada Ibnu al-Jauzi.
Singkat cerita, Ibnu al-Jauzi dan Nasim as-Shabah akhirnya rujuk kembali untuk melanjutkan perjalanan bahtera rumah tangga mereka yang sempat kandas disapu ombak perceraian.
Begitulah ternyata sisi lain kisah seorang ulama masyhur juga pernah mengalami gejolak asmara kepada lawan jenis. Tentu teladan ulama dalam mengekspresikan cinta tidak ada yang melebihi batasan-batasan syari’at.
Titik keharamannya bukan pada istilah “pacaran” itu sendiri, akan tetapi lebih kepada cara mengekspresikan perasaannya. Karena tidak jarang cinta itu tertutup oleh kabut syahwat.
Demikian kisah seorang ulama ‘bucin’ yang romantis ala Ibnu al-Jauzi. Semoga kita selalu dalam jalur kebahagiaan bersama orang yang kita cintai. Wallahu a’lam.