Angin malam ini berhembus dari Rembang, bersama tilikan lembaran setebal 10 cm berjudul “Door Duisternis Tot Licht” yang secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahara”. Kisahnya, buku ini berisi kumpulan surat yang ditulis untuk seorang sahabat pena di Belanda, Nyonya Abendanon dan yang lainnya. Aku tidak akan menceritakan isinya, karena panjang.

Aku sedang berimajinasi, kira-kira, kalau aku punya sahabat pena nun jauh di sana, dan ingin menulis surat, apa yang akan aku ceritakan padanya?

Aku pasti akan bercerita tentang hatiku, keresahanku, seperti Kartini yang juga berbagi hati pada teman yang ia percayai.  Tentu temanya bukan tentang sulitnya sekolah bagi perempuan. Sebab kini perempuan bebas sekolah ke mana-mana, tidak ada pingitan atau rencana perjodohan yang bertujuan untuk membendung cita-cita. Perempuan berada pada fase yang berbeda.

Ini kisahku …

Menjadi perempuan itu ternyata tidak mudah. Saat perempuan hanya ada di rumah, hati rentan dihinggapi urusan melihat teman yang berkarir sana-sini. Merasa tertinggal dari koloni. Merasa menjadi makhluk udik yang hanya tahu urusan dapur dan kasur.  Tidak mudah untuk melalui perasaan seperti ini.

Kemudian datang pengingat yang bijaksana meski tidak mudah untuk diikuti. Bahwa, kesuksesan rupanya bukan karena berkursi empuk tinggi di kantor ber AC dengan fasiltas makan siang lengkap dengan camilan dan vitamin tambahan. Dalam posisi bekerja, seorang perempuan juga galau melirik temannya yang begitu tenangnya menikmati waktu memandikan dan menyisir rambut anak lebih lama. Perasaan bersalah dan merasa menjadi tersangka pengalihan tanggung jawab pada urusan domestik sering mengacaukan suasana.

Lalu sebenarnya apa itu kesuksesan perempuan?

Mungkin jika aku diberi kesempatan untuk sepuluh menit pura-pura menjadi Kartini yang sedang curhat pada sahabat jauh di negeri seberang, maka bunyi suratku akan seperti ini:

Indonesia 2020, di sudut ruang sunyi

Dear Abendanon,

Apa kabar? Aku masih tidak bisa berhenti untuk menuliskan surat untukmu. Tintaku tak bisa kering seperti air mata yang  menjadi ritme penting bagi sepasang bola mata. Aku tidak lagi galau dengan bagaimana aku dan perempuan yang lainnya untuk bersekolah. Aku telah dapat mengenyam banyak dari bangku bahkan sekolah yang tak terbatas ruang dan waktu. Aku kini mempunyai kesempatan luas untuk belajar baik di negeriku, di negerimu atau bahkan negeri antah berantah. Banyak dari teman-temanku sudah mengenyam  pendidikan tertinggi yang disediakan. Perempuan saat ini hampir ada di semua lini publik baik di perusahaan swasta maupun pemerintahan. Tidak ada lagi larangan untuk rapi berangkat ke sekolah. Banyak juga perempuan yang bersekolah untuk mendirikan sekolah-sekolah untuk generasi bangsa. Ada juga perempuan yang sekolah untuk belajar memberikan nilai pendidikan terbaik untuk putra-putranya, ada yang untuk bekerja di kantor dan lain sebagainya. Ada juga perempuan yang memilih untuk tidak mengambil jalur sekolah formal. Cukup berada di rumah, tapi jangkauan pembelajar sampai ke mana-mana. Aku berbahagia untuk hal ini.

Abendanon pendengar keresahan hatiku,

Namun, kini aku seperti pindah dari dermaga satu menuju dermaga selanjutnya. Kesedihan dan kebimbangan semacam menjadi bumbu kehidupan yang tidak bisa dihilangkan. Dan aku berada tepat pada dermaga untuk berbagi kesedihan selanjutnya, padamu.

“Adakah semacam sekolah yang berkurikulum dan mengajarkan bagaimana perempuan memahami perannya sebagai diri sendiri, istri, ibu, dan elemen semesta?”

Aku galau untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Telah kuseberangi samudra dan kuukur tingginya gunung. Aku tak berdaya.                                                                                                                                          

Kutunggu jawabanmu, tidak pakai lama ya

 

Sahabatmu

Khusnul Khotimah

10 menit, 2020.

Di tengah gedung, di tengah kota, saat tidak lagi dibendung.

 

Leave a Response