Keterangan Buku:

Judul:                    CAD*L

Penulis:                Triskaidekaman

Tahun:                  Maret 2020

Penerbit:              Penerbit Gramedia

Tebal:                    282 halaman

ISBN:                     978-602-063-957-4

Wiranacita dalam novel terbaru Triskaidekaman yang berjudul Cad*l (Gramedia, Maret 2020) dikisahkan sebagai negara otoriter. Segala urusan negara itu dikendalikan hanya oleh seorang saja. Layaknya negara secara umum, Wiranacita juga punya banyak abdi. Para abdi ini meskipun diam-diam banyak yang tidak suka pada pimpinan, tapi toh tunduk juga. Kerja-kerja mereka di berbagai bidang orientasinya cuma satu, kemauan dan kepuasan pimpinan. Sebabnya, membangkang hanya mengantar mereka pada ujung kehidupan.

Lebih nahas lagi, saat Wiranacita dipimpin oleh Yang Mulia Zaliman, ada beragam maklumat tak masuk akal yang menjerat kebebasan hidup masyarakat. Salah satu yang paling panjang buntutnya ialah larangan menggunakan salah satu huruf hidup baik secara lisan maupun tulisan. Tidak tanggung-tanggung, selain maklumat tertulis, Zaliman juga menyiapkan tim khusus yang bertugas mengintai keseharian rakyat. Mereka yang didapati masih menggunakan huruf hidup yang diharamkan itu akan dikenai sanksi bertingkat. Mulai dari dijahit bibirnya hingga hukuman mati.

Kalau Saudara-Saudari pikir bisa curi-curi gunakan Huruf Itu, saya sudah siapkan satuan Pasukan Baju Hijau untuk intai komunikasi Saudara-Saudari. Jika Saudara-Saudari yang tidak patuh dan masih ngotot ucapkan atau tulis Huruf Itu, Saudara-Saudari akan ditangkap pasukan khusus itu, untuk dijatuhi hukuman. Ini tingkatan dan rinciannya:

Hukuman tingkat 1: cabut satu sampai tujuh gigi, jahit bibir.

Hukuman tingkat 2: cabut lidah, tusuk gala, tusuk lambung.

Hukuman tingkat 3: hukuman bui, hukuman mati (kursi listrik, tiang gantungan)

Ini saja yang bisa saya sampaikan untuk saat ini. Salam bahagia buat bangsa kita, niscaya jaya. (hlm. 18-19)

Sekilas, kita mudah menemukan irisan antara Wiranacita dengan Indonesia. Sebagai contoh ialah kasus komedian Bintang Emon yang meramaikan jagat maya beberapa hari terakhir. Setelah videonya yang menyinggung kejanggalan hukuman untuk pelaku penyiraman air keras kepada Novel Baswedan beredar di media sosial, ia mendapat serangan. Meme-meme Bintang Emon kecanduan sabu beredar di media sosial.

Serangan itu diduga dilakukan oleh para buzzeRp, sebutan untuk oknum yang bertindak sebagai buzzer pihak penguasa. Kejadian ini menjadi bukti kesekian atas upaya membungkam suara-suara kritis yang berseberangan dengan pihak penguasa. Video yang direkam dengan nuansa humor #GakSengaja itu rupanya berhasil membuat berang dan dianggap merugikan atau malah mengancam. Oleh karenanya ia termasuk dalam target penyerangan.

Sebelum kasus Bintang Emon, jurnalis Dandhy Laksono, penyanyi Ananda Badudu dan peneliti Ravio Patra, dan banyak aktivis kemanusiaan lain juga mengalami hal serupa. Bahkan sampai saat ini mereka masih menjadi target penyerangan buzzeRp karena tetap aktif menyuarakan kritik kepada penguasa. Seperti yang diberlakukan kepada rakyat Wiranacita, rakyat Indonesia yang kritis juga berada dalam bayang-bayang hukuman. Dandhy, Nanda, dan Ravio sempat diamankan kepolisian. Meskipun akhirnya tuduhan-tuduhan yang dialamatkan tidak berhasil dibuktikan, tindakan aparat yang demikian sangat disayangkan.

Begitu juga dalam kasus termutakhir, beberapa akun twitter yang mengunggah meme komedian Bintang Emon mengonsumsi sabu mudah diidentifikasi sebagai serangan atas video yang ia unggah di akun instagramnya pada Jumat, 12 Juni 2020. Tuduhan itu dijawab Bintang dengan mengunggah hasil pemeriksaan urin ke media sosial. Dalam surat keterangan dokter Rumah Sakit (RS) Pondok Indah Puri Indah itu, Bintang dinyatakan negatif narkotika. Sebelumnya, orang-orang yang mengenal Bintang juga menyatakan hal yang sama. Komedian kelahiran 1996 itu bahkan sering menjadi bulan-bulanan karena tidak punya riwayat menjadi bandel.

Konon, di Wiranacita bukan cuma rakyat bersuara kritis yang harus dibungkam, tetapi juga ilmuwan. Di satu sisi, keberadaan mereka selalu dibutuhkan demi kemaslahatan negara. Namun di sisi lain, temuan-temuan para ilmuwan yang tidak sesuai dengan kepentingan penguasa harus dienyahkan dari publik. Tak peduli seberapa pun penting temuan ilmiah itu untuk kepentingan masyarakat.

Di Wiranacita, kerja berat ilmuwan masih harus mendapat tantangan lain berupa minimnya gaji yang didapat. Maka, mereka yang tidak teguh pendiriannya bisa mudah tergelincir, Diktator Zaliman contohnya. Sebelum menjadi pucuk pimpinan Wiranacita, Zaliman yang bernama asli Gandhi Praburasa adalah ahli pertanian di bidang budidaya pisang –makanan pokok di negara setempat.  Gandhi berhasil mengembangkan berbagai varian pisang yang belum pernah ada karena sepanjang sejarah Wiranacita bukanlah negara agraris.

Kecemerlangan Gandhi sebagai ilmuwan pisang terus meroket bersamaan dengan momentum diktator lama yang sakit-sakitan dan berniat mencari pengganti dirinya untuk menduduki kursi kekuasaan Wiranacita. Tanpa keterlibatan dan aspirasi politik rakyat, naiklah Gandhi ke puncak kekuasaan yang ia kutuk sejak kecil.

Gandhi kecil aktif dalam organisasi buruh anak-anak di pabrik buku. Ia tumbuh besar dalam pengasuhan ibunya yang keras. Setiap Gandhi tidak bisa menjawab tugas-tugas sekolah, ibunya tak segan melayangkan pukulan ke tubuh Gandhi. Meskipun agak terlambat dalam banyak mata pelajaran, rupanya Gandhi cukup unggul dalam bidang bahasa. Pelan tapi pasti, Gandhi berhasil meracik puisi-puisi sarat kutukan pada sang diktator. Sebagian besar puisinya menjadikan pisang sebagai diksi untuk menyuarakan penderitaan masyarakat akar rumput Wiranacita.

Puisi-puisi itu diterima masyarakat luas, baik yang mengerti sastra maupun masyarakat awam. Puisi-puisi yang dipublikasikan di koran maupun dibacakan dalam acara sastra dan di ladang pisang itu dikenal sebagai karya Bagus Prihardana, nama pena yang diperoleh dengan mengutak-atik nama asli Gandhi. Berkat nama pena usulan seorang kawan karib serta ketaatannya tidak muncul di hadapan publik sebagai Bagus Prihardana, kehidupan Gandhi aman dari intaian diktator.

Hingga tibalah hari saat Gandhi dipanggil menghadap sang diktator. “Kita tak lagi bisa munafik. Uang adalah solusi atas masalah apapun di dunia ini, bukan? Kalau di dunia barat, ilmuwan bisa digaji tinggi. Tapi di Wiranacita? Cuma artis dan politikus yang gajinya lumayan.” (hlm. 88).

“Buka matamu, Gandhi! Ilmu kalian tidak dipakai di sini. Orang yang cuma tahu ilmu alam tapi tak paham politik akan mati. Mati dinjak-injak. Untuk naikkan karir kita, kita butuh Orang Dalam, Gan. Tidak bisa tidak.” (hlm. 89).

Mendapati pernyataan itu, Gandhi hanya diam. Batinnya bergolak tak keruan. Ada keengganan lebih-lebih kemurkaan sosok Bagus dalam dirinya. Namun, ia juga tak bisa menampik keinginannya menduduki kursi sang diktator. “Dia takut, tapi ingin. Godaan jadi munafik mungkin akan nikmat. Atau sangat nikmat, hingga tak ada bandingannya.” (hlm.90).

Lagi-lagi, kita melihat konteks keindonesiaan dalam pergulatan diri Gandhi. Sudah jadi rahasia umum, banyak di antara mereka yang sebelumnya lantang menentang pemerintah demi menyuarakan kesejahteraan rakyat, kini tak lagi ada gaungnya justru saat menduduki kursi-kursi penting di parlemen maupun pemerintahan.

 

 

Leave a Response