Mukhu Al-Ibadah (otak atau benaknya ibadah) adalah sebuah risalah setebal 17 halaman berisi doa-doa yang dihimpun oleh Umi Sa’adah Muslih. Ada sembilan (9) doa yang termaktub dalam risalah ini, yaitu: (1) doa rihu al-ahmar (mati separuh) (2) jalbu ar-rizqi (penarik rizki) (3) selamat dari kebakaran (4) doa selamat (5) menghindari godaan setan (6) ikhlas (7) memudahkan keluarnya ruh (8) aman dari mati dalam keadaan kafir, dan (9) doa fathir as-samawat.

Di lembar mukadimah Umi Sa’adah menulis: “Saking kersane ba’dhu al-muridat bi jam’iyyah ahli thariqah al-Qodiriyah wa An-Naqsyabandiyah wonten Mranggen nyuwun supados doa-doa ingkang kawula terangaken saged dipun tulis sa perlu kangge ngapalaken. Para mila alfaqirah nyempetaken damel tulisan ingkang sak perlu kemawon.

(Sebagian murid-murid perempuan dalam organisasi tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Mranggen meminta supaya doa-doa yang saya jelaskan (dalam pengajian tarekat) bisa ditulis supaya bisa digunakan untuk menghafal. Maka dari itu alfaqirah menyempatkan diri untuk membuat tulisan seperlunya saja).

Dari mukadimah tersebut dapat diketahui bahwa latar belakang penulisan kitab ini adalah karena adanya permintaan dari para murid Umi Sa’adah. Dalam tradisi literasi Islam, munculnya karya-karya semacam ini bukanlah sesuatu yang baru. Kelahiran karya-karya Syekh Nawawi Al-Bantani, misalnya, juga dipicu oleh permintaan murid-muridnya, dan dalam pengantarnya beliau dengan rendah hati selalu mengaku bahwa kitab itu ditulis untuk memudahkan orang awam seperti dirinya.

Para ulama kita agaknya tidak ingin terjebak dalam sikap ujub dan pamrih. Tidak mengagetkan kalau kemudian Syekh  Sonhaji, penulis kitab Jurumiyyah, membuang naskahnya ke laut. Beliau meyakini kalau kitab itu bermanfaat pasti akan kembali. Dan sampai sekarang kita masih bisa menikmati kitab Jurumiyyah tersebut.

Saya tidak sedang menganjurkan Anda untuk meniru secara presisi apa yang dilakukan oleh Syekh Sonhaji, saya sedang berbicara ketulusan dan keikhlasan para ulama dalam berkarya. Apabila berpikir secara ekonomis-matematis, coba bayangkan: Berapa royalti yang seharusnya beliau terima atas kitab-kitab tersebut?

Kembali pada kitab Mukhu Al-Ibadah. Doa pertama yang ditulis Umi Sa’adah adalah doa untuk orang yang terkena mati separuh (stroke), rematik, angin duduk, cacar, dan lain-lain. Doanya sangat panjang, sampai empat setengah halaman. Dan ada panduan cara penggunaannya pula.

“Ditulis pada wadah yang suci kemudian diberi air mawar, diminum pagi-pagi sebelum berkumur, kemudian sisanya ditaburkan pada anggota tubuh yang sakit. Atau bagian tubuh yang sakit diusap dengan minyak wijen, dan doa tersebut ditulis lalu digantungkan pada bahu orang yang sakit. Insyaallah akan sembuh selama belum sampai ajalnya, karena ada perkataan: Semua penyakit ada obatnya kecuali mati,” demikian Umi Sa’adah menuliskan.

Termaktub pula di sini sebuah doa yang sangat sering diminta oleh orang tua, yakni doa agar memiliki anak saleh, ahli ilmu, dan ahli melakukan kebaikan dan doa agar gampang rizki. Dua doa ini, sejauh pengalaman saya ketika di Mranggen, banyak diminta oleh para tamu yang hendak meminta doa, bukan hanya kepada Umi Sa’adah, tetapi juga kepada kiai atau bu nyai lainnya.

Beliau juga sangat menganjurkan untuk menghafal dan mewiridkan doa selamat yang diamalkan sahabat Abi Darda. “Kalau doa tersebut dibaca setiap bakda Subuh dan Magrib,” tulis Umi Sa’adah, “maka seseorang akan diberi keselamatan dari mara bahaya dan rumahnya tidak akan kebakaran.”

Secara umum Umi Sa’adah tidak menyebutkan dari mana sumber doa-doa tersebut. Tetapi ada dua yang rujukannya disebut secara eksplisit, yaitu doa fathir as-samawat yang diambilnya dari kitab tafsir Al-Munir Juz 2 halaman 13, dan doa agar terhindar dari godaan setan yang merupakan doa Syekh Muhammad Wasi’ dalam kitab Mustathraf.

Apa yang menarik dari risalah kumpulan doa-doa ini?

Kalau berpikir secara pragmatis, kita mungkin menganggap risalah ini tidak begitu signifikan. Toh doa-doa bertebaran di mana-mana. Hanya dengan menuliskan kata kunci tentang doa-doa di search engine, kita akan mendapatkan doa-doa yang kita kehendaki dengan berbagai variasinya.

Tetapi kalau kita berpikir dengan jernih dan bijak, paling tidak ada dua hal mengapa risalah ini menjadi menarik dan layak diapresiasi. Pertama, risalah ini ditulis oleh seolah sufi cum ulama perempuan, Umi Sa’adah Muslih.

Harus kita akui bahwa belum banyak ulama perempuan kita yang rajin menuliskan karya. Umi Sa’adah adalah satu dari sedikit ulama perempuan yang menjaga tradisi literasi para ulama kita. Dalam hal ini beliau layak menjadi teladan, khususnya bagi perempuan, untuk berkarya.

Kedua, dan ini yang lebih penting, Umi Sa’adah tidak hanya menulis atau berbagi pemahaman, melainkan beliau telah mengamalkannya sendiri. Untuk hal ini saya tidak punya keraguan sedikit pun karena saya mendapatkan informasi ini dari Kang Sirojuddin, santri yang menjadi abdi dalem Umi Sa’adah selama 14 tahun.

Kitab ini selesai ditulis di Mranggen pada Muharram 1420/April 1999. Seperti karya Umi Sa’adah Muslih lainnya, kitab ini hanya dicetak oleh koperasi Pondok Pesantren Futuhiyyah. Wallahu a’lam bis shawab.

Leave a Response