Islam mendapat tempat istimewa dalam sejarah Australia. Menurut data Kedubes Australia, komunitas muslim pertama yang datang dan mendiami pulau Australia adalah para nelayan dan pedagang dari Makassar, Muslim Bugis. Mereka berlayar hingga mendarat di pesisir Australia untuk mencari teripang yang kemudian dijual ke Tiongkok.

Adanya kemiripan bahasa suku Aborigin dengan bahasa Bugis merupakan salah satu jejak hubungan kedua suku tersebut. Kawin-mawin antarmereka terjadi, dan menyebabkan Islam masuk dan berkembang di negara kangguru ini.

Perkembangan populasi Muslim di Australia berikutnya ditandai dengan kedatangan para penunggang unta dari Afghanistan. Mereka datang sebagai napi dari kolonial Inggris dan sebagai pelaut, sekitar akhir 1700-an. Perkembangan Muslim semakin melonjak pasca Perang Dunia II, dari 2.704 orang pada 1947 menjadi 22.331 orang pada 1971.

Pada sensus 2016, komunitas Muslim berjumlah 604.200 orang, 2,6% dari penduduk Australia. kebanyakan dari mereka terkonsentrasi di kota Sydney dan Melbourne. Lalu, Bagaimana di Canberra?

Canberra, sebuah kota sepi di Australia yang berjarak 280 km dari Sydney. Dikatakan sepi karena memang lalu lintasnya yang masih longgar, bahkan banyak ruang kosong yang menjadi tempat kanguru berkeliaran. Kota ini tak seramai kota-kota di Australia lainnya seperti Sydney, Melbourne, Brisbane, dan lain-lain.

Terdapat data yang dilansir oleh The Canberra Times, ada sekitar 8.000 pemeluk Islam dari sekitar 350.000 penduduk Canberra. Muslim di Canberra tak hanya dari negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia, tetapi juga dari Turki, Arab Saudi, Pakistan, dan negara lainnya.

Jumlah WNI muslim di Canberra tidak terhitung pasti, ukuran kasarnya dilihat dari jumlah jamaah salat Idul Fitri atau Idul Adha yang diselenggarakan di KBRI di Canberra sekitar 300-400 jamaah.

Dalam hal bersosial, WNI yang tinggal di kota sepi ini akan terasa sangat kesepian, terlebih gaya bersosial masyarakat ala “Barat” di situ cenderung individualistik, sangat berbeda dengan kultur masyarakat ala “Timur” seperti di Indonesia yang cenderung komunal-agamis. Lantas bagaimana kondisi WNI muslim di Canberra?

Kondisi WNI di Canberra

Di Canberra tentu saja ada WNI yang menunjukkan identitas kultural agamanya seperti mengadakan tahlilan, doa bersama untuk suatu maksud, atau ngaji perkelompok, namun umumnya dipahami dan dimaklumi begitu saja.

Tak ada fanatisme dan gesekan yang tidak perlu dari perbedaan cara-cara beragama tersebut. Bahkan dalam pemilihan rakaat tarawih, antara golongan 8 atau 20 rakaat sama-sama saling menghormati. Sang imam di musala ANUMA, misalnya, yang menganut tarawih 8 rakaat, akan mempersilahkan imam pelanjut untuk menyertai jamaah yang menyelesaikan hingga 20 rakaat.

Meskipun ada kelompok gerakan keagamaan seperti PCI NU-ANZ (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama- Australia dan New Zealand), PCI IMM (Pengurus Cabang Istimewa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), dan beberapa kelompok lain yang memiliki akar gerakan dari tanah air, WNI muslim di Canberra tetap tidak bisa leluasa memakai ruang publik untuk menyelenggarakan gerakan-gerakan keagamaan Islamnya.

Kegiatan keagamaan yang menyertakan atribut khusus hanya bisa dilakukan di ruang-ruang sesuai peruntukannya. Meski demikian, kebebasan beragama di sana sangat dihormati sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum.

Dalam hal pendidikan, salah satu yang paling dikhawatirkan orang tua muslim di Canberra adalah soal agama anak. Setidaknya ada tiga faktor kekhawatiran; Pertama, di sekolah umum tidak ada pelajaran agama, apalagi pelajaran agama Islam, kecuali disekolahkan di Islamic School of Canberra, itu pun kalau ‘kuat’.

Kedua, lingkungan pergaulan di dalam maupun luar sekolah yang jauh dari nilai-nilai agama dan ketimuran. Ketiga, promosi budaya Barat dan kebebasan sangat massif dan sulit dihindari. Misalnya komunitas LGBT di Australia sangat dihormati dan diberi ruang untuk berkembang.

Kasus diskriminasi dan Islamophobia faktanya masih banyak terjadi di Australia, sekalipun muslim menjadi minoritas (2,6%). Misalnya dalam kasus proposal masjid di Bendigo-Victoria, beberapa penduduk setempat melakukan aksi unjuk rasa mingguan terhadap masjid tersebut.

Yang terbaru ada Tindakan terindikasi Islamophobia yang menimpa dua mahasiswi Indonesia di mall Canberra Center. Dalam perkembangan terkini, Australia menyusun RUU Diskriminasi Agama untuk melindungi minoritas yang belakangan semakin banyak mendapat perlakuan diskriminatif.

Di lain hal, terkait pelayanan kelahiran menurut beberapa student yang melahirkan di Canberra prosesnya sangat mudah. Berbeda dengan pelayanan kematian atau penguburan yang biayanya mahal. Untuk pemakaman jenazah balita-remaja harus mengeluarkan sekitar AU$ 3,000 setara Rp. 30.000.000, sedangkan jenazah dewasa bisa mencapai 50 jutaan rupiah. Proses memandikan dan mengafani jenazah muslim dibantu oleh seorang ustaz dari Malaysia.

Sedangkan untuk urusan pernikahan biasanya akad nikah Islam dibantu oleh seorang ustaz dan tidak ada pencatatan atau pelayanan khusus dari kantor KBRI soal ini, selain marriage registration untuk dapat certificate of marriage di kantor pelayanan terpadu AccessCanberra (serupa Dinas Dukcapil). Adapun acara resepsi biasanya diselenggarakan di gedung atau taman rumah, tergantung ketersediaan penyelenggaranya.

Namun sayangnya, WNI muslim masih memerlukan peran KBRI untuk membantu dalam mengurus/mencatat urusan keagamaan seperti pernikahan, melakukan pembinaan, konseling, dan pelayanan umat dalam hal pemahaman dan praktik keagamaan keseharian lainnya.[mnw]

 

*) Tulisan ini adalah rangkuman dari diseminasi penelitian Akmal Salim Ruhana diterbitkan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama tahun 2021.

Gambar ilustrasi: Sejumlah muslim Indonesia sedang menunaikan jamaah Shalat Tarawih di Balai Kartini, KBRI Canberra, Australia (AIMF-ACT/KBRI Canberra)

Topik Terkait: #Hasil Penelitian

Leave a Response