Kedudukan rumah ibadah di suatu wilayah merupakan simbol sekaligus indikator keberadaan umat agama tertentu. Selain sebagai simbol keagamaan, keberadaan tempat ibadah dari umat tertentu tidak jarang menimbulkan rasa sentimen dari umat agama yang lainnya. Itulah sebabnya pendirian rumah ibadah menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya konflik antarpemeluk agama.

Menyadari potensi masalah tersebut, pemerintah melalui PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 menerbitkan aturan mengenai pemeliharaan kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadah. Walau banyak bayangan positif yang menjadi tujuan dari adanya aturan itu, namun kenyataan di lapangan berbeda.

Ada sejumlah penolakan pendirian rumah ibadah dan perselisihan sejenis. Salah satu yang mengalami penolakan itu adalah Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) Sedayu. Sedangkan ada pula yang pendiriannya berjalan damai, yaitu dua gereja: GKJ Madukismo dan GPdI Pandowoharjo.

Dari contoh kasus gereja-gereja di atas, Elma Haryani mencoba menelusuri mengapa terjadi penolakan dan penerimaan terhadap keberadaan gereja di sejumlah daerah. Harapannya, temuan riset dapat menjadi tolok ukur pembuat kebijakan dalam mencegah konflik dan mengelola ketegangan antarumat beragama.

Studi kualitatif ini menggunakan analisis perbandingan antar-kasus. Yang dipilih adalah pendirian gereja di wilayah Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pengumpulan data menggunakan wawancara, pengamatan, dan studi literatur relevan serta dokumentasi.

Temuan Riset

Salah satu pendirian gereja yang dipersoalkan masyarakat adalah GPdI Sedayu, Bantul. Menurut penuturan Tigor Yunus Sitorus (49 th), pendeta sekaligus pemilik gereja ini, pendirian bangunan itu pada mulanya hanya dimaksudkan sebagai tempat tinggal. Berjalan seiring waktu, akhirnya dijadikan tempat ibadah mengingat kerabat banyak yang ikut beribadah di sana.

Jemaah pun semakin banyak, hingga mencapai 50 orang dan bukan hanya dari keluarga pendeta Sitorus seorang. Pada 2016, ada pemutihan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Pdt. Sitorus pun mengurus izin dari 2017 dan baru keluar tanggal 15 Januari 2019.

Sampai terjadi sebuah kasus, tiba-tiba bangunan bagian belakang dirusak oleh oknum tertentu. Gereja lantas juga mendapat penolakan dari warga RT.34 Dusun Bandut Lor. Mereka menganggap keberadaan rumah ibadah itu mengingkari kesepakatan dengan warga pada 2003 silam. Maka terjadilah mediasi yang dihadiri oleh Kasat Pol PP, Kemenag Bantul, Kesbangpol dan jajaran tokoh masyarakat.

Tercapailah kesepakatan bersama bahwa warga memahami kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama yang dianutnya. Namun, terkait izin bangunan, masih terjadi sengketa pendapat. Mengenai kepemilikan dan izin sebagai tempat tinggal atau rumah ibadah. Hasilnya, bangunan yang berdiri di atas tanah milik pendeta Sitorus dicoret dari daftar rumah ibadah sehingga ini dapat menjadi dasar pencabutan IMB yang diperolehnya pada tahun 2019.

Melihat semakin rumitnya persoalan GPdI Sedayu, pada akhirnya Pdt. Sitorus didampingi oleh LBH Yogyakarta mengajukan kasus tersebut ke PTUN, yang otomatis menjadi kasus di bawah otoritasnya.

Kasus yang kontras dari itu adalah pendirian kedua gereja lain, yakni GKJ Madukismo dan GPdI Pandowoharjo. Kedua pendirian rumah ibadah umat Kristen ini berjalan damai.

GKJ Madukismo merupakan gereja yang dibangun bersamaan dengan pendirian masjid dan Gereja Santo Yusuf di lokasi Pabrik Gula Madukismo. Yang unik dari GKJ ini adalah proses pembangunannya bahkan didukung oleh masyarakat yang pada dasarnya mayoritas Islam. Ketika terjadi hujan abu Merapi di 2010 dan gereja tertutup debu tebal, warga berduyun-duyun gotong royong membersihkannya. Sewaktu lebaran tiba, misalnya, halaman GKJ ini pun dijadikan lahan parkir bagi kendaraan Jemaah sholat Ied.

Tidak beda jauh, pendirian GPdI Pendowoharjo, Bantul, pun berlangsung damai. Gereja ini mendapat izin resmi (de jure) dari pemkab Bantul dan secara faktual (de facto) tidak menuai penolakan dari masyarakat.

Dalam kesaksian Zefanya Wijayadi, pendeta yang memimpin, sejumlah unsur dan sikap penting yang menjaga kerukunan antarwarga di sekitar gereja antara lain: 1) aktif terlibat dalam kegiatan warga seperti ronda, rapat bulanan, hingga kenduri dll.; 2) berusaha hadir setiap diundang; 3) fasilitas gereja boleh dipinjam masyarakat setempat semisal soundsystem, kursi, jenset, bahkan untuk kegiatan takbiran; 4) rutin silaturahmi; 5) mengundang dan membagikan hadiah Natal secara hati-hati; 6) bakti sosial sebagai kepedulian sesama dan kolaborasi dengan panitia masjid juga.

Membaca fenomena sosial semacam itu, penting untuk menjaga kesepahaman masyarakat bahwa agama hadir di dunia untuk ketentraman bersama. Ini juga merupakan kebutuhan, pemenuhan hak, dan kewajiban umat beragama dalam menjaga kerukunan tersebut. Alangkah baiknya jika kenyamanan semacam ini dipertahankan dalam situasi yang kondusif, beragam, dan tetap terbuka (inklusif). [mnw]

 

*) Tulisan ini adalah hasil rangkuman dari penelitian Elma Haryani yang diterbitkan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama tahun 2020.

Gambar ilustrasi: toleransi antara gereja dan masjid di Solo  (Liputan6.com/Fajar Abrori).

Topik Terkait: #Hasil Penelitian

Leave a Response