Dalam kondisi di lapangan, rumah ibadah yang menjadi pusat kegiatan keagamaan bagi pemeluknya terkadang menjadi pembahasan sensitif dan dapat memicu sentiment tertentu bagi umat yang lain. Itulah sebabnya aturan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 menjadi paying acuan hukum terkait pendirian rumah ibadah.

Sejumlah poin utama dalam PBM menyebutkan bahwa pendirian rumah ibadah dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundangan (pasal 13 ayat 2). Hanya saja, kenyataan di beberapa daerah yang tidak sesuai dengan kondisi ideal rukun tersebut. Baik secara perizinan, atau adanya penolakan dari masyarakat. Akibatnya, terjadi perselisihan.

Ada kasus spesifik yang merekam permasalahan ini di Bekasi. Pengalihfungsian rumah tinggal sebagai tempat ibadah oleh umat Kristen di Desa Mangunjaya pernah mengalami penolakan dari warga Muslim setempat. Sementara di Desa Tambun pernah terjadi hal serupa karena kios/toko dijadikan tempat beribadah umat Kristen di daerah jalan Raya Kompas Utama. Beruntungnya hal tersebut dapat diselesaikan lewat musyawarah.

Membincangkan soal itu, penelitian dari Asnawati memberi uraian menarik. Ia menelusuri apa masalah utama permasalahan itu dan bagaimana jalan keluar yang dibutuhkan.

Penelitian berdasarkan studi kasus ini dilaksanakan selama 8 hari sejak 27 Oktober sampai 3 November 2019. Data diperoleh melalui observasi, wawancara dan studi kepustakaan serta dokumentasi. Beberapa informan yang dilibatkan adalah Kepala KUA Kecamatan Tambun Selatan, Ketua RT setempat, dan tokoh masyarakat lainnya.

Temuan Penelitian

Secara garis besar, masyarakat Desa Mangunjaya dan Desa Tambun merepresentasikan penduduk yang toleran. Jikapun ada demo, bagi mereka itu bukanlah termasuk kategori konflik. Kerukunan di kedua desa ini tidak terlepas dari kearifan lokal yang terwariskan dan masih dipertahankan hingga sekarang.

Menyangkut rumah ibadah umat Kristen di Tambun, memang mulanya ia berupa rumah tinggal dan kios, yang belum mengantongi izin sesuai prosedur. Mereka hanya melapor kepada ketua RT sekitar dan warga sekitar yang mayoritas Muslim dapat menerima keberadaannya. Sekalipun belum berizin resmi “hitam di atas putih”, telah ada semacam dialog dan titik kesepakatan di antara warga.

Umat Islam di sekitarnya tidak melakukan penolakan, namun mengingatkan umat Kristen untuk tidak melakukan kristenisasi dan menerima pemuda setempat dalam mengatur urusan parkir. Dari sini tampak bahwa warga tetap tidak mau terjadi benturan fisik dan menerimanya sebagai upaya menjaga kerukunan.

Semua itu dapat berjalan karena terbangunnya relasi sosial antara gereja dengan tokoh masyarakat sebagai upaya mempererat tali persaudaraan. Di samping itu, peran komunikasi dan sikap saling menghargai antarumat beragama menjadi strategi krusial. Dalam membangun kehidupan yang harmonis memang berat, tapi jika bisa diupayakan, maka kehidupan yang rukun pun akan dikenyam bersama.

Berkaca pada penelitian ini, peneliti menawarkan sejumlah rekomendasi. Bahwa dalam menangani kasus pengalihfungsian rumah tinggal sebagai tempat ibadah, aktor-aktor pengambil kebijakan perlu untuk aktif dan mencarikan solusi terbaik. Intinya tidak merugikan satu sama lain.

Faktor pendukung lainnya juga adanya rasa kewargaan yang menonjol dalam relasi sosial mereka dan pentingnya unsur pemberdayaan di kalangan pemuda atau masyarakat sekitar sehingga mereka dapat merasakan manfaat langsung. Kehidupan yang tenteram antarumat beragama, dengan demikian, dapat terwujud dan terjaga lebih langgeng.[mnw]

 

*) Tulisan ini adalah hasil rangkuman dari penelitian Asnawati yang diterbitkan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama tahun 2020.

Topik Terkait: #Hasil Penelitian

Leave a Response