Salah satu kelompok keagamaan yang sudah cukup lama menjadi perbincangan dan bahkan mengarah kepada perselisihan di kalangan masyarakat sampai saat ini yang belum terselesaikan adalah Lembaga Dakwah Islam Indonesia yang selanjutnya disingkat ( LDII). Sebagai contoh, di Bandung, Jawa Barat, berdasarkan hasil penelitian Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Balitbang dan Diklat tahun 2018 masih terdapat sebagian besar para pengurus masjid di Kota Bandung yang belum dapat menerima penceramah dari kelompok LDII, Ahmadiyah dan Syi’ah.

Di Kota Tasikmalaya, beberapa tahun silam, terdapat penolakan masyarakat terhadap rencana pembangunan rusunawa pondok pesantren LDII, berupa spanduk besar terpasang di jalan raya. Adanya stigma negatif yang masih dilekatkan pada Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) mendorong Dewan Pimpinan Pusat (DPP) LDII tahun 2005 lalu melakukan komunikasi dengan bersilaturrahim kepada MUI hingga lahir Keputusan Munas/Rakernas LDII (Kep. Komisi Fatwa MUI Tentang LDII No. 03/ Kep/KF- MUI/9/2006 tanggal 4 September 2006).

Menindaklanjuti surat keputusan Komisi Fatwa MUI tersebut, DPP LDII dalam rakernasnya di Jakarta pada tanggal 8 Maret 2007 meningkatkan aspek legalitas dari surat DPP LDII menjadi surat Keputusan Rakernas DPP LDII berkenaan dengan keharusan untuk mensosialisasikan pernyataan klarifikasi yang berisi paradigma baru LDII.

Paradigma baru LDII telah banyak mengubah pandangan sebagian masyarakat terhadap anggota jamaah LDII, di antaranya LDII dalam konteks bernegara dan berbangsa dan pembinaan jamaah secara internal memiliki pola pemisahan antara persoalan sosial-keagamaan dan internal komunitas, dimana untuk sosial keagamaan memiliki tingkat adaptasi dan akulturasi yang baik, sementara ke dalam penerapan nilai-nilai Islam, secara tegas diterapkan dan mengikat ke dalam komunitas.

Dalam sikap sosial keagamaan, warga LDII pasca Paradigma baru terdapat perubahan dari terkesan tertutup, eksklusif, mulai makin terbuka, inklusif. Pencairan hubungan internal umat Islam dilakukan melalui kegiatan yang dominan pada syiar salam, seperti melayat, qurban dan peringatan hari-hari besar Islam.

Dalam paham agama, warga LDII pasca paradigma baru cenderung statis, tidak banyak perubahan. Meski sudah akan beralih pada paradigma baru, tetapi masih terdapat wacana pengamalan paradigma lama, terutama dalam pengayaan ilmu (manqul) yang berpengaruh kepada sikap bertahan dengan semangat eksklusivitas.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian dengan judul “Pelajaran dari Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat (Studi Kasus Implementasi Paradigma Baru Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII))” yang dimotori oleh Ibnu Hasan Muchtar, ini akan menginvestigasi sejauh mana dampak dari sosialisasi paradigma baru LDII kepada masyarakat sekitar.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode observasi berupa visitasi ke tiga masjid LDII yang ada di Kota Bekasi. Data yang didapatkan berupa data tertulis dan informasi dari narasumber. Data pendukung yang diperoleh berupa hasil penelitian Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, data serta informasi yang ada di berbagai jurnal ilmiah.

Dengan paradigma LDII yang baru diharapkan masyarakat yang belum memahami tentang LDII dapat segera mengetahui kebenaran sesungguhnya dan menepis cacian dan hujatan yang dampaknya apabila dibiarkan dokhawatirkan memecah-belah umat dan merugikan masyarakat Indonesia.

Implementasi paradigma baru setelah hampir 17 tahun telah membuahkan hasil ditandai dengan semakin diterimanya warga LDII ditengah-tengah masyarakat khususnya keterlibatan di dalam kepengurusan MUI dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan, sampai saat ini sekitar 200 warga LDII yang masuk di dalam kepengurusan MUI, terlibat juga dalam FKUB. Selain itu warga LDII terlibat dalam hal kemasyarakatan seperti, gotong-royong, saling kunjung ketika diundang, hadir ketika ada musibah dan berbagi daging hewan qurban pada hari raya Idul Adha.

Dampak lain misalnya terlihat dari tanggapan berbagai pihak seperti masyarakat, tokoh masyarakat, aparat pemerintah desa menyatakan bahwa kesan eksklusif yang dilekatkan pada warga LDII selama ini sudah tidak lagi terlihat karena antara warga LDII dan masyarakat sudah terlihat membaur, saling bantu membantu, sebagaimana umumnya dalam interaksi sosial kemasyarakatan;

Eksistensi LDII sebagai organisasi semakin berdampak selain mendorong terwujudnya profesionalitas warganya, LDII sendiri mempunyai program yang disebut sebagai 3K, yaitu Komunikasi, Karya, dan Kontribusi. Dalam menyelenggarakan kegiatan tersebut, pelibatan masyarakat sekitar dirasakan kurang, pesertanya masih didominasi oleh para pemuda dan pemudi warga LDII sendiri.

Kesimpulan

Paradigma baru LDII adalah upaya klarifikasi yang dilakukan oleh LDII ke seluruh umat dan berbagai pihak terutama Majelis Ulama Islam Indonesia terhadap isu-isu negatif yang dilontarkan oleh sebagian anggota masyarakat yang hanya memahami Islam dan LDII sepotong-sepotong atau belum memahami sepenuhnya tentang Islam dan LDII.

Implementasi paradigma baru dinilai membawa perubahan sedikit demi sedikit menuju ke arah yang lebih baik. LDII semakin terlihat membaur dengan masyarakat umum. Hal tersebut didorong dengan adanya kegiatan-kegiatan yang mampu memunculkan interaksi sosial di masyarakat. (ANS)

 

Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian Ibnu Hasan Muchtar yang diterbitkan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama tahun 2020.

Gambar ilustrasi: Sejumlah santri mengikuti kegiatan peringatan Hari Santri 2020 melalui Doa Istighosah di Pondok Pesantren An-Nuqthah, Kota Tangerang, Banten  (ANTARA FOTO/Fauzan/nz).

Topik Terkait: #Hasil Penelitian

Leave a Response